http://img132.imageshack.us/img132/4733/image13lj1.gif

Pendidikan menengah sesi 2

Author: ariyanto /

1. Beralihnya SMU ke SMK di Kota Malang

Bidang pendidikan sangatlah penting dan harus diperhatikan, karena berdampak pada bidang-bidang yang lain. Masalah kependidikan yang serius dihadapi oleh negara berkembang khususnya yang dihadapi oleh Indonesia, antara lain berkisar pada masalah mutu pendidikan, kesiapan tenaga pendidik, fasilitas, dan lapangan pekerjaan. Dengan melihat masalah yang terakhir yaitu, lapangan pekerjaan memiliki greget yang lain. Kekurangtersediaan lapangan pekerjaan akan berimbas pada kemapanan sosial dan eksistensi pendidikan dalam perspektif masyarakat.

Pada masyarakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada. Dalam arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan, adalah mendapatkan lapangan kerja yang diaharapkan. Atau setidak-tidaknya, setelah lulus dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai gengsi atau nilai yang lebih tinggi di banding sektor informal.

Dengan demikian, keterbatasan lapangan pekerjaan dapat menyebabkan tidak dapat tertampungnya lulusan program pendidikan di lapangan kerja, secara linear berpotensi terhadap anggapan masyarakat terhadap dunia pendidikan. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan secara signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan.

Lapangan pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Maka merebaknya isu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya juga di Indonesia.

Secara empiris telah terjadi kekurang-sepadanan antara Supply dan Demand keluaran pendidikan. Dalam arti lain, adanya kekurangcocokan kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja, dimana hasil dari profil lulusan merupakan akibat langsung dari perencanaan pendidikan yang tidak berorentasi pada realitas yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan dilaksanakan sebagai bagian parsial, terpisah dari konstelasi masyarakat yang terus berubah. Pendidikan diposisikan sebagai mesin ilmu pengetahuan dan teknologi, cenderung lepas dari konteks kebutuhan masyarakat secara utuh.

Saat ini pemerintah juga mempunyai program dalam dunia pendidikan, yaitu untuk SMK sebanyak 70% dan 30% untuk SMU. Perubahan jumlah sekolahan ini terpicu data yang diperoleh di lapangan bahwa pengangguran produktif kebanyakan adalah lulusan SMU. Pada dasarnya SMU diprogram untuk mereka yang melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, sedangkan pembekalan skill (untuk SMU) bisa dikatakan, tidak ada. Berbeda dengan dunia SMK, mereka dituntut untuk menguasai skill serta diharapkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.

SMK dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas dari segi keterampilan kerja, maka dari itu saat ini banyak perusahaan yang membutuhkan lulusan dari SMK. Dinas Pendidikan telah menganjurkan untuk lebih memilih SMK karena lebih menjanjikan dalam dunia kerja. Dimasukkannya anak-anak ke sekolahan kejuruan adalah agar siswa cepat mendapat pekerjaan selepas lulus, dengan bekal keterampilan yang didapat dari sekolahan. Jadi, sebetulnya, sekolah kejuruan juga berperan aktif dalam pengentasan kemiskinan yang ada di masyarakat, dengan pembekalan keterampilan serta mempersiapkan siswa untuk dapat mandiri.

Semakin banyaknya siswa yang belajar di sekolah kejuruan, semakin dapat ditekan pula angka kemiskinan yang ada di masyarakat. Harapan semua pihak, terutama dunia pendidikan dan pemerintah adalah siswa yang telah lulus dapat berwirausaha, sehingga angka pengangguran dapat ditekan. Berkurangnya angka penganguran, maka secara otomatis pendapatan masyarakat pun meningkat. Lebih lebar lagi, dunia kriminalitas juga dapat ditekan.

Karena, pendidikan juga sebagai salah satu faktor penekan angka kemiskinan, maka mari kita bersama-sama memajukan dunia pendidikan di negara ini, baik masyarakat, pemerintah dan swasta. Tanpa bersama-sama, dunia pendidikan kita akan semakin ketinggalan dengan negara-negara lain.

Rencana akan diperbanyaknya lulusan SMK dibanding SMU di Indonesia dan adanya pengalihan sebagian SMU ke SMK di Malang, ternyata itu merupakan ide bagus. Kenapa merupakan ide bagus, karena pada kenyataannya lulusan SMK itu lebih siap bekerja dibandingkan dengan lulusan SMU. Pendidikan yang digunakan di SMK lebih banyak menerapkan praktek serta mengandalkan keterampilan dan mempunyai banyak jurusannya yang bisa dipilih sesuai minat dan bakat keterampilan yang dimiliki. SMK itu juga bagus kok gak kalah bagusnya dengan SMU.

Di Kota Malang terdapat SMU yang beralih menjadi SMK, yaitu SMU menjadi SMK. Beralihnya SMU ke SMK di Malang karena tuntutan dari masyarakat yang menginginkan putra-putrinya memiliki keterampilan kerja dan masa depan yang lebih menjanjikan dan dapat meringankan beban orang tua. Memang biaya yang dikeluarkan untuk masuk di SMK lebih mahal karena biaya praktek dan keterampilannya. Tetapi para orangtua memahami mahalnya biaya tersebut, karena putra-putri mereka akan mempunyai kelebihan baik dalam segi skill atau memiliki kemampuan untuk berwirausaha. Selain itu mereka juga bisa sambil meneruskan kuliah pada waktu bekerja nanti. Tidak jarang banyak perusahaan yang membutuhkan lulusan SMK dibanding lulusan SMU. Dan jika memilih SMK harus memilih SMK yang sudah dipercaya dan berkualitas, serta mempunyai banyak hubungan kerjasama dengan beberapa perusahaan dan instansi lain.

Diharapkan bagi lulusan SMP agar lebih selektif dalam memilih sekolah lanjutan terutama SMK, agar mereka memiliki keterampilan kerja dan lebih bermanfaat untuk kehidupan kedepan. Dan jika memilih SMK harus memilih SMK yang sudah dipercaya dan berkualitas, serta mempunyai banyak hubungan kerjasama dengan beberapa perusahaan dan instansi lain. Serta diharapkan pula pemerintah dapat mengembangkan lagi kurikulum untuk SMK, sehingga nantinya lulusan SMK dapat lebih berkualitas.





2. Rasional SMA/MA Mencetak Pengangguran

Ada fenomena menarik yang terjadi selama ini bahwa, tujuan lembaga Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) mempersiapkan siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi seringkali kurang tepat sasaran. Hal ini terbukti, berdasarkan data hasil Kajian kami, terhadap cita-cita siswa-siswi kelas I dan II (kelas X dan XI) di salah satu SMA Negeri di kabupaten Lombok Timur NTB, yaitu SMA negeri 1 kecamatan Terara pada tahun pembelajaran 2005-2006 menunjukkan bahwa dari 334 siswa kelas 1 dan 2 hanya 121 orang atau 36 % saja yang bercita-cita untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. 64 % sisanya tidak mempunyai cita-cita untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dengan berbagai alasan.

Dan dari 64 % tersebut 91 orang (sekitar 28 %) yang bercita-cita untuk langsung bekerja, 71 orang (sekitar 22 %) bercita-cita untuk mengikuti kursus dan 51 orang (16 %) belum punya cita-cita sama sekali.

Besarnya angka yang tidak berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di SMA ini, jika tidak diberikan bekal keterampilan untuk hidup, melalui proses pendidikan di sekolah maka, berpotensi menjadi penganguran. Dan angka ini akan mungkin semakin besar manakala 36 % tersebut masih ada yang tidak mampu terjaring masuk ke dalam perguruan tinggi yang diinginkan.

Data tersebut juga menunjukkan banyaknya calon siswa yang masuk ke SMA/ MA tidak memahami tujuan lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu menjadi kewajiban Sekolah/Madarash untuk melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman tentang orientasi lembaga pendidikannya kepada calon siswa baru.

Dan fakta tersebut di atas dapat menjadi bahan pertimbangan bagi sekolah untuk lebih selektif menerima calon siswa baru. Minat siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi seharusnya dapat menjadi prasyarat calon siswa baru yang masuk ke SMA/MA.

Di samping itu Sekolah mestinya masih tetap memiliki rasa tanggungjawab terhadap outcome, sehingga dalam penerimaan siswa baru tidak hanya melihat jumlahnya yang diterima dari aspek uang yang masuk, serta jangan melihat calon siswa baru seperti melihat lembaran kertas merah ratusan ribu rupiah. Tetapi hendaknya dilihat sebagai beban tanggung jawab pembinaan yang lebih besar untuk mengantarkannya sampai mencapai keberhasilan sesuai dengan yang dicita-citakan.

Pilihan yang tepat bagi 64 % siswa tersebut sebenarnya adalah jenis pendidikan kejuruan (SMK/MAK) dan bukan pada jenis SMA/MA. Akan tetapi kenyataanya jumlah SMK/MAK terlalu sedikit dibanding SMA/MA. Di samping itu SMK/MAK yang ada di NTB khususnya, masih belum mampu membangun kepercayaan kepada masyarakat soal konpetensi lulusannya (output dan outcome). Hal ini disebabkan karena di samping keterbatasan fasilitas/sarana prasarana, juga terbatasnya tenaga guru yang berkualifikasi lulusan guru SMK baik dari segi jumlah maupun mutu. Sehingga terjadi sangat sedikit peminat calon siswa baru masuk ke SMKN Keruak untuk tahun pembela-jaran 2005/2006 ini

Karena itu menjadi sangat dilematis bagi para lulusan SMP/MTS (calon siswa SLTA) dalam memilih sekolah sebagai tempat membina potensi dalam rangka mencapai cita-cita. Pada akhirnya para calon siswa banyak menyerbu SMA/MA meskipun harus membayar uang pendaftaran dan "uang komite" sampai berjumlah jutaan rupian, hanya untuk menjadi calon pengangguran.

Namun demikian ada kecenderungan di SMA yang tergolong "bermutu" (dilihat dari hasil seleksi siswa Baru tahun Pembelajaran 2005-2006 yang lalu dengan standar nem terendah yang diterima di atas 21) seperti SMAN 1 Selong, SMA Negeri Masbagik dan SMAN 1 Aikmel (semuanya berada di daerah kabupaten Lombok Timur) akan terjadi sebaliknya yakni, jumlah siswa yang bekeinginan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi akan lebih besar dibanding yang tidak. Seperti yang terjadi dengan SMA Negeri Masbagik, dari 556 siswa yang terdaftar di SMA tersebut 470 orang (85 %) bercita-cita melanjutkan ke pendidikan tinggi, 86 orang lainnya (15 %) tidak bercita-cita untuk melanjutkan.

Akan tetapi angka 15 % masih cukup tinggi mengingat kurikulum & Proses Belajar Mengajar di SMA/MA diarahkan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Dan jumlah siswa yang tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi diperkirakan jauh lebih tinggi, mencapai + 70 %, dari akumulasi seluruh siswa SMA/MA yang ada di Lombok Timur-NTB, karena sebagian terbesar sekolah terutama Madrasah Aliyah di daerah tersebut mutunya lebih rendah dari sekolah yang disebut di atas. Dan jumlah ini sangat berpotensi menjadi pengangguran. Hal ini berarti, dari 5000 orang siswa lulusan SMA/MA setiap tahun yang ada di daerah tersebut, ada sekitar 1500 orang yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi dan + 3.500 orang sisanya berpotensi menjadi pengangguran.

Angka pengangguran berarti tingkat produktifitas sangat rendah, angka ketergantungan (dependensi rasio) sangat tinggi, dan bahkan merupakan gangguan keseimbangan mental yang cenderung bersifat destruktif. Hilangnya potensi ini dan sifat merusak merupakan kerugian yang harus dibayar oleh pembangunan. Semoga pemerintah melihat dan menyadari hal ini.








3. CITRA SEKOLAH KEJURUAN DAN MAN SEBAGAI SEKOLAH KELAS DUA




Adalah fenomena bahwa pendidikan atau sekolah itu sudah terkotak- kotak di Indonesia dan dimana-mana di atas dunia ini. Untuk Indonesia ada sekolah agama dan ada sekolah umum, orang yang taat menyebutnya dengan sekolah sekuler. Ada sekolah swasta dan ada sekolah negeri. Kemudian secara vertikal ada Sekolah Dasar (SD), SMP, STLA dan perguruan tinggi. Untuk tingkat SLTA ada namanya SMA, MA dan SMK.

SMA jumlah sangat banyak dan terlihat serba diperhatikan alias dianak emaskan oleh masyarakat, pemerintah dan malah juga oleh media massa. Event- event yang ada di SMA dikupas tuntas dan disebarluaskan, kemudian berita- berita tentang MAN dan SMK porsi nya tidak berimbang dibandingkan SMA. Secara konvensional orang mengatakan bahwa anak- anak yang belajar pada MAN kelak bisa menjadi anak surga (baca: generasi yang taat) dan dulu ketika STM belum lagi dikenal dengan sebutan SMK, dikenalkan sebagai sekolah yang murid- muridnya suka berkelahi massal atau tawuran.

Pemerintah tampaknya menjadikan SMA sebagai "anak emas" dan agar lulusannya bisa berkualitas maka pemerintah (dan juga tokoh politik di DPR) menyelenggarakan berbagai kegiatan dan program yang jauh lebih intensive dan sampai mematok standar kelulusan SMA. Karena hanya dari SMA lah kelak lahir dan bermunculan pemimpin bangsa, tokoh intelektual dan orang- orang hebat. Kemudian mengapa kualitas SMK dan MAN tidak begitu banyak disorot, digubris, dicikaraui apakah tak mungkin akan lahir pemimpin bangsa dan orang orang hebat dari kedua institusi pendidikan ini (?).

Dunia pendidikan atau dunia sekolah itu ibarat anak kecil, itu karena di sana merupakan tempat kedua terjadinya proses sosialisasi bagi anak-anak (anak didik) setelah rumah mereka. Anak- anak yang memperoleh cukup perhatian, banyak pengalaman dan kaya rangsangan atau stimulus secara kognitif, psikomotorik dan afektif akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. sementara anak yang merasa kurang diperhatikan dan kurang pula dalam memperoleh stimulus dan kesempatan untuk bereksperimen, cenderung mempunyai karakter "withdrawal" atau suka menarik diri, mengalami perasaan inferior complex atau rendah diri.

Masyarakat dan pemerintah adalah ibarat orang tua bagi dunia pendidikan. Sebut saja anak mereka yang berusia remaja bernama "SMK, MAN dan SMA'. Dewasa ini perhatian pemerintah menurut kacamata orang awam, perhatian mereka terhadap pendidikan siswa SMA sungguh banyak porsinya. Bila ada prestasi yang diukir oleh siswa SMA maka publikasinya terasa sangat menggema sampai ke mana- mana sementara publikasi tentang kegiatan yang ada pada SMK dan Man cenderung sepi atau biasa- biasa saja.

Anggaplah pemerintah cukup bersikap adil (dan memang pemerintah sudah adil dalam memberikan kebijakan terhadap pendidikan di SMA, SMA dan SMK), namun sekarang tinggal lagi perlakuan masyarakat (?).

Adalah fenomena dalam masyarakat, bahwa SMA adalah sekolah bagi anak- anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masukan anak ke MAN agar ia bisa menjadi orang taat dan SMA adalah sekolah sekuler. Kemudian pilihlah SMK kalau orangtua tidak mampu secara finansial, dan biar lah anak belajar di sana agar kelak cepat memperoleh kerja - menjadi pekerja, menjadi buruh atau menjadi TKI (?).

Dalam setting pada mulanya, keberadaan SMA, SMK dan MAN adalah sama dan cukup bagus. Namun dalam pelaksanaan dalam masyarakat terlihat kecendrungan bahwa kalau orang tua punya anak yang cerdas atau ingin punya anak cerdas maka mereka harus mengirim (dan mencarikan SMA) yang berbobot untuk mendidik mereka, agar kelak bisa tumbuh jadi orang terpandang. Apa saja persyaratan yang diminta oleh komite sekolah (di SMA) terhadap orang tua, maka hampir seratus persen akan dipenuhi. Sementara itu bila anak kalah dalam seleksi otak, atau anak orang tuanya kalah seleksi secara finansial atau keuangan maka mereka diultimatum, direkomendasikan atau sangat dianjurkan agar memilih SMK saja. Maka jadilah SMK ini sebagai tempat bersekolahnya anak- anak dengan mental inferior complex, berasal dari orang tua dengan ekonomi lemah dan anak- anak yang kualitas otaknya kurang beruntung.

Adalah fenomena umum bahwa kualitas pendidikan sekolah agama itu dipandang lebih rendah dari sekolah umum. Citra ini diciptakan sendiri oleh anak didik dan masyarakat. Tengoklah eksistensi ini pada banyak sekolah. Anak- anak pintar yang belajar di sana semuanya bermimpi agar bisa kuliah kelak pada universitas favorite yang berada di pulau Jawa atau kalau perlu langsung di universitas luar negeri. Kalau gagal maka tahun depan (atau sudah pasang ancang- ancang) untuk memilih universitas ngetop di provinsi mereka. Bila gagal atau merasa kemampuan otak lemah maka dengan rasa enteng mereka memilih perguruan tinggi Islam, dan pada akhirnya berkumpulah orang orang yang kultur dan percaya diri nya rendah belajar di perguruan tinggi ini.

Kemudian juga menjadi fenomena bahwa dalam rekruitmen tenaga pendidik, maka orang yang merasa pintar cenderung memilih sebagai guru SMA, kemudian sisanya bagi yang merasa diri bersahaja atau takut kalah dalam persaingan , mereka memilih untuk menjadi tenaga pengajar pada MAN.

Dalam fakta bahwa cukup banyak guru berkualitas dan bermutu yang hadir sebagai tenaga pendidik di MAN dan SMK. Namun kenapa kedua sekolah ini tidak menggeliat dalam hal mutu secara umum(?). keberadaan tenaga pendidik agaknya tidak lah menjadi masalah karena mereka bersal dari perguruan tinggi yang sama dengan rekan- rekan mereka di SMA. Yang menjadi masalah adalah sikap anak didik yang belajar di sana, sebagai produk sosialisasi dari rumah mereka, yang terbentuk dari lingkungan rumah untuk menjadi orang yang serba bersahaja, sikap fatalistic atau pasrah dan ini adalah menjadi tugas bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyembuhkan gejala inferior complex mereka.

Kalau sekolah MAN dan SMK merasa sebagai sekolah kelas dua, gara- gara citra yang telah dibentuk oleh masyarakat, pemerintah, aktor politik dan pemberitaan media massa . Maka untuk mengembalikan harga diri atau citra mereka, tentu menjadi tanggung jawab masyarakat, pemerintah, aktor politik dan media massa pula.

Masyarakat tentu perlu juga untuk memberikan perhatian dan partisipasi dalam membesarkan dan menumbuhkan harga diri kedua sekolah ini. Adalah juga tepat bila orang tua memiliki anak cerdas dan super cerdas menyuruh mereka untuk belajar di sini dan kemudian ikut mendukung program pengembangan mutu pendidikan. Pemerintah dan aktor politik juga harus adil. Bila mereka berdebat tentang kualitas pendidikan di SMA- seperti membahas angka kelulusan SMA, maka coba pulalah untuk berdebat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah MAN dan SMK. Kemudian media masa juga harus berimbang dalam pemberitaan, janganlah hanya rajin mencari berita yang serba bagus ke SMA, tapi ia juga perlu bekerja intensive untuk meliput pendidikan pada MAN dan SMK. Media Massa hanya rajin meliput .Pendidikan MAN (agama) seputar bulan puasa Cuma.

Namun sebagai orang yang mau dewasa, maka Man dan SMK juga tidak boleh menyalahkan pihak lain- masyarakat, pemerintah, aktor politik dan orang tua atau masyarakat sebagai sumber masalah, menjadikan kedua sekolah ini sebagai sekolah kelas dua. Dalam pelajaran agama kita diberitahu bahwa "Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (nasib kita), kecuali kita sendiri yang mengubah nasib ini". Maka MAN dan SMK bisa dan harus menjadi sekolah kelas satu (first class), usahanya harus dilakukan oleh segenap personalia di sekolah ini- guru, murid, orang tua dan lingkungan.

Sekolah ini perlu melakukan publikasi , melakukan lomba yang eventnya dikemas seapik mungkin dan dipublikasikan. Untuk SMA biasanya ada lomba English speech contest, maka siswa MAN juga harus menggelar Arabic Speech contest, dan setting suasana menjadi moderen. SMK mungkin bisa melakukan robot creative contest. Atau perlombaan kreativitas lain. Kemudian kedua sekolah ini coba menumbuhkan prilaku yang smart (walau cukup banyak prilaku yang sama terjadi pada beberapa SMA), mengembangkan sikap intelektual, sikap kritis, menjauhi sikap kekanak- kanakan. Mengembangakan program kepintaran berganda anatara IQ, SQ dan EQ. pintar dengan angka- angka, pintar olah raga, pintar berpidato, pintar mengelola waktu, menguasai bahasa asing, komputer dan internet dan mantap nilai keimanan. Pendek kata berimbang anatara IPTEK dan IMTAQ (ilmu pengetahuan dan tekhnologi- serta iman dan taqwa).


4. Fenomena SMA dan SMK di Abad 21

Sebuah tantangan besar bagi pemimpin dan pemikir negeri ini, ketika menghadapi jumlah pengangguran yang semakin bertambah tidak sepadan dengan daya serap lapangan kerja yang ada. Dunia usaha dan industri agak lesu dalam mengembangkan usahanya.

Keterampilan angkatan kerja yang masih kurang memenuhi syarat kerja yang dibutuhkan pasar tenaga kerja, baik dalam maupun luar negeri. Hal ini tentu menambah pusing bagi pemerintah, yang selalu disorot oleh masyarakat dari sektor penyediaan lapangan kerja, bagi angkatan kerja yang siap memasuki usia kerja. Tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu dan relevan dengan tuntutan Negara yang sedang membangun, dan rindu akan keadilan dan kesejahteraan. Menambah beban pemikiran bagi pemimpin negeri ini.

Dalam tahapan ini, Indonesia masih dalam tahap membangun, yang sedang berupaya keras dan cerdas untuk mempersiapkan generasi penerus perjuangan bangsa yang beriman, bertaqwa, cerdas, tangguh, disiplin dan mampu menghadapi tantangan masa depan yang lebih baik, bersaing dengan dunia luar, serta berjiwa patriotik.

Departemen Pendidikan dan kebudayaan telah berusaha dengan sekuat tenaga dengan minimnya anggaran pendidikan yang masih jauh dari kebutuhan yang sebenarnya, berbagai eksperimen dan riset dilakukan. Dalam catatan Departemen tahun 1970 berkembang pesat tenaga kerja yang sekelas tukang, bukan pemikir. Mengakibatkan negeri ini membutuhkan pemikir bukan tukang, yang pada akhirnya sekolah menengah yang kala itu identik dengan lembaga pencetak tukang kurang dikembangkan, dan sekolah umum seperti SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), yang dianggapnya kurang memberikan masa depan yang lebih baik dibandingkan sekolah menengah pertama kejuruan pun mulai tereleminir menjadi sekolah menengah pertama (SMA)/Umum.

Bahkan hingga sekarang penambahan unit gedung baru SMK hampir tidak pernah terdengar, satu kabupaten paling banyak 2 SMK negeri yang ada, namun dalam kabupaten yang sama bisa berdiri 4 sampai 5 SMA negeri. Bahkan satu kecamatan kadang samapai 2 hingga 4 SMA Negeri. Dampak dari itu semua kini mulai terasa lulusan sekolah umum yang tadinya dianggap dapat lebih memberikan masa depan yang lebih berubah menjadi faktor penambah jumlah pengangguran yang kurang memiliki kemampuan pemikir apalagi Tukang.

Dengan munculnya dikotomi SMK dan SMK (Umum), maka banyak masyarakat diperbagai perguruan tinggipun memberikan kesempatan belajar yang berbeda antara lulusan SMK dan lulusan SMA. Bagi mereka lulusan SMA lebih luas untuk mendapatkan kesempatan belajar di berbagai Fakultas, sedang yang berasal dari SMK mempunyai pilihan yang lebih sempit. Padahal belum pernah ada sebuah tesis yang dapat dipakai sebagai rujukan yang valid, bahwa lulusan SMK mempunyai tingkat pemikiran yang lebih rendah.

Dengan adanya faham bahwa ada tukang dan ada pemikir, tukang berada pada golongan strata pekerja kelas rendahan dan pemikir berada di menara gading yang penuh dengan kehormatan dan kemewahan, namun yang sebenarnya SMA pun akhirnya menghasilkan tukang yang bukan pemikir dan pimikir yang bukan tukang. Tukang dan pemikir merupakan dua bagian yang berbeda, padahal pada kenyataannya seorang pemikir harus dituntut mampu untuk menyelesaikan sendiri permasalahan-permasalahan secara riil dan detail mulai dari pekerjaan tukang hingga imaginasi yang selalu berkembang. Tukang pun harus pula mempunyai kreativitas yang tinggi sehingga mampu pula untuk berimagiansi tinggi dalam mengembangkan inovasi kerja yang lebih baik.

Komposisi pendidikan yang tertuang dalam kurikulum pendidikan kita, hasil olahan dari pemikir, yang membuat sebuah perencanaan pendidikan nasional, seakan-akan dianggap mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Namun dibalik itu semua sering berbenturan antara hasil pemikiran para ahli di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan pelaksana pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Diyakini atau tidak, ini merupakan produk lama yaitu tukang dan pemikir. Pengambil kebijakan sebagai pemikir dan Steak Holder sekolah sebagai tukang.

Sehingga setiap ada perubahan kebijakan pemerintah sekolah seakan dipaksa untuk mengikuti, terlepas dengan siap atau tidaknya sarana dan prasarana sekolah. Akibatnya program dilaksanakan dengan setengah hati dan setengah kurang sarana dan prasana, hasil didik pun menjadikan siswa sebagai pemimpi di siang bolong. Transfer ilmu dari mengajar ke belajar hanya sebuah patamorgana belaka, ilmu tidak lagi diukur dengan kompetisi yang dikembangkan melainkan angka dalam kertas yang bernama raport atau ijazah menjadi ukuran dan tujuan akhirnya.

Dari itu semua akhirnya tahun 2004 pendidikan diarahkan ke perkembangan life skill, naik di SMA maupun SMK, namun pada tataran kurikulum, hal ini menjadi kamus wajib, tetapi dalam pelaksanaannya belum berjalan sebagai mana harapan. Terbukti dengan amraknya bimbingan belajar, baik dis ekolah maupun lembaga-lembaga bimbingan belajar yang mulai bermunculan bak jamur dimusim hujan. Apa yang dilakukan bimbingan ini hanya berlatih mengerjakan soal dan mengantisipasi soal soal Ujian Nasional yang mungkin akan muncul dalam UN.

Bukan pada pemhaman ilmu dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari,Patokan Nilai Ujian menjadi tujuan akhir dari sebuah pembelajaran. Hal ini berlaku baik di SMK maupun di SMA.

Sangatlah wajar kalau sekarang banyak anggapan bahwa hasil lulusan SMA dan SMK bahkan sarjana sekalipun masih mempunyai mutu akademis yang rendah.

Pola 50% teori dan 50% praktik tidak mampu di jalani oleh sekolah, karena sarana dan prasarana yang menjadi prasarat tercapainya hasil lulusan yang diharapkan, tidak dimiliki oleh sekolah serta padatnya muatan materi pokok yang harus dipelajari siswa, tidak sebanding dengan kemampuan kognitif dasar yang dimiliki oleh siswa pada umumnya sebagai prasarat belajar.

Menurut hemat saya manakala sarana dan prasarana pendidikan dan guru yang profesional sudah mampu disediakan oleh lembaga pendidikan, maka SMK atau SMA tidak lagi menjadi permasalahan seperti sekarang ini. Taksonomi Bloom yang pada hakekatnya pendidikan dititik beratkn pada sikap dan nilai, kecerdasan dan keterampilan. Akan dapat diwujudkan, sehingga permasalahan pengangguran mampu dikurangi, serta mampu lulusan sekolah menengah mampu memenuhi prasyarat kerja, yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja baik dalam maupun luar negeri.

Guru yang terbaik adalah pengalaman yang pernah dilakukan. Dan kerugian yang paling besar adalah kesalahan yang terulang. Dengan berpikir demikian harapan kami, pemerintah akan mampu menemukan pola pendidikan yang cocok dan relevan dengan kebutuhan maa mendatang. Tentunya penentu kebijakan negeri ini haruslah Pemikir yang tukang atau Tukang yang pemikir. Bukan lagi pemikir yang bukan tukang sehingga hanya mampu berpikir serta kebijakannya tak dapat dilaksanakan di tingkat sekolah.

Atau sebaliknya kebijakan tukang, yang juga tidak akan mampu menjawab tantangan masa depan, melainkan hanya mampu mereparasi sesaat saja yang pada akhirnya rusak fatal tak mampu lagi diperbaiki.

Harapan kami, sebaliknya penanggungjawab pelaksanaan pendidikan, hanya ada pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tidak seperti sekarang hampir setiap departemen memiliki lembaga pendidikan sendiri-sendiri dengan standard yang berbeda-beda,s ekalipun dibutuhkan prasyarat tertentu, sebaiknya cukup Pelatihan khusus (spesialis) yang spesifik saja. Agar tidak terjadi pembinaan yang berbeda seperti MTs. Dan SMP atau MA dan SMA, SMK yang rasa-rasanya sangat ebrbeda. Baik dari kesejateraan maupun proses rekietmentnya. Padahal mutu pendidikan yang diharapkan sama.

Pada akhirnya hanya tenaga profesional-lah yang mampu membentuk dan menciptakan sebuah rencana yangs esuai dengan harapan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia dan mampu merencanakan sebuah strategi menghadapi perkembangan dunia.

5. SMK, Jembatan Sekolah dan Dunia Kerja

Sudah hampir satu dasawarsa memasuki abad ke-21, bangsa Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan untuk menyusun dan merumuskan konsep kebijakan dan strategi yang solid dalam upaya mencerdaskan dan menyejahterakan warganya. Masih buruknya mutu pendidikan pada hampir semua jenis dan tingkatan pendidikan semakin menegaskan sinyalemen di muka. Semakin meningkatnya angka pengangguran anak-anak usia produktif yang diakibatkan dari rendahnya kemampuan dasar, keterampilan, dan keahlian menjadi cermin nyata bahwa bangsa ini masih menghadapi persoalan besar dalam bidang pendidikan.

Di lain pihak, kita selalu disuguhkan dengan berbagai prestasi beberapa siswa (few geniuses) pada berbagai perlombaan tingkat nasional dan internasional. Dari sejumlah prestasi itu, sayangnya pemerintah masih belum berhasil mengimbaskannya kepada siswa-siswa lain, baik secara masif maupun sistemis. Dengan bahasa lain, dapat dikatakan hasil yang diperoleh beberapa siswa dari mengikuti berbagai ajang perlombaan bergengsi dan dengan biaya yang sangat mahal itu ternyata belum mampu membawa perubahan terhadap capaian belajar siswa (student attainment) secara umum. Seharusnya partisipasi dalam perlombaan itu dapat dijadikan bagian dari upaya pemerintah untuk membangun sistem pendidikan yang lebih bermutu dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah belum mampu menjadikan capaian pada berbagai ajang lomba itu untuk membangun dan meningkatkan motivasi belajar, menanamkan semangat dan daya juang (risk-taking) serta ketekunan (resilience) di kalangan siswa lainnya, sebaliknya pemerintah hanya berhenti pada kepuasan sesaat.

Harus diakui sistem pendidikan yang dibangun sejauh ini belum banyak berperan dalam membantu menyelesaikan persoalan bangsa. Secara umum, lulusan pendidikan menengah masih belum dibekali dengan kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk dapat masuk pasar kerja (workplace), yang kondisinya sudah semakin terintegrasi dengan pasar global sehingga sangat kompetitif. Karena itu, upaya Depdiknas untuk kembali menggalakkan program pendidikan linking school and work melalui konsolidasi, intensifikasi, diversifikasi, dan ekspansi program pendidikan keterampilan (vocational skills) pada jenjang pendidikan menengah (SMK) patut untuk diapresiasi dan didukung. Namun, dukungan yang diberikan harus dalam semangat untuk menumbuhkan kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, dan memperkuat kemampuan dasar serta keterampilan teknis pada siswa sehingga mereka mampu menjawab tuntutan dunia kerja modern.

Kondisi SMK

Depdiknas dalam dua tahun terakhir melakukan conditioning guna meyakinkan masyarakat terutama siswa lulusan SMP agar lebih berminat memilih pendidikan kejuruan dalam menempuh karier pendidikan lebih lanjut. Upaya pemerintah memasang iklan layanan masyarakat di beberapa media cetak dan elektronik itu cukup baik, tapi dinilai masih terkesan responsif dan kagetan (hiccup) sebab kebijakan itu belum didukung kajian komprehensif dan mendalam yang melibatkan sejumlah departemen dan institusi terkait. Sebut saja tak pernah dijelaskan di mana posisi departemen tenaga kerja, industri, pertanian, pariwisata, lembaga pendidikan tinggi, dan lembaga profesional lainnya dalam pengembangan sekolah menengah kejuruan tersebut.

Pada akhir 1980, PTN pernah mensyaratkan siswa lulusan sekolah kejuruan harus memiliki nilai rata-rata 7,0 untuk dapat mendaftar dan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. PTN harus menetapkan persyaratan yang berbeda dengan siswa lulusan sekolah menengah umum (SMA) untuk menunjukkan bahwa peluang keberhasilan siswa lulusan kejuruan pada ujian masuk PTN sangat kecil apabila nilainya lebih rendah daripada yang dipersyaratkan (7,0). Informasi lain yang mungkin perlu juga diperhatikan, dalam suatu seminar yang diselenggarakan Pusat Pengujian Balitbang Diknas pada akhir 1980, sejauh penulis masih dapat ingat, pernah diungkapkan masa tunggu lulusan SMK sebelum mendapatkan pekerjaan sedikit lebih panjang jika dibandingkan dengan lulusan SMA. Selanjutnya, dalam pekerjaan ternyata kemampuan belajar dan memahami instruksi siswa lulusan SMA lebih cepat jika dibandingkan dengan siswa lulusan SMK meskipun siswa lulusan SMK pada umumnya lebih baik dalam bidang keterampilan dan kemampuan teknis tertentu. Informasi itu tentunya perlu diuji ulang (diteliti kembali) mengingat perkembangan dan perubahan serta kemajuan manajemen pembelajaran SMK selama ini yang tentunya sudah banyak berubah dan meningkat lebih baik. Menurut Asram Jr pemuda lulusan SMK swasta, Banyak lulusan SMK saat ini masih mengalami kesulitan dan frustrasi untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian mereka. Pandangan yang menyebutkan usia mereka masih terlalu muda (immature) ditambah dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang belum memadai (inadequate knowledge and skills) sering menjadi kendala utama siswa lulusan SMK mendapatkan pekerjaan yang layak dan dapat mendukung karier dan kehidupan ke depan (future career path). Akibatnya, banyak lulusan kejuruan hanya mampu mendapatkan pekerjaan musiman dan tanpa kepastian kehidupan ekonomi (financial insecurity), jaminan sosial, dan kesehatan. Akibat selanjutnya, mereka akan kesulitan untuk berperan sebagai pribadi dewasa (responsible adults) yang mampu membangun dan membina kehidupan rumah tangga dan melakukan kewajiban kewarganegaraannya (civic duty) dengan naik.

Untuk mengatasi persoalan itu, Depdiknas seharusnya mulai melakukan berbagai kajian konsepsional dan empirik sehingga arah pengembangan (roadmap) sekolah kejuruan ke depan dapat menjadi lebih jelas dan terukur. Depdiknas seharusnya mengkaji dan merumuskan kembali kebijakan yang berkenaan dengan visi, misi, dan tujuan sekolah kejuruan, mengidentifikasi dengan tepat berbagai keterampilan (vocational and thinking skills) yang sangat dibutuhkan dunia industri dan jasa pada abad ke-21 sekarang ini, revisited kurikulum dan implementasinya di lapangan guna menyesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan teori pembelajaran terkini. Selanjutnya, Depdiknas dapat lebih dahulu meneliti kecenderungan dan perkembangan industri nasional dan global termasuk benchmarking yang digunakan dan dapat membangun kemitraan strategis dengan sejumlah perusahaan dan lembaga profesi yang sesuai dengan kebutuhan. Kegiatan mendasar baik berupa assessment, appraisal, ataupun feasibility studies tersebut mutlak diperlukan sebelum sebuah kebijakan dilaksanakan secara nasional.

Pembangunan sekolah kejuruan haruslah diarahkan pada kebutuhan kekinian. Dunia saat ini dilanda krisis pangan dan energi. Krisis itu dipandang akan berlangsung lama dan menyerang semua negara, baik kaya maupun miskin. Sebagai negara agraris dengan kekayaan alam yang melimpah, bangsa ini diharapkan dapat menyejahterakan rakyatnya dan menyumbang untuk kemakmuran masyarakat dunia. Untuk mewujudkan keinginan mulia di muka, Depdiknas harus cerdas dan cermat dalam menentukan pilihan pendidikan keterampilan yang akan ditawarkan. Setiap bidang keahlian yang dipilih haruslah diarahkan dalam rangka menyiapkan individu siswa untuk dapat menjawab persoalan kekinian, memahami relevansi dan keterkaitannya dengan bidang lainnya, serta menyiapkan mereka dalam menghadapi arus perubahan yang begitu cepat dalam bidang ekonomi, teknologi, politik, dan sosial-budaya.

Seluruh program pendidikan kejuruan yang dikembangkan hendaknya didasarkan pada upaya menyiapkan peserta didik agar mampu menjawab kebutuhan kekinian (immediate needs) terutama dalam bidang pertanian/pangan, kelautan, kehutanan, energi, dan pertambangan. Selanjutnya, program pendidikan kejuruan hendaknya juga dapat mendukung pembangunan bidang transportasi, manufaktur, jasa perhotelan, travel, restoran, kesehatan, asuransi, mikroekonomi, dan perbankan. Sementara itu, ICT, animasi, dan desain grafis juga layak untuk mendapat prioritas mengingat semakin pesatnya kemajuan dan pertumbuhan industri dalam bidang tersebut.

Pilihan program bisa sangat luas dan beragam. Karena itu, Depdiknas harus dapat melihat dan menilai kemampuan daerah, khususnya dalam menyediakan sarana belajar yang memadai, sumber daya kependidikan yang andal, dan prospek penyediaan lapangan pekerjaan baru bagi siswa lulusan sekolah kejuruan. Desain program hendaknya dapat disesuaikan dengan arah dan perkembangan pembangunan wilayah. Kehadiran SMK hendaknya dapat memberi nilai tambah ekonomi dan dapat mendukung pembangunan wilayah tersebut. Dengan tersedianya sumber kehidupan berupa lapangan pekerjaan yang baik, program itu diharapkan akan dapat meminimalkan arus migrasi dan urbanisasi angkatan kerja usia muda.

Pendidikan khusus sesi 2

Author: ariyanto /

1. Sekolah Cenderung Seragam Anak Berbakat Khusus Diabaikan

Sistem pendidikan saat ini belum bisa mengakomodasi anak berbakat khusus atau gifted. Sekolah cenderung menyeragamkan kemampuan anak tanpa melihat potensinya. Padahal, tanpa penanganan yang tepat, potensi besar anak berbakat khusus akan terbengkalai dan kerap menimbulkan masalah.Anggota DPD GKR Hemas mengatakan anak berbakat khusus mempunyai kemampuan dan cara berpikir yang berbeda dari anak pada umumnya. Mereka juga mempunyai kebutuhan besar untuk berpikir dan berekspresi secara bebas.Sekolah yang ada saat ini cenderung tidak melihat keunikan tersebut. Sistem pendidikan juga belum bisa memenuhi kebutuhan anak berbakat khusus untuk berpikir secara bebas. Kelas akselerasi yang semula dimaksudkan untuk mewadahi anak berbakat khusus pun, pada kenyataannya hanya berisi pemadatan materi pelajaran.BerbedaOleh karena itu, tutur Hemas, diperlukan sebuah sekolah khusus untuk mengakomodasi mereka. "Pola pengasuhan dan pendidikan anak berbakat khusus tidak bisa disamakan. Tanpa kebebasan penuh untuk berpikir, mereka akan sulit menggali potensinya,"katanya dalam seminar regional "Merumuskan Media Belajar Bersama untuk Anak Berbakat Khusus (Gifted)" yang diselenggarakan Yayasan Anak Bangsa Mandiri di Aula Dinas Pendidikan Provinsi DI Yogyakarta, Jumat (9/1). Anak berbakat khusus biasanya berintelegensia jauh di atas rata- rata. Beberapa di antara tokoh dunia yang termasuk dalam kategori tersebut, antara lain Albert Einstein dan Thomas Alva Eddison. Akibat cara berpikir yang berbeda tersebut, anak berbakat khusus kerap tampak berulah di sekolahnya. Selain itu, mereka juga kerap dianggap bodoh karena tidak memperlihatkan nilai akademis yang baik. "Pada banyak kasus, anak berbakat khusus ini paling kerap membolos dan melakukan tingkah yang dianggap sebagai kenakalan oleh gurunya," ujarnya.Kepala Dinas Pendidikan DIY Suwarsih Madya mengatakan, anak berbakat khusus mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang sesuai dengan keunikannya. Hal ini mengingat hakikat pendidikan adalah mengembangkan potensi sesuai dengan bakatnya. Selama ini, pendidikan justru cenderung mengubah anak sesuai dengan citra yang diinginkan masyarakat, yaitu mempunyai nilai akademis tinggi, penurut, dan pendiam. "Hal ini jelas sulit diterapkan pada anak berbakat khusus karena akan mengubur bakatnya," ucapnya. (IRE)



2. Pencari Bakat Anak Berkebutuhan Khusus

Tidak ada kesejarahan yang menyebabkan keterlibatannya dengan dunia orang-orang berkebutuhan khusus, kecuali latar belakang kuliahnya di IKIP Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Tidak banyak pula orang yang berusaha menampilkan orang-orang berkemampuan khusus ini secara massal dalam sebuah gerakan.Orang yang melibatkan diri dalam dunia orang-orang berkebutuhan khusus dalam satu kehebohan massal itu adalah Ciptono.Kehebohan terjadi pada suatu hari di tahun 2002. Pada hari itu, jalan-jalan protokol Kota Semarang dipadati arak-arakan mereka yang berkebutuhan khusus, mulai dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita. Mereka berjalan perlahan, merayap di atas kursi roda bersama orangtua dan guru-guru sekolah luar biasa. Hari itu sekan-akan menjadi ”hari mereka yang berkebutuhan khusus”.”Tujuan saya mengadakan acara bagi mereka yang berkebutuhan khusus itu tidak lain untuk mencari bakat-bakat terpendam yang ada pada diri mereka. Ternyata saya memang bisa menemukan bakat-bakat mereka,” kata Ciptono.Dia mengenang kiprahnya di balik penyelenggaraan acara bertajuk ”Lomba Jalan Sehat Keluarga Pendidikan Luar Biasa” itu.Pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, ini ditemui di Jakarta pekan lalu seusai menerima penghargaan ISO 2009 di Lampung.Ciptono lalu menjelaskan latar belakang diadakannya acara jalan sehat itu. Acara tersebut diselenggarakan agar para siswa berkebutuhan khusus bisa tampil lebih percaya diri di tengah masyarakat. Prinsipnya, kata Ciptono, ”Mereka (berkebutuhan khusus) tidak perlu dikasihani, tetapi harus diberi kesempatan.”Maka, acara itu kemudian digunakan sebagai kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menampilkan kemampuannya, di bidang seni maupun keterampilan.Dari acara terbesar pertama di Semarang bagi mereka dengan kebutuhan khusus ini ditemukanlah Delly Meladi, penyandang tunanetra bersuara merdu yang mampu menghafal lebih dari 1.000 lagu. Penyandang tunanetra lainnya, Mega Putri, ditemukan sebagai pembaca puisi. Ada lagi Bambang Muri, penyandang tunagrahita, yang sama seperti Delly pandai bernyanyi.Ciptono tidak menyangka bahwa kegiatan jalan sehat itu telah melahirkan efek domino yang baik bagi perubahan mereka dengan kebutuhan khusus. Selain bisa muncul dari panggung ke panggung, suara mereka juga direkam dalam bentuk kaset atau video compact disc (VCD).Sampai sekarang Ciptono telah menghasilkan lima VCD dan satu kaset. Salah satunya adalah VCD yang dikeluarkan Badan Koordinasi Pendidikan Luar Biasa Jawa Tengah berlabel Keplok Ora Tombok (ikut bersenang-senang tanpa membayar).VCD itu menampilkan Delly, Mega, dan Bambang. Penari latar yang mengiringi ketiga penyanyi itu pun berasal dari siswa-siswi SMALB C/D1 YPAC Semarang.”Pokoknya semua yang terlibat di dalamnya adalah anak-anak berkebutuhan khusus,” kata Ciptono.Orangtua mampuSetelah lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta (dulu bernama IKIP Yogyakarta) tahun 1987, Ciptono langsung mengajar di SLB Wantu Wirawan Salatiga dengan gaji Rp 5.000 per bulan plus Rp 700 untuk uang transpor.Dia berkisah, uang sebesar itu habis dalam waktu lima hari saja. Untunglah, karena orangtuanya terbilang mampu, ongkos transportasi sehari-hari ditanggung ayahnya, Jayin Hartowiyono. Sementara sang ibu, Suntianah, menyerahkan semua keputusan untuk tetap mengajar di SLB kepada Ciptono.Dia mengaku, jiwa sosial untuk menolong anak-anak berkebutuhan khusus itu muncul sejak lulus SMA tahun 1982.”Maunya lulus Fakultas Kedokteran UGM karena saya bercita-cita menjadi dokter. Tetapi, karena diterimanya di IKIP Jurusan Pendidikan Luar Biasa, ya saya harus mengajar di SLB,” katanya.Meski orangtuanya cukup berada karena memiliki armada bus Gotong Royong dan Hidayah di kota kelahirannya, Salatiga, saat masih kanak-kanak Ciptono dititipkan kepada neneknya dengan pendidikan ”keras”. Ia mengaku, neneknyalah yang mendidiknya untuk mencintai sesama, khususnya mereka yang tidak mampu dan berkekurangan.”Boleh dibilang saya dilatih (Nenek) untuk tidak tegaan,” katanya.Tahun 1989 ia mengajar Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa dan dasar-dasar pendidikan luar biasa di pendidikan guru agama negeri. Pada tahun itu juga ia menjadi calon pegawai negeri sipil SLB C YPAC Semarang. Dari keseringannya bergaul dengan mereka yang berkebutuhan khusus, Ciptono mulai menemukan kenyataan bahwa di antara anak-anak itu ada yang memiliki bakat khusus.Misalnya, ia menemukan Andi Wibowo, penyandang tunagrahita yang mampu menggambar dengan menggunakan dua tangan secara bersamaan. Andi ”hanya” memiliki IQ 60, di mana umumnya, menurut Ciptono, anak-anak itu ber-IQ 90.Untuk memunculkan anak-anak berkebutuhan khusus yang punya kemampuan khusus, ada saja acara yang dia ciptakan setiap tahun, mulai dari donor darah, halalbihalal, sampai merayakan Natal. Semua acara itu selalu melibatkan siswa-siswi berkebutuhan khusus. Sampai-sampai saat mereka tampil di sebuah mal pada 19 Desember 2008, banyak orang tidak percaya bahwa itu suara asli mereka yang berkebutuhan khusus.”Mereka tahunya itu suara pura-pura atau tiruan, bukan suara mereka yang sebenarnya. Padahal, itu asli suara mereka dengan kebutuhan khusus, mulai dari tingkat SD sampai SMA,” tutur Ciptono.Tujuh rekorAtas prestasinya memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus, Ciptono yang pada 2003 menyabet juara I Lomba Mengarang dan Pidato Antarguru SLB se-Jawa Tengah itu mendapat berbagai penghargaan dari dinas pendidikan sampai Departemen Pendidikan Nasional.Ia juga memperoleh tujuh rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) atas kepeduliannya kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Penghargaan lainnya adalah sebagai guru SLB berdedikasi tinggi dari dinas pendidikan setempat pada tahun 2003. Tahun 2005 ia menerima penghargaan sebagai guru berdedikasi tinggi dari Mendiknas Bambang Sudibyo, dan tahun 2006 menjadi juara guru kreatif.Agustus 2008 Ciptono menyabet juara pertama lomba manajemen pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tingkat nasional.”Saya mendapat hadiah Rp 10 juta dari Gubernur Jawa Tengah atas prestasi ini,” kata Ciptono yang tiga kali mendirikan SLB, yakni SLB Hajjah Sumiati, SD Bina Harapan, dan belakangan ini ia membuka sekolah di garasi untuk anak-anak berkemampuan khusus.Jabatan formal Ciptono adalah Kepala Sekolah SLBN Semarang yang membawahkan 60 karyawan dan guru. Sepuluh di antaranya sudah menjadi pegawai negeri sipil, sedangkan selebihnya masih sebagai tenaga honorer.Uniknya, 20 persen karyawannya itu haruslah dari anak-anak berkebutuhan khusus. Sekarang ini, misalnya, dikaryakan dua penyandang tunadaksa, dua penyandang tunarungu, dan satu penyandang tunanetra.”Asisten guru pun diangkat dari anak-anak berkebutuhan khusus ini,” kata Ciptono menambahkan.


3. Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus

Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.
Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.
Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.
Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia
mencapai satu dari 150 anak.
"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.
Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.
Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.
Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.
Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.
"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar
Hayden.
Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.
"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.


4. KLASIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

A. Pendidikan Khusus (PK)
Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan baik permanent maupun temporer untuk mendapatkan penyesuaian pelayanan pendidikan. Kebutuhan permanen kebanyakan diakibatkan oleh kelainan yang disandang, antara lain:
1. Tunanetra
Adalah mereka yang mengalami gangguan daya penglihatan berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, yang membutuhkan penyesuaian pelayanan pendidikan. (6/6 to 6/18 =Normal, 6/18 to 3/60=Low Vision/Limited vision, 3/60 to 1/60=Very limited vision/socially blind, less than 1/60=practically blind)
Field of vision: 10 or less on the best eye, is usually characterized as blindness".
2. Tunarungu
Adalah mereka yang mengalami kehilangan kemampuan pendengaran menyeluruh atau sebagian,
Ada dua kelompok tunarungu yaitu:
a) Kurang dengar, yaitu mereka yang kehilangan pendengaran kurang dari 90 dB.
b) Tuli, yaitu mereka yang kehilangan pendengaran di atas 90 dB.
3. Tunagrahita
Adalah mereka yang mengalami hambatan atau keterlambatan dalam perkembangan mental disertai ketidakmampuan untuk belajar dan menyesuaikan diri.
C Tunagrahita Ringan (IQ = 50 - 70)
C1 Tunagrahita Sedang (IQ = 25 - 50)
C2 Tunagrahita Berat (IQ < 25)
4. Tunawicara
Adalah mereka yang mengalami gangguan dalam berbicara diakibatkan oleh kelaianan/kerusakan pada organ bicara.
5. Tunadaksa
Adalah mereka yang memiliki kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, otot, sendi, dan pada sisstem saraf pusat) sehingga membutuhkan penyesuaian layanan Pendidikan
6. Tunalaras
Adalah mereka yang mengalami gangguan emosi dan perilaku sehingga mengalami kesulitan dalam bertingkah laku dan membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan.
7. Anak berbakat
Adalah anak yang memiliki kecerdasan dan kemampuan luar biasa dan atau bakat istimewa, (giffted): potensi kecerdasan istimewa (IQ>125) talented: Potensi bakat istimewa (multiple Intelegensys language, Lagico, Mathematic, Visuo Spatial Bodly, Khineshtetic Intrapersonal, Musical, Natural, Spiritual.
8. Tunaganda
Adalah mereka yang memiliki dua atau lebih kelainan, sehingga membutuhkan penyesuaian layanan Pendidikan.
9. Anak Berkesulitan Belajar
Adalah anak yang mengalami berbagai kesulitan dalam melakukan pembelajaran seperti membaca, menulis dan berhitung (Hyperactive, ADD/ADHD, Dyslexia/ baca, Dysphxia/ bicara, Dyspraxia/ motorik).
10. Anak Autisme
Adalah anak yang mengalami hambatan dalam proses interaksi sosial, komunikasi, perilaku, dan bahasa.
11. Anak dengan gangguan Konsentrasi dan Perhatian
Adalah anak yang tidak mampu memusatkan perhatian pada objek tertentu
12. Lambat Belajar (IQ 70-90)
13. Korban Penyalahgunaan Narkoba/HIV/AIDS
14. INDIGO (Memiliki Indra Keenam)


5. Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus
Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.
"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.
Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.
"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.
Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.
Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.
Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.
Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.
"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.
Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.(*)

Pendidikan dasar sesi 2

Author: ariyanto /

1. Perlunya formalisasi Pendidikan Filsafat terhadap Siswa Sekolah Dasar
Perkembangan sikap kritis terhadap berbagai problematika kehidupan di indonesia yang cukup menyedihkan ditengarai karena tidak adanya pembelajaran sikap dan berfikir kritis semenjak dini. sistem pengajaran yang cenderung tradisional dengan paradigma transfer ilmu pengetahuan dari pengajar ke penerima (baca:siswa) menjadi faktor utama rendahnya sikap dan prilaku kritis. hal ini diperburuk dengan materi bahan ajar yang memang disiapkan untuk dihapal dan bukannya difahami dan dijadikan sebagai bahan pemikiran yang relevan dengan lingkungan sekitar (baca:pengajaran berbasis lingkungan)yang seharusnya ada.

Dari sini kita dapat melihat perlunya sebuah mata pelajaran (baca: materi bahan ajar)yang mendukung cara berfikir dan bertindak kritis. adapun yang diusulkan oleh penulis adalah pendidikan filsafat dasar dan metode berfikir ilmiah atau logika yang tentunya diajarkan dengan metode yang mendukung pula.

Hal ini tentunya sulit karena merupakan hal baru yang belum pernah ada dan memerlukan pemikiran mendalam untuk mencobanya namun sebelum terlambat apa salahnya jika kita mencoba. apalagi negara-negara yang sudah pernah menerapkan hal ini terbukti sanggup melahirkan ilmuwan-ilmuwan tingkat tinggi yang diakui sikap kritisnya oleh dunia internasional yaitu Prancis dan Jerman.



2. UN PERLU KEJUJURAN
MENJELANG Ujian Nasional (UN) para siswa, guru, orangtua, bahkan para pejabat sibuk melakukan persiapan untuk memnuhi hajat pendidikan nasional. Siswa tidak hanya belajar pada jam sekolah, guru pun memberikan les tambahan di luar jam kerja, para orangtua mengeluarkan biaya ekstra yang tidak sedikit, dan para pejabat pun sibuk menghitung taksasi anggaran, membuat perangkat hukum, dan segala pernak-perniknya. Kesibukan yang demikian ini merupakan pemandangan yang klise setiap menjelang akhir tahun pelajaran.

Demikianlah yang terjadi pada tiga bulan terakhir menjelang UN 2005 yang akan dilaksanakan pada bulan Mei ¡V Juni mendatang. Apalagi pada tahun pelajaran 2004/2005 ini, Depdiknas mematok standar kelulusan minimal 4,26 naik 0,25 dari tahun sebelumnya. Peningkatan standar kelulusan ini bukan membuat sebagian siswa kecut karena mereka yakin akan dibantu oleh yang namanya ¡§tim sukses¡¨.

Sementara itu, bagi guru saat-saat seperti ini merupakan peluang emas untuk menambah penghasilan bahkan bisa buat menutup utang. Biasanya guru dibayar oleh sekolah untuk memberikan les tambahan sekitar Rp 25.000 hingga Rp 60.000 untuk satu kali pertemuan. Bahkan bisa lebih bila mendapat kontrak rahasia untuk menjadi ¡§Tim Sukses¡¨ saat UN berlangsung. Dengan demikian, UN memunculkan "o pola budaya baru.

Wakil Presiden M. Yusuf Kalla dalam wawancaranya dengan harian Kompas (14 Pebruari 2005) mengatakan bahwa budaya lembek telah mempengaruhi dunia pendidikan. Akan tetapi, dengan UN budaya lembek itu akan dapat diatasi menjadi budaya kerja keras karena akan memaksa siswa dan guru untuk bekerja keras. Benarkah UN akan membentuk budaya kerja keras?

Pernyataan yang dikemukakan oleh Wapres kita tersebut memberikan pemahaman bahwa UN itu sangat penting dilaksanakan karena para siswa akan lebih giat belajar untuk meraih predikat LULUS. Di samping itu, gurunya pun akan mengajar lebih serius, bahkan orangtua siswa akan memberikan perhatian ekstra untuk anaknya. Jadi, pernyataan yang dikemukakan beliau dapat diterima dengan catatan jika UN dilaksanakan dengan kejujuran.

Pelaksanaan UN dikatakan jujur tentunya memiliki beberapa indikator antara lain 1) jawaban siswa dikirimkan apa adanya, 2) tidak memberitahukan kunci jawaban kepada siswa baik secara tertutup maupun terbuka, 3) pengawasan dilakukan secara benar, 4) penilaian LJK berdasarkan acuan standar (nonkonversi), dan 5) tidak ada intervensi pihak tertentu ¡§TIM SUKSES¡¨ untuk membuat kelulusan 100%. Jika kelima indikator itu menjadi komitmen yang mesti ditaati barulah UN dikatakan jujur.

Penulis menyarankan agar pelaksanaan UN 2005 melibatkan peranserta masyarakat ilmiah seperti membentuk badan pengawasan independen (Komite Pemantau Ujian Nasional) untuk memberikan pengawasan secara langsung selama pelaksanaannya. Dengan demikian UN lebih terjamin dan bermanfaat sebagai pengendali mutu pendidikan nasional serta bermanfaat pula untuk meningkatkan motivasi berprestasi dalam diri peserta didik.

Sebenarnya kalau kita berbicara tentang mutu pendidikan maka hasil UN tidak dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan, karena hasilnya cenderung tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya dan "o meragukan. Bahkan hasil UN itu tak bermanfaat sama sekali untuk melanjut ke Perguruan Tinggi apalagi untuk memasuki pasar kerja. Namun, jika hasil UN dianggap sebagai pemetaaan potensi peserta didik berdasarkan wilayah, hal itu dapat diterima walaupun sebenarnya UN hanya dapat memetakan aspek kognitifnya saja.

Terlepas dari masalah pro dan kontra terhadap pelaksanaan UN 2005, penulis berpendapat bahwa UN akan menciptakan budaya tidak jujur di kalangan peserta didik dan pengelola pendidikan jika pelaksanaannya tidak taat pada asas kejujuran. Hanya dengan kejujuran kita akan bangkit dari keterpurukan mutu pendidikan. Karena ada kecenderungan bahwa sekolah penyelenggara UN melakukan berbagai upaya tertentu untuk mendapatkan kelulusan 100% supaya memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan (SPM Kepmendiknas 053/U/2001), yakni dengan cara membentuk TIM SUKSES

Fenomena lain tentang ketidakjujuran pelaksanaan UN seperti kebocoran soal, keleluasaan peserta didik untuk mencontek, sistem pengawasan yang lemah bahkan ada tanpa pengawasan, dan pengorganisasian ¡§tim sukses¡¨ untuk mengubah jawaban peserta didik sudah sepantasnya kita akhiri. Bila hal ini merupakan suatu realita empiris berarti UN telah menciptakan budaya tidak jujur dalam sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, jauh hari sebelum UN 2005 dilaksanakan, hal ini harus mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat peduli pendidikan agar biaya proyek yang tidak sedikit itu tidak terkesan mubajir. Dengan kata lain, ¡§Arang habis besi binasa.¡¨

Jadi, pelaksanaan UN yang tinggal menghitung hari perlu disikapi sebagai upaya menumbuhkan sikap bersaing secara sehat antarpeserta didik dan pengelola pendidikan. Yakinlah bahwa UN benar-benar akan bermanfaat jika dilakukan melalui kompetisi berdasarkan kompetensi, jujur dalam implementasi, dan adil dalam penilaian. Dengan demikian, budaya lembek yang telah merasuki dunia pendidikan berubah menjadi budaya kerja keras.

Oleh karena itu, kejujuran sangat diperlukan untuk mendukung perubahan budaya itu sehingga menjadi bersifat permanen. Tanpa kejujuran dalam pelaksanaan UN 2005 sebenarnya kita menciptakan generasi pecundang dan menghambur-hamburkan uang negara.

UN 2005 sudah dipastikan memerlukan dana milyaran rupiah. Daripada dana itu mubazir, mungkin lebih baik dialokasikan untuk penyediaan fasilitas pembelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada satuan pendidikan dasar dan menengah. Namun, jika pemerintah (Depdiknas) bersedia dan mampu menekankan kejujuran dalam pelaksanaan UN 2005 tentu hasilnya dapat dijadikan sebagai kendali mutu pendidikan sekaligus sebagai umpan balik untuk memperbaiki input dan proses penyelenggaraan pendidikan dalam sistem pendidikan nasional. Semoga.




3. Quovadis Akselerasi di Tingkat Pendidikan Dasar

Wacana akselerasi pendidikan baik di tingkat pendidikan dasar maupun di tingkat menengah pernah menjadi wacana fenomenal dalam dunia pendidikan. Hampir berbagai media massa dari tingkat lokal sampai nasional pernah mempublikasikan tentang wacana tersebut. Berbagai argumentasi pro dan kontra seputar wacana akselerasi pendidikan pernah menghiasi hampir berbagai media baik cetak maupun elektronik.

Ada apa sebetulnya dengan akselerasi pendidikan? Akselerasi pendidikan baik di tingkat pendidikan dasar maupun menengah merupakan suatu kebijakan yang dikeluarkan Depdiknas, yang tertuang dalam Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP Nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Kepmendikbud nomor 0487/U/1992 untuk Sekolah Dasar.

Esensi dari program akselerasi pendidikan adalah memberikan pelayanan kepada siswa yang mempunyai bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa untuk mengikuti percepatan dalam menempuh pendidikannya. Untuk tingkat pendidikan dasar, siswa yang mempunyai bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa dapat menempuh pendidikannya selama 5 tahun, sedangkan untuk tingkat menengah SLTP dan SLTU siswa dapat menempuh pendidikannya selama 2 tahun.

Secara konseptual, program akselerasi ini cukup bagus relevansinya dalam pengembangan bakat dan kecerdasan anak, yaitu memberikan perhatian yang lebih kepada anak didik yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan yang luar biasa, sehingga mereka bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya secara luas. Tetapi secara praksis, program akselerasi memiliki kelemahan yang sangat signifikan. Pada tataran praksisnya, akselerasi cenderung berorientasi pada tingkatan kognisi saja.

Untuk di tingkat pendidikan menengah, implementasi program akselerasi ini mungkin tidak begitu bermasalah, karena sudah sesuai dengan tingkat perkembangan inteligensi anak. Tetapi sebaliknya, untuk di tingkat pendidikan dasar, implementasi program akselerasi masih perlu dipertanyakan. Mengapa demikian? Anak-anak yang berada di tingkat pendidikan dasar masih identik dengan dunianya, yaitu dunia bermain. Dus, belum saatnya anak dipaksakan untuk berpikir seperti halnya orang dewasa.

Bloom mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembang-kan tiga kemampuan dasar, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek tersebut merupakan sebuah entitas integral yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan berdiri sendiri. Antara aspek yang satu dengan aspek lainnya saling berkaitan. Dengan demikian, keberhasilan pendidikan hanya akan dapat tercapai manakala ketiga aspek tersebut dapat diaplikasikan oleh guru secara seimbang dalam proses belajar mengajar.

Berkaitan dengan program akselerasi, mau tidak mau anak didik kita dipacu untuk terus mengejar "nilai". Agar anak didik dapat mendapatkan nilai yang "baik", guru dituntut untuk dapat menyampaikan materinya pada anak didik dengan metode yang tepat dan singkat. Itupun ditambah dengan adanya pelajaran tambahan yang diharapkan dapat membantu anak didik agar nilainya tetap stabil di samping dapat mengejar materi pelajaran agar tidak tertinggal. Realitas ini mengindikasikan bahwa akselerasi hanya berkutat pada tataran kognisi. Sehingga dalam konteks ini, anak didik yang tingkat kognisinya lemah akan tertinggal, sebaliknya anak didik yang tingkat kognisinya kuat akan melaju terus. Akselerasi tidak bisa melihat "prestasi" anak didik yang sebenarnya, karena prestasi yang sudah ada didapat melalui suatu "perampasan" terhadap hak-hak anak didik.
Fenomena sosial yang muncul di dalam sekolah penyelenggara program akselerasi adalah padatnya jam belajar anak didik dan banyaknya muatan pelajaran yang harus dipelajari. Semua itu bermuara pada "perampasan" hak-hak anak didik dalam kehidupannya. Anak didik kehilangan waktu untuk bermain maupun berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini pada akhirnya berakibat pada teralienasinya dan termarjinalkannya anak didik dari lingkungannya.

Anak didik tidak memiliki kesempatan untuk belajar dengan dunianya atau dengan lingkungannya tentang, bagaimana menghargai orang lain, berempati terhadap orang lain, mengendalikan nafsu dan lain sebagainya, yang semuanya berkaitan dengan masalah emosionalnya. Padahal semua yang berkaitan dengan masalah emosional sangat penting sekali bagi seseorang apabila ia ingin berhasil. Aspek kemampuan kognisi saja tidak cukup bagi seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya.

Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence mengatakan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh aspek kecerdasan kognisi saja, tetapi aspek kecerdasan emosional memegang peranan yang sangat penting. Menurutnya intelektualitas tidak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa disertai dengan kecerdasan emosional.

Antara kecerdasan kognisi dan kecerdasan emosional merupakan satu kesatuan yang saling mengisi dalam membentuk keberhasilan seseorang. Akan tetapi, ketika aspek kognisi lebih dominan dalam praksisnya, maka pertanyaan yang muncul dalam pikiran kita relevansinya dengan program akselerasi adalah mau dibawa kemana anak-anak kita yang berada di tingkat pendidikan dasar?

Pertanyaan ini patut kita cermati dan renungi, bagaimanapun juga akselerasi tidak membuat anak didik memiliki prestasi yang matang sesuai dengan tingkat perkembangan inteligensi anak, sebaliknya akselerasi telah melahirkan sebuah fenomena baru dalam dunia pendidikan kita, yaitu lahirnya prematurisme pendidikan. Lebih tragis lagi, ungkap Suyanto, model pendidikan "karbitan" seperti akselerasi sebenarnya akan menuai limbah pendidikan yang pada hakikatnya sungguh amat kontraproduktif dan bahkan juga kontraedukasi.


4. Pengembangan SDM Sedini Mungkin di Sekolah Dasar

UMUMNYA para pendidik telah mengenal bahwa fokus pengajaran murid-murid sekolah dasar adalah agar murid menguasai kemampuan dasar yang tercakup dalam rumus 3-R. yaitu Arismetik, reading dan writing. Atau dengan kata lain penguasaan dalam berhitung, membaca dan menulis.

Bagaimana penguasaan murid-murid atas kemampuan dasar ini, orang melihat sesuai dari kaca mata mereka masing-masing. Tidak sedikit orang, yang mengatakan bahwa kemampuan dasar murid dalam berhitung, membaca dan menulis telah mantap begitu mendengar bahwa di sekolah yang bersangkutan ada segelintir murid yang memperoleh NEM yang cukup baik.

Namun secara umum kalau kita perhatikan sertifikat NEM anak-anak Yang mendaftar ke tingkat SLTP banyak menunjukkan angka kemampuan berhitung, Kita sebut saja nilai matematika yang begitu jelek. Dapat kita perkirakan bahwa kemampuan mereka dalam membaca dan menulis juga jelek.
Untuk mencek kemampuan membaca murid pada tingkat SLTP dan SLTA dapat dicek lewat pemanfaatan buku-buku teks mereka. Ka1au kita mengunjungi perpustakaan sekolah tingkat SLTP dan SLTA maka akan kita jumpai tumpukan buku-buku teks yang lumayan banyaknya tanpa ada disentuh atau dimanfaatkan. Meskipun untuk menyediakannya pemerintah telah menghabiskan milyaran rupiah dari proyek penyediaan buku-buku. Begitu pula dengan buku-buku teks yang ada di dalam tas sekolah mereka, terlihat masih utuh sebagai tanda bahwa belum dimanfaatkan walau tidak semua murid yang bersikap demikian). Ini akibat kebiasaan murid yang. gemar menghafal catatan pelajaran mereka, ketimbang menganalisa buku-buku teks pelajaran mereka.

Pada akhir tahun di kelas tiga, tingkat SLTA, siswa musti menyelesaikan sebuah karya tulis sebagai syarat untuk dapat mengikuti EBTA dan EBTANAS. Tetapi mereka seolah-olah mencerminkan ketidakmampuan dalam menulis karya tulis. Dan memang kenyataannya mereka betul-betul banyak yang tidak mampu dalam menulis karya tulis yang begitu sederhana. Sehingga mereka terpaksa menempuh jalan curang, misalnya, dengan memalsukan karya tulis kakak kelas yang telah lulus pada tahun lain.
Dari sebuah dialog ringan dengan mahasiswa KKN tertangkap kesan tentang melemahnva semangat mahasiswa dalam peningkatan SDM. Pergi kuliah hanya asal-asalan saja. Banyak mereka yang enggan datang ke kampus dan suka menitipkan absen. Hari-hari mereka lewati dengan hura-hura. Kemudian pada musim tentamen mereka suka menggunakan jimat, catatan kecil, ala anak SMU atau mencari sopir ujian. Sebab sang dosen tidak mungkin dapat mengenali semua mahasiswanya karena itulah suatu stereotype, atau pandangan umum, bahwa hubungan dosen dan mahasiswa adalah "siapa lu dan siapa gua". Dengan kata lain hubungan mereka adalah sebatas membayar kewajiban saja, yang penuh dengan ketidakacuhan atau ketidakpedulian.
Banyak tudingan bahwa kebodohan murid di sekolah berawal dari kenakalan karena orang tua mereka ada yang "'broken" atau orang tua tidak peduli dengan pendidikan anak. Itu sangat benar. Tetapi ada pula malah orang tua begitu peduli dengan pendidikan anak, dan lingkungan sosial anak begitu sehat. Malah si anak kok begitu sudi mengungkapkan ingin untuk tarik diri dari dunia sekolah karena tidak dapat mengikuti pelajaran demi pelajaran. Kendala yang dialami oleh anak atau murid seperti ini disebabkan karena rendahnya kemampuan membaca mereka. Barangkali penyebabnya adalah karena di dalam keluarga mereka tidak dibiasakan budaya membaca. Buku-buku dan majalah adalah benda langka untuk dijumpai.

Bukan berarti orang tua mereka tergolong tidak mampu. Malah orang tua dapat memenuhi kebutuhan permainan elektronika mungkin karena bersaing dengan anak tetangga. Dan begitu pula orang tua mereka mampu membeli sarana hiburan yang serba mewah meski sebagai prestise dan menunjukkan kepada lingkungan, karena sebagian orang kita bermental suka pamer, bahwa mereka termasuk orang yang cukup "the have".

Dalam zaman global informasi dan komunikasi ini, masih cukup banyak orang tua yang berfikiran mundur. Mereka akan mengatakan. bahwa berlangganan majalah itu percuma sebab tidak akan mengenyangkan perut. "Bukankah uangnya lebih baik untuk dibelikan sama kue", demikian menurut orang tua yang bersikap "stomach oriented". Ada lagi orang tua yang mencela anaknya yang sudah mulai gemar membaca sebagai membuang-buang waktu. Image seperti ini diperoleh dari keluarga pedagang dan tentunya tidak semua pedagang yang begitu, dimana bagi mereka waktu adalah benar-benar uang.
Murid-murid yang melarikan diri dari sekolah bisa jadi karena kejenuhan di dalam kelas karena tidak menguasai pelajaran. Rasa jenuh dapat mendatangkan rasa benci pada pelajaran dan berakhir dengan perseteruan antara guru-guru.
Macetnya komunikasi guru-murid dalam kelas disebabkan kepasifan murid dengan sikap yang suka membisu dalam seribu bahasa. Banyak juga guru yang kesal, begitu ia serius dalam proses belajar mengajar dan bertanya untuk mendapatkan umpan balik. Dan ketika ditanya "apakah kamu sudah paham atau belum mengerti", dijawab oleh murid dengan wajah "no comment"

Kesulitan murid dalam memahami pelajaran dan kepasifan murid dalam berkomunikasi, secara lisan dan tulisan, adalah karena anak atau murid lemah dalam kemampuan membaca. Penyebabnya karena mereka tidak terlatih dengan budaya membaca sejak dini.

Membaca adalah satu bagian dari aspek berbahasa. Dan bahasa adalah sarana untuk mengekspresikan fikiran. Orang yang bahasanya teratur maka fikirannya juga teratur. Sebaliknya dalam bahasa yang macet terdapat pula kemacetan dalam berfikir. Dan rata-rata murid yang macet dalam berfikir. Dan inilah yang harus kita atasi secepatnya.
Syukurlah kalau dalam suatu kelas, terutama di Sekolah Dasar, cukup banyak anak yang berlangganan majalah. Tentu mereka mendapat kemudahan dalam memahami setiap pelajaran. Memang ada korelasi langsung antara anak yang gemar membaca dengan prestasi mereka dalam belajar. Dan idealnya memang setiap anak memang harus gemar membaca. Maka kita patut mengacungkan jempol bagi orang tua murid yang menyokong anak mereka di rumah agar selalu membaca apalagi menyediakan
Syukurlah kalau dalam suatu kelas, terutama di Sekolah Dasar, cukup banyak anak yang berlangganan majalah. Tentu mereka mendapat kemudahan dalam memahami setiap pelajaran. Memang ada korelasi langsung antara anak yang gemar membaca dengan prestasi mereka dalam belajar. Dan idealnya memang setiap anak memang harus gemar membaca. Maka kita patut mengacungkan jempol bagi orang tua murid yang menyokong anak mereka di rumah agar selalu membaca apalagi menyediakan
bagi anak mereka dana khusus agar anak mereka dapat berlangganan majalah anak-anak.

Tampaknya hanya segelintir saja orang tua yang mampu baru mendorong anak mereka untuk membudayakan membaca di rumah. Dan cukup terbatas pula jumlah orang tua yang punya kelebihan dan untuk berlangganan majalah anak-anak. Tampaknya masih ada usaha lain yang dapat diterapkan oleh guru-guru untuk mengembangkan kebiasaan anak dalam membaca yaitu pemanfaatan pustaka sekolah.

Pernah suatu ketika seorang guru sekolah dasar mengatakan bahwa murid-muridnya cukup mempunyai minat dalam membaca. Buktinya kalau ada buku bacaan, murid-murid itu berebutan tidak sabar ingin memperolehnya. Tetapi sayang, katanya, sekolah itu tidak mempunyai guru perpustakaan.
Mestikah guru yang demikian tidak bertindak untuk menyalurkan keinginan anak untuk membaca dengan alasan tidak ada tenaga guru perpustakaan? Sementara itu murid yang dihadapinya sebagai guru kelas cuma berjumlah 25 orang, murid saja. Kita rasa dalam jumlah murid yang kecil itu guru kelas mungkin dapat mencari jalan keluarnya. Misalnya saja membawa buku bacaan sebanyak jumlah murid dan meminjamkannya untuk dibaca di rumah. Kemudian bagi yang banyak membaca kita kaitkan dengan nilai bahasa mereka, misalnya.

Pemanfaatan buku-buku bacaan seperti cara diatas cukup bermanfaat dalam pengembangan keterampilan membaca murid. Adapun untuk pengembangan keterampilan menulis adalah dengan membiasakan pemberian "tugas mengarang" kepada murid. Ada seorang penulis yang sangat terkesan akan gurnya ketika ia masih bersekolah di SD. Gurunya mewajibkan setiap murid untuk mengarang setiap minggu dan membacakannya di depan kelas. Inilah titik awal kenapa ia tertarik dalam bidang penulisan setelah dewasa. Cara seperti ini sungguh bermanfaat untuk diterapkan oleh guru-guru sejak sekolah dasar, terus ke tingkat SLTP dan SLTA oleh guru bidang studi bahasa Indonesia. Apabila kebiasaan pemberian mengarang ini dilakukan oleh guru-guru secara kontinyu dan terprogram, maka insya Allah kita tidak melihat lagi siswa-siswi SMU kasak kusuk dalam menulis karya ilmiah sederhana. Dan begitu pula kebiasaan mahasiswa, calon sarjana, tidak akan lagi menciptakan skripsi "aspal" alias asli tapi palsu. Kita yakin kalau kemampuan menulis generasi kita sudah bagus, maka bursa penulisan skripsi liar tidak akan pernah ada lagi.

Masih ada lagi, agaknya, usaha yang kita lakukan untuk peningkatan SDM anak didik sedini mungkin. Misalnya membuat papan tempat berkreasi, semacam majalah dinding ala, siswa SLTA, dimana murid-murid SD dapat menempelkan kreasi-kreasi mereka apakah berupa gambar, puisi, cerpen dan lain-lain pada papan kreasi tersebut. Kita yakin bahwa animo murid-murid SD untuk berkreasi cukup tinggi karena pada dasarnya anak-anak kecil suka memamerkan kebolehannya. Demikianlah renungan kita dalam usaha peningkatan SDM sedini mungkin sejak sekolah dasar.

5. BK Karier di SD
1.Paradigma
Paradigma bimbingan konseling adalah pelayanan bantuan psiko-pendidikan dalam bingkai budaya. Artinya, pelayanan konseling berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan dan teknologi pendidikan serta psikologi yang dikemas dalam kaji-terapan pelayanan konseling yang diwarnai oleh budaya lingkungan peserta didik.


2.Visi
Visi pelayanan bimbingan konseling adalah terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian dukungan perkembangan dan pengentasan masalah agar peserta didik berkembang secara optimal, mandiri dan bahagia.

3.Misi
a.Misi pendidikan, yaitu memfasilitasi pengembangan peserta didik melalui pembentukan perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan masa depan.
b.Misi pengembangan, yaitu memfasilitasi pengembangan potensi dan kompetensi peserta didik di dalam lingkungan sekolah/ madrasah, keluarga dan masyarakat.
c.Misi pengentasan masalah, yaitu memfasilitasi pengentasan masalah peserta didik mengacu pada kehidupan efektif sehari-hari.

Bidang Bimbingan Konseling :
1.Bimbingan Pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik.

2.Bimbingan Sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas.

3.Bimbingan Belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.

4.Bimbingan Karier, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karier.

Jenis Layanan Bimbingan Konseling :
1.Orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah/madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang baru.

2.Informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.


3.Penempatan dan Penyaluran, yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra kurikuler.

4.Penguasaan Konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terumata kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah, keluarga, dan masyarakat.

5.Konseling Perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya.

6.Bimbingan Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok.

7.Konseling Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.

8.Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.

9.Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka.

Kegiatan Pendukung

1.Aplikasi Instrumentasi, yaitu kegiatan mengumpulkan data tentang diri peserta didik dan lingkungannya, melalui aplikasi berbagai instrumen, baik tes maupun non-tes

2.Himpunan Data, yaitu kegiatan menghimpun data yang relevan dengan pengembangan peserta didik, yang diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematis, komprehensif, terpadu, dan bersifat rahasia.

3.Konferensi Kasus, yaitu kegiatan membahas permasalahan peserta didik dalam pertemuan khusus yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik, yang bersifat terbatas dan tertutup.

4.Kunjungan Rumah, yaitu kegiatan memperoleh data, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik melalui pertemuan dengan orang tua dan atau keluarganya.

5.Tampilan Kepustakaan, yaitu kegiatan menyediakan berbagai bahan pustaka yang dapat digunakan peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan sosial, kegiatan belajar, dan karir/jabatan.

6.Alih Tangan Kasus, yaitu kegiatan untuk memindahkan penanganan masalah peserta didik ke pihak lain sesuai keahlian dan kewenangannya.

Pola Penyelenggaraan Kegiatan Bimbingan dan Konseling:

1.Pola Infusi ke dalam mata pelajaran, yaitu memasukkan materi bimbingan dan konseling ke dalam mata pelajaran tertentu

2.Pola Layanan Khusus, yaitu menyelenggarakan kegiatan bimbingan dan konseling melalui jenis-jenis layanan tertentu dan kegiatan pendukung.

3.Pola Alih Tangan Kasus, yaitu mengalihtangankan penangangan kasus kepada pihak lain yang lebih ahli.

4.Pola Ekstra-Kurikuler, yaitu menyelenggarakan kegiatan bimbingan dan konseling di luar pengajaran dan tanpa melalui jenis layanan/pendukung tertentu. Misalnya:
upacara bendera, kegiatan menjelang masuk dan/atau ke luar kelas, kegiatan di luar kelas sewaktu istirahat, jalan-jalan/darmawisata, dan sebagainya.

Bimbingan Karier di SD

Dalam bidang bimbingan karier, pelayanan bimbingan dan konseling membantu siswa mengenali dan mulai mengarahkan diri untuk masa depan karier. Bimbingan karier di Sekolah merupakan kegiatan yang paling awal dan mendasar bagi pengembangan karier secara menyeluruh. Pemberian materi bimbingan karier untuk para siswa disesuaikan dengan jenjang pendidikan yang diikutinya. Bagi siswa SD pada umumnya, bimbingan karier dimaksudkan untuk:

1.Mengembangkan sikap positif terhadap segala jenis pekerjaan. Dalam hal ini guru kelas harus berhati-hati. Guru kelas menunjukkan atau menampilkan prasangka ataupun kecenderungan tertentu terhadap jenis-jenis pekerjaan (misalnya, pekerjaan tertentu disikapi positif, sedang lainnya disikapi negatif).

2.Membawa para siswa menyadari betapa luasnya dunia kerja yang ada, terentang dari pekerjaan yang dijabat orang tua sampai ke segala macam pekerjaan di masyarakat.

3.Menjawab berbagai pertanyaan para siswa tentang pekerjaan. Dorongan ingin tahu anak-anak akan membawa mereka menanyakan segala sesuatu tentang pekerjaan. Dalam hal ini jawaban atau informasi yang tepat dan benar harus segera diberikan setiap waktu bertanya.

4.Menekankan jasa dari masing-masing jenis pekerjaan, yaitu untuk kesejahteraan hidup rumah tangga dan masyarakat (tidak hanya mengemukakan besarnya gaji atau penghasilan yang diperoleh melalui pekerjaan itu). Perlunya bakat atau kemampuan/keterampilan khusus untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu, terutama pekerjaan yang bermanfaat bagi pemberian bantuan kepada sesama manusia, hendaklah disampaikan.

Di samping itu, informasi pekerjaan untuk siswa kelas tinggi SD perlu diperluas dan diperkuat. Hal ini bertujuan agar mereka memahami bahwa:

1.Pekerjaan ada di mana-mana, di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, negara, bahkan dunia. Pada tingkat perkembangan itu, siswa mulai membandingkan
pekerjaan-pekerjaan yang ada di desa dan di kota, di daerahnya sendiri dan di daerah lain. Siswa dirangsang untuk mulai menyadari bahwa ada banyak macam cara yang dilakukan oleh manusia untuk mencari penghidupan dan memenuhi kebutuhan melalui berbagai jenis pekerjaan.

2.Terdapat saling ketergantungan antara pekerjaan yang satu dengan yang lainnya. Pada diri siswa, perlu dikembangkan bahwa untuk terlaksananya suatu pekerjaan dengan baik, para pekerja saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya para pekerja itu harus saling membantu dan bekerja sama.

3.Baik kemampuan khusus maupun ciri-ciri kepribadian tertentu diperlukan untuk mencapai keberhasilan bagi sebagian jenis pekerjaan.

4.Untuk memilih suatu pekerjaan diperlukan informasi yang tepat (yaitu tentang hakikat pekerjaan itu sendiri, latihan yang diperlukan, kondisi kerja, dsb).

5.Ada berbagai masalah yang mungkin dihadapi oleh orang-orang yang menginginkan pekerjaan tertentu (seperti peralatan mahal, biaya untuk program pendidikan dan pelatihan mahal dan waktunya lama, kondisi kerja kurang menyenangkan, dsb).

6.Untuk memilih pekerjaan atau karier di masa depan perlu kehati-hatian dan pertimbangan yang matang.

Pelaksanaan Bimbingan Karier di SD

Materi Bimbingan Karier di SD Kelas I dan II

1.Layanan Orientasi dan Informasi

a.Gambaran tentang perlunya bekerja untuk mencari nafkah

b.Penghargaan terhadap segenap pekerjaan

c.Gambaran tentang orang-orang yang rajin bekerja dan hasil-hasil yang mereka peroleh

2.Layanan Penempatan dan Penyaluran
Belum ada layanan penempatan dan penyaluran dalam bimbingan karier

3.Layanan Pembelajaran/Penguasaan Konten

Belum mempelajari karier tertentu sehingga layanan pembelajaran untuk bimbingan karier belum diselenggarakan

Materi Bimbingan Karier di SD Kelas III dan IV

1.Layanan Orientasi dan Informasi

a.Gambaran tentang perlunya bekerja untuk mencari nafkah

b.Penghargaan terhadap segenap pekerjaan

c.Gambaran tentang orang-orang yang rajin bekerja dan hasil-hasil yang mereka peroleh

2.Layanan Penempatan dan Penyaluran

Belum ada layanan penempatan dan penyaluran dalam bimbingan karier

3.Layanan Pembelajaran/Penguasaan Konten

a.Pemahaman awal tentang perlunya memperoleh penghasilan dan pengembangan karier

b.Pemahaman awal tentang informasi sederhana berkenaan dengan pekerjaan dan usaha-usaha memperoleh penghasilan (untuk pekerjaan-pekerjaan sederhana yang terdapat di lingkungan para siswa)

Materi Bimbingan Karier di SD Kelas V dan VI

1.Layanan Orientasi dan Informasi

a.Pemantapan materi di Kelas III dan IV.

b.Informasi lanjutan dan lebih kompleks tentang pekerjaan-pekerjaan pertanian yang lebih luas, pekerjaan di industri dan perusahaan, usaha perdagangan yang lebih luas ( toko,bank,asuransi, dsb ), usaha angkutan yang lebih luas ( transport antar kota, pelayaran, penerbangan), serta sebagai pekerjaan yang bersifat keahlian ( seperti guru, dokter, insinyur, dsb).

c.Informasi tentang saling ketergantungan antara pekerjaan yang satu dengan pekerjaan yang lain serta hubungan dengan konsumen.

d.Informasi tentang kemampuan khusus yang diperlukan untuk menjabat pekerjaan tertentu untuk ini diperlukan bakat, minat, dan keterampilan tertentu.

e.Informasi tentang diperlukannyas keuletan dan ketabahan dalam mengajar dan menggembangkan karier tertentu untuk ini diperlukan pertimbangan yang hati-hati dan matang untuk memilih pekerjaan atau karier tertentu.

f.Informasi tentang diperlukannya berbagai informasi yang tepat berkenaan dengan pemilikan pekerjaan atau karier.

g.Informasi awal tentang sekolah lanjutan yang berkaitan dengan cita-cita karier tertentu.

2.Layanan Penempatan dan Penyaluran

Menempatkan dan menyalurkan siswa ke dalam kelompok untuk mempelajari:

a.Berbagai jenis pekerjaan sebagaimana informasi yang ingin diperoleh

b.Sekolah lanjutan sebagaimana informasi yang ingin diperoleh khususnya dikaitkan dengan aspek-aspek pekerjaan dan/atau karier tertentu

3.Layanan Pembelajaran/Penguasaan Konten

a.Pemantapan materi di Kelas III dan IV .

b.diskusi untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang:

1)Berbagai jenis pekerjaan dan upaya memperoleh penghasilan

2)Saling ketergantungan antara berbagai jenis pekerjaan.

3)Kemampuan khusus untuk pekerjaan tertentu- apakah siswa dapat dimungkinkan memiliki kemampuan itu?
4)Sekolah lanjutan yang berkaitan dengan cita-cita pekerjaan atau karier.

Tenaga Profesional dalam Kegiatan Bimbingan Karier di SD

1.Modal Personal

Modal dasar yang akan menjamin suksesnya penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah adalah berbagai ciri personal yang ada dan dimiliki secara pribadi oleh tenaga penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Modal personal tersebut adalah:

a.Berwawasan luas: memiliki pandangan dan pengetahuan yang luas, terutama tentang perkembangan peserta didik pada usia sekolahnya, perkembangan ilmu pengetahuan/teknologi/kesenian dan proses pembelajarannya, serta pengaruh lingkungandan modernisasi terhadap peserta didik.

b.Menyayangi anak: memiliki kasih sayang yang mendalam terhadap peserta didik; rasa kasih sayang ini ditampilkan oleh Guru Pembimbing/ Guru kelas benar-benar dari hati sanubarinya (tidak berpura-pura atau dibuat-buat) sehingga peserta didik secara langsung merasakan kasih sayang itu.

c.Sabar dan bijaksana: tidak mudah marah dan/atau mengambil tindakan keras dan emosional yang merugikan peserta didik serta tidak sesuai dengan kepentingan perkembangan mereka; segala tindakan yang diambil Guru Pembimbing/Guru Kelas didasarkan pada pertimbangan yang matang.

d.Lembut dan baik hati: tutur kata dan tindakan Guru Pembimbing/Guru Kelas selalu menggenakkan hati, hangat, dan suka menolong.

e.Tekun dan teliti: Guru Pembimbing/Guru Kelas setia mengikuti tingkah laku dan perkembangan peserta didik sehari-hari dari waktu ke waktu, dengan memperhatikan berbagai aspek yang menyertai tingkah laku dan perkembangan tersebut.

f.Menjadi contoh: tingkah laku, pemikiran, pendapat dan ucapan-ucapan Guru Pembimbing/Guru Kelas tidak tercela dan mampu menarik peserta didik untuk menggikutinya dengan senang hati dan suka rela.

g.Tanggap dan mampu mengambil tindakan: Guru Pembimbing/Guru Kelas cepat memberikan perhatian terhadap apa yang terjadi dan/atau mungkin terjadi diri pada peserta didiknya, serta mengambil tindakan secara cepat untuk mengatasi dan/atau
mengantisipasi apa yang terjadi dan/atau mungkin terjadi itu.

h.Memahami dan bersikap positif pelayanan bimbingan dan konseling: Guru Pembimbing/Guru Kelas memahami fungsi dan tujuan serta seluk-beluk pelayanan bimbingan dan konseling, serta dengan bersenang hati berusaha sekuat tenaga melaksanakannya secara profesional sesuai dengan kepentingan dan perkembangan peserta didik.

2.Modal Profesional

Modal Profesional mencakup kematangan wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap dalam bidang kajian pelayanan bimbingan dan konseling. Semuanya itu dapat diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan khusus dalam program pendidikan bimbingan dan konseling. Dengan modal profesional itu, seorang tenaga pembimbing (Guru Pembimbing dan Guru Kelas) akan mampu secara nyata melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling menurut kaidah-kaidah keilmuannya, teknologinya, dan kode etik profesionalnya.

Apabila semua modal personal dan modal profesional tersebut dikembangkan dan dipadukan dalam diri Guru Kelas serta diaplikasikan dalam wujudnya yang nyata terhadap peserta didik, yaitu dalam bentuk berbagai layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling, dapat diyakini pelayanan bimbingan dan konseling akan berjalan dengan lancar dan sukses. Tangan dingin dan terampil tenaga pembimbing yang menggarap lahan subur di sekolah untuk pekerjaan bimbingan dan konseling diharapkan akan membuahkan para peserta didik yang berkembang secara oiptimal.

3.Modal Instrumental

Pihak sekolah atau satuan pendidikan perlu menunjang perwujudan kegiatan Guru Pembimbing dan Guru Kelas itu dengan menyediakan berbagai prasarana dan sarana yang merupakan modal Instrumental bagi suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling, seperti ruangan yang memadai perlengkapan kerja sehari-hari, istrumen BK, dan sarana pendukung lainnya. Dengan kelengkapan instrumental seperti itu kegiatan bimbingan dan konseling akan diperlancar dan keberhasilannya akan lebih dimungkinkan.

Di samping itu, suasana profesional pengembangan peserta didik secara menyeluruh perlu dikembangakan oleh seluruh personil sekolah. Suasana profesional ini, selain mempersyaratkan teraktualisasinya ketiga jenis modal tersebut, terlebih lebih lagi adalah terwujudnya saling pengertian, kerja sama dan saling membesarkan diantara seluruh personil sekolah.


6. Pembelajaran Berbasis Internet Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Pada Siswa Sekolah Dasar
Dewasa ini pemerintah menghadapi berbagai kendala dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan. Ketidakmerataan mutu guru di sekolah menjadi alasan utama pemerintah untuk selalu memperhatikan peningkatan kualitas sumber tenaga kependidikan. Hal ini ditempuh karena keberhasilan mutu pendidikan sangat tergantung dari keberhasilan proses belajar-mengajar yang merupakan sinergi dari komponen-komponen pendidikan baik kurikulum tenaga pendidikan, sarana prasarana, sistem pengelolaan, maupun berupa faktor lingkungan alamiah dan lingkungan sosial, dengan peserta didik sebagai subjeknya.
Proses belajar mengajar sebagai sistem dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu di antaranya adalah guru yang merupakan pelaksana utama pendidikan di lapangan. Kualitas guru baik kualitas akademik maupun non akademik juga ikut mempengaruhi kualitas pembelajaran.
Faktor lainnya yang tak kalah pentingnya dalam menentukan keberhasilan kegiatan belajar-mengajar, adalah sumber belajar. Dalam rangka mengupayakan peningkatan kualitas program pembelajaran perlu dilandasi dengan pandangan sistematik terhadap kegiatan belajar-mengajar, yang juga harus didukung dengan upaya pendayagunaan sumber belajar di antaranya internet. Ini di satu pihak, sedangkan di pihak lain kenyataan menunjukkan bahwa sumber belajar dan sarana pembelajaran yang telah dibakukan, diadakan dan didistribusikan oleh pemerintah belum didayagunakan secara optimal oleh guru, pelatih dan instruktur.
Untuk mewujudkan kualitas pembelajaran, perlu ditempuh upaya-upaya yang bersifat komprehensif terhadap kemampuan guru dalam memanfaatkan internet sebagai sumber belajar. Namun demikian, berdasarkan isu yang berkembang dalam pendidikan, pembelajaran pada sekolah dasar belum berjalan secara efektif, bahkan banyak guru yang mengajar tanpa memanfaatkan sumber belajar. Mereka mengajar
secara rutin apa adanya sehingga pembelajaran berkesan teacher centris.
Berkait dengan perkembangan teknologi jaringan komputer yang ada sekarang ini, siswa SD pun dapat belajar dengan menggunakan jaringan internet sebagai sumber belajar, tentu saja dengan bimbingan guru atau pendampingan orang tua. Namun ironisnya banyak guru yang belum mengenal internet padahal siswa sudah banyak yang terbiasa menjelajahi dunia maya tersebut.
Terkait dengan masalah tersebut, sudah seharusnya guru zaman sekarang ini mulai memanfaatkan internet sebagai sumber belajar. Dengan pembelajaran seperti ini diharapkan pengetahuan guru maupun siswa akan berkembang. Selain itu guru maupun siswa juga akan terbiasa mengoperasikan perangkat komputer tersebut, sehingga tidak ada lagi istilah guru gaptek (Gagap Teknologi) maupun siswa gaptek.
Kaitannya dengan internet sebagai sumber belajar, pada makalah ini akan dibicarakan pengertian internet, spesifikasi peralatan internet, pengertian sumber belajar, dan metode pembelajaran melalui internet.
Dari uraian di atas permasalahan yang hendak dikaji yaitu bagaimanakah pembelajaran berbasis internet itu dapat diterapkan pada siswa sekolah dasar?
Tujuan penulisan makalah ini untuk mendeskripsikan pembelajaran berbasis internet pada siswa sekolah dasar.
Manfaat penulisan ini meliputi manfaat teoretis dan praktis. Manfaat teoretis, makalah ini dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami pembelajaran berbasis internet pada siswa sekolah dasar. Manfaat praktis, bagi guru sebagai masukan dalam memilih sumber belajar dan dapat menerapkannya dalam proses pembelajaran.
Diera globalisasi, negara-negara diberbagai belahan dunia sudah tidak ada lagi batas dalam mempeeroleh informasi. Dalam waktu yang sama di tempat berbeda dengan jarak yang jauh sekalipun orang saling bertukar informasi dana berkomunikasi. Kemajuan teknologi informasi ini tidak hanya dirasakan oleh dunia bisnis, akan tetapi
dunia pendidikan juga ikut merasakan manfaatnya. Perkembangan teknologi informasi lebih terasa menfaatnya dengan hadirnya jaringan internet yang memanfaatkan satelit sebagai media transformasi. Hadirnya internet sebagai sumber informasi ini sangat memungkinkan seseorang untuk mencari dan menyebarkan segala ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk penemuan penelitian keseluruh dunia dengan mudah, cepat, dan murah, sehingga pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan dapat lebih cepat dan merata. Dengan demikian segala informasi yang ada di internet dapat dijadikan sebagai sumber belajar.
Pengertian internet itu sendiri adalah jaringan (Network) komputer terbesar di dunia. Jaringan berarti kelompok komputer yang dihubungkan bersama, sehingga dapat berbagi pakai informasi dan sumber daya (Shirky, 1995:2). Dalam internet terkandung sejumlah standar untuk melewatkan informasi dari satu jaringan ke jaringan lainnya, sehingga jaringan-jaringan di seluruh dunia dapat berkomunikasi.
Sidharta (1996) memberikan definisi yang sangat luas terhadap pengertian internet. Internet adalah forum global pertama dan perpustakaan global pertama dimana setiap pemakai dapat berpartisipasi dalam segala waktu. Karena internet merupakan perpustakaan global, maka pemakai dapat memanfaatkannya sebagai sumber belajar.
Secara umum dapat dikatakan bahwa internet adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan saling hubungan antar jaringan-jaringan komputer yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan komputer-komputer itu berkomunikasi satu sama lain. Spesifikasi Peralatan Internet
Agar kita dapat mengoperasikan internet dengan baik, maka dibutuhkan perangkat keras dan perangkat lunak yang memadahi. Perangkat keras adalah komponen-komponen fisik yang membentuk suatu sistem komputer serta peralatan-peralatan lain yang mendukung komputer untuk melakukan tugasnya. Perangkat keras tersebut berupa:
(1) satu unit komputer,
(2) modem,
(3) jaringan telepon,
(4) adanya sambungan dengan ISP (Internet Service Provider).

Sedangkan perangkat lunak adalah program-program yang diperlukan untuk menjalankan perangkat keras komputer. Perangkat lunak ini kita pilih sesuai dengan:
(1) kemampuan perangkat keras yang kita miliki,
(2) kelengkapan layanan yang diberikan,
(3) kemudahan dari perangkat itu untuk kita operasikan dalam (User Friendly).

Pengertian Sumber Belajar
Dalam kawasan teknologi instruksional, sumber belajar pada dasarnya merupakan komponen teknologi instruksional, yang disebut dengan istilah "Komponen Sistem Instruksional". Teknologi instruksional adalah proses yang kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi dan mengelola pemecahan masalah-masalah dalam situasi di mana kegiatan belajar-mengajar itu mempunyai tujuan dan terkontrol. Dalam teknologi instruksional, pemecahan masalah itu berupa komponen sistem instruksional yang telah disusun terlebih dahulu dalam proses desain atau pemilihan dan pemanfaatan, dan disatukan ke dalam sistem instruksional yang lengkap, untuk mewujudkan proses belajar yang terkontrol dan berarah tujuan, yang komponennya meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar (Setijadi, 1986:3).
Mudhofir (1992:13) menyatakan bahwa yang termasuk sumber belajar adalah berbagai informasi, data-data ilmu pengetahuan, gagasan-gagasan manusia, baik dalam bentuk bahan-bahan tercetak (misalnya buku, brosur, pamlet, majalah, dan lain-lain) maupun dalam bentuk non cetak (misalnya film, filmstrip, kaset, videocassette, dan lain-lain).

AECT menguraikan bahwa sumber belajar meliputi: pesan, orang, bahan, alat, teknik dan lingkungan. Komponen-komponen sumber belajar yang digunakan di dalam kegiatan belajar mengajar dapat dibedakan dengan dengan cara yaitu dilihat dari keberadaan sumber belajar yang direncanakan dan dimanfaatkan.

Sumber belajar yang sengaja direncanakan (by design) yaitu semua sumber belajar
yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal. Sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization) yaitu sumber belajar yang tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasi, dan digunakan untuk keperluan belajar (Setijadi, 1986:9).
Berdasarkan konsep-konsep di atas, sumber belajar pada dasarnya merupakan komponen sistem instruksional yang meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar (lingkungan). Dalam makalah ini titik berat sumber belajar yang dikaji adalah internet. Sedang orang, bahan, peralatan dan teknik merupakan sumber belajar pendukung.

Metode Pembelajaran Melalui Internet
Pembelajaran berbasis internet bagi siswa sekolah dasar sudah seharusnya mulai dikenalkan. Untuk itu para guru hendaknya sudah tahu lebih dahulu tentang dunia internet sebelum menerapkan pembelajaran tersebut pada siswa. Persiapan yang tak kalah pentingnya yaitu sarana komputer. Tentu saja dalam hal ini hanya dapat diterapkan di sekolah-sekolah yang mempunyai fasilitas komputer yang memadai. Walaupun sebenarnya dapat juga diusahakan oleh sekolah yang tidak mempunyai fasilitas komputer misalnya dengan mendatangi warnet sebagai patner dalam pembelajaran tersebut.
Setelah semua perangkat untuk pembelajaran siap, guru mulai melakukan pembelajaran dengan menggunakan sumber belajar internet. Bagi siswa sekolah dasar tentu saja akses-akses yang ringan yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diajarkan. Disinilah kepiawaian seorang guru ditampilkan dalam mendampingi, membimbing dan mengolah metode pembelajaran agar tujuan pembelajaran yang diharapkan tercapai.
Beberapa metode yang dapat dilakukan oleh guru, diantaranya: diskusi, demonstrasi, problem solving, inkuiri, dan descoveri. Guru memberikan topik tertentu pada siswa, kemudian siswa mencari hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut dengan mencari (down load) dari internet. Guru juga dapat memberikan tugas-tugas ringan yang mengharuskan siswa mengakses dari internet, suatu misal dalam pembelajaran Bahasa Indonesia siswa dapat mencari karya puisi atau cerpen dari internet. Siswa juga dapat belajar dari internet tentang hal-hal yang up to date yang berkaitan dengan pengetahuan. Guru memberi tugas pada siswa untuk mencari suatu peristiwa muthakir dari internet kemudian mendiskusikannya di kelas, lalu siswa menyusun laporan dari hasil diskusi tersebut.
Metode-metode tersebut dapat dilakukan guru dengan model-model pembelajaran yang bervariasi sehingga siswa semakin senang, tertarik untuk mempelajarinya sehingga proses pembelajaran tersebut menjadi pembelajaran yang bermakna. Dengan pembelajaran berbasis internet diharapkan siswa akan terbiasa berpikir kritis dan mendorong siswa untuk menjadi pembelajar otodidak. Siswa juga akan terbiasa mencari berbagai informasi dari berbagai sumber untuk belajar. Pembelajaran ini juga mendidik siswa untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam kelompok kecil maupun tim. Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya yaitu dengan pembelajaran berbasis internet pengetahuan dan wawasan siswa berkembang, mampu meningkatkan hasil belajar siswa, dengan demikian mutu pendidikan juga akan meningkat..
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran internet dapat diterapkan di sekolah dasar dengan beberapa metode pembelajaran (diskusi, inkuiri, deskoveri, dan problem solving) serta menggunakan model pembelajaran yang dikemas sederhana, menarik, dan menyenangkan siswa, sehingga pembelajarannya lebih bermakna.
Dengan pembelajaran berbasis Internet mendidik siswa untuk berpikir kritis, menambah wawasan dan pengetahuan siswa, mendidik siswa untuk belajar otodidak, dan meningkatkan hasil belajar siswa sehingga mampu meningkatkan mutu pendidikan.
Para pendidik dan pihak-pihak yang terkait hendaknya mulai menyiapkan dan memperkenalkan pembelajaran berbasis internet ini kepada siswa SD, agar para siswa siap menghadapi tantangan zaman dan dapat menerima perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan cepat.

Powered By Blogger

Apakah artikel saya memuaskan?