http://img132.imageshack.us/img132/4733/image13lj1.gif

Tugas Translate

Author: ariyanto /

Sangkar Burung dan Kloning Mesin:
Bagaimana Perumpamaan murid untuk berbicara kepada kita
tentang budaya budaya dari keikutsertaan pendidikan
murid yang diterima disekolah.

Ruth Leitch dan Stephanie Mitchell
Universitas Ratu Belfast, Inggris

Ringkasan
Dengan datangnya Konverensi Perserikatan Bangsa Bangsa pada Hak Hak Anak (CRC),
Disana ada suatu peningkatan bahwa persyaratan sekolah sekolah memastikan anak anak dan pandangan pandangan orang muda mempengaruhi, mendengarkan, dan mengambil serius hal hal yang berarti. Hukum memberi harapan kepada mereka untuk mengubah suatu hal, mengubah budaya disekolah sekolah yang lain. Untuk suatu perbandingan yang penting dari sekolah sekolah, dengan aktif melibatkan pengaruh pengaruh murid bagaimana mereka menempatkan pengalaman pendidikan yang berarti tantangan, disaat yang genting mungkin ada kesenjangan antara yang disertai retorik dan kesiapsiagaan sekolah untuk melibatkan murid asli. Pelajaran etnografi ini menjelaskan ketegangan yang berlangsung antara kepala sekolah, disertai pandangan pandangan bagaimana murid menilai dan murid terkesan kreatif dari pengalaman pendidikan utama yang diterima nyata disekolah. Jika budaya budaya dari pendidikan yang diterima disekolah adalah untuk memelihara semangat kebenaran dari keikutsertaan murid yang demokratis disiratkan oleh perubahan perubahan didalam hukum, ada suatu kebutuhan untuk mengembangkan proses proses asli dari perikatan murid dimana para murid dan staf dapat bekerja sama kearah pemahaman pemahaman yang dibagi bersama yang lebih besar untuk suatu prioritas prioritas sekolah.

Kata kunci: Pandangan berdasarkan metode, Hak hak murid, kebudayaan, budaya sekolah, pengaruh murid.

Pengaruh Siswa dan Konteks Hak Hak
Keikutsertaan murid dan gagasan demokrasi sekolah yang terkait adalah agenda kebijakan bidang pendidikan dari banyak Negara. Mengembangkan suatu etos yang parisipatif dengan budaya dari sekolah, dimana disana tidak hanya meningkatkan partisipasi murid tetapi juga berkonsultasi yang dibuktikan dengan berbagai cara didalam prakarsa prakarsa arus bidang pendidikan seperti dewan dewan sekolah, kewarganegaraan, social dan individu kurikulum pendidikan, dan pendekatan bersifat pendidikan seperti membuat pendidikan menurut selera. Di Inggris, pengembangan pengembangan seperti itu kearah suatu budaya, partisipasi telah betul betul didukung oleh tuntutan suatu hubungan antara memberi pengaruh murid dan meningkatkan efektifitas sekolah. Disusun berdasarkan keterangan (Rutter 1979, Mortimore 1988, Rudduck 1996, Rudduck & Flutter 2000).
Tunjukkan, dengan maksud proses berundingan yang aktif dengan murid, mungkin sekolah untuk meningkatkan efektifitas dari pelajaran individu dan kelompok, motivasi murid dan proses yang teratur, organisasi yang bersifat pendidikan.
Bagaimana pun penelitian seperti itu tidak pernah berjalan secara resmi yang dihubungkan dengan sangat mendesak kepada hak anak anak.

Tidak dapat dibantah, kerangka yang legislative dari hak hak anak (seperti makanan yang cukup, perlindungan, pelayanan kesehatan dan pendidikan) harus menjadi jalan yang paling penting didalam usaha usaha untuk meningkatkan demokrasi. Wewenang tunggal yang sangat penting dari perubahan yang tertulis bersama yang dikenal Perserikatan Bangsa Bangsa Konvensi Hak Hak Anak (PBB 1989). Diambil dari 1990, konvensi hak hak anak menandakan satu persetujuan internasional bahwa anak dan orang muda tidak hanya mempunyai tanggung jawab tetapi juga hak dan kebebasan.

Didalam artikel ini, implementasi prinsip prinsip dasar dari konvensi dan dengan acuan yang spesifik pada artikel 12 CRC akan diuji. Artikel 12 memberikan anak anak hak untuk menyatakan pandangan pandangan mereka: dengan bebas semua hal hal yang mempengaruhi anak, pandangan anak memberikan beban hak yang setara dengan umur dan kedewasaan anak tersebut. Hal ini menyiratkan bahwa anak yang bisa melakukan pembentukan pandangan mempunyai hak untuk menyatakan pandangan ini didalam semua hal yang mempengaruhi mereka dan orang dewasa akan aktif memfasilitasi proses ini tetapi juga memastikan bahwa pandangan mereka mempunyai dampak dan pengaruh yang sesuai. Kesimpulan itu bertanggung jawab untuk menilai pendidikan anak, dalam satu cara berkelanjutan, tingkat derajat dimana mereka sedang menciptakan budaya budaya dari persamaan dan pemasukan disekolah yang meyakinkan status dan hak anak sebagai warga Negara, dan khususnya perundingan mereka menjamin tentang keputusan keputusan yang mempengaruhi mereka.

Pembelajaran melibatkan jarak dasar murid dalam membuat pandangan visual yang menggambarkan tanpa persiapan lebih dulu, mengutamakan pendidikan yang diterima disekolah mereka yang aktif. Tanpa persiapan, sebagai lawan untuk menggambarkan secara nyata, digambarkan oleh Furth (1988) ketika menggambar yang dirangsang atau diinspirasi oleh tema yang berkesan tetapi tidak spesifik terhadap perihal yang ditetapkan. Pandangan visual, dibuat oleh murid yang menggunakan keduanya sebagai arti perkumpulan data mereka dan stimuli untuk memahami lebih banyak kedalam pribadi murid mengartikan pengalaman dan penafsiran budaya sekolah mereka melalui tindak lanjut riset. Pemikiran yang penting untuk menemani murid, pandangan visual dari sekolah mereka dua kali lipat bahwa mereka:

Tingkatan luas representasi data (Barone, 2001) melalui tambahan permohonan, tangkapan ekspresif murid, pengalaman kompleks dari sekolah termasuk visual, imajinasi, emosi, yang berhubungan dengan perasaan dan pemikiran (Eisner, 1991).
Penting didalamnya untuk tidak bisa mengatakan kebudayaan lisan yang lebih berorientasi pada metode riset (MacBeath, 2003). Dimensi yang tak terlukiskan dengan pengalaman sekolah.


Artikel ini kemudian digambarkan melalui suatu rangkaian dari sketsa sketsa kasus yang menggunakan metode berbasis gambaran dengan para murid:

Potensi celah antara sekolah mendukung demokrasi yang ideal sebagai ekspresi kepala sekolah dan pengalaman nyata murid.
Kiasan utama jarak pengalaman mereka terhadap kebudayaan sekolah mereka, bahwa pengalaman tidak mungkin boleh berartikulasi dengan mudah.

Budaya budaya sekolah: Suatu perspektif yang dinamis
Budaya sekolah, meskipun terkenal mengelak definisi, asosiasi yang paling sering menyeluruh karakter atau iklim sekolah, yang merapatkan social. Philips (1993). Definisi budaya sekolah sebagai kepercayaan kepercayaan, sikap sikap, dan perilaku perilaku yang menandai sekolah.
Bagaimanapun, Schein’s (1985) analisis budaya sekolah memasuki lebih lanjut, pertimbangannya adalah

asumsi tingkatan yang lebih dasar dan kepercayaan kepercayaan yang dibagi bersama oleh para anggota dari suatu organisasi, beroperasi tanpa disadari, menggambarkan suatu dasar ‘taken-for-granted’ tampilan organisasi atas pandangan diri sendiri dan lingkungannya.

Hubungan untuk perbaikan sekolah, budaya sekolah atau iklim sudah dipandang sebagai dampak produktifitas dan sukses dari para guru dan para murid (Pepper dan Hamilton Thomas 2002) dimana peran pemimpin itu sangat penting. Budaya sekolah, kemudian dapat dipandang tidak hanya sebagai suatu konstruksi secara sadar mengusahakan suatu posisi nilai sekolah seperti ditentukan oleh mereka yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan tetapi juga sebagai yang tidak terlihat, kolektif yang tidak bisa diamati memandu banyak aktifitas sekolah.

Budaya sekolah dan bagaimana itu berfungsi juga sangat dipengaruhi dengan apa yang murid bawa kesekolah tersebut melalui campuran dari berbagai macam ragam social mereka, adat, agama, akademis dan latar belakang kelas (Thrupp 1997). Singkatnya, murid yang menghadiri setiap sekolah terasa mereka yang menentukan didalamnya, pertunjukkan kolektif melalui kebudayaan murid membangkitkan diri mereka sendiri termasuk nilai nilai, kepercayaan kepercayaan, dan asumsi asumsi memperoleh ditempat atau bukan ditempat. Dibeberapa organisasi sekolah, budaya budaya murid saling berhubungan secara dinamis rekonstruksi budaya sekolah yang unik suatu persilangan pengalaman.

Bagaimana pun, budaya sekolah tidak bisa diperlakukan sebagai penembus persilangan satu sistim bidang pendidikan. Ditandai lebih teliti sebagai keistimewaan dan bersifat perseorangan. Goodlad (1984) point point diluar mungkin sama seperti banyak cara sekolah, masing masing mempunyai suatu suasana (atau budaya). Budaya, oleh karena itu dibuat atau melalui proses perundingan dimana individu datang dengan beberapa persetujuan tentang apa yang harus dan tak harus diprioritaskan (Donnelly 2000).

Masing masing sekolah mempunyai budaya sendiri, membentuk suasana bangunan dan pesan kuat yang terkirim untuk guru guru dan murid murid tentang apa yang penting dilingkungan tersebut. ( Pepper dan Hamilton Thomas 2002)

Jadi, budaya didalam setiap sekolah tidak pernah dapat dipandang sebagai statis atau monolitis tetapi lebih ditandai oleh pertentangan pertentangan yang tidak bisa dipisahkan dan inkonsisten, selalu dalam perubahan terus menerus, dan dimana kesenjangan bisa menjadi pengalaman antara dukungan ideal atau jiwa aspirasi pegawai (Donnelly 2000) dan kehidupan nyata murid. Di dalam pembuluh darah, tingkat hubungan kedua murid (Stoll 1999) poin poin diluar itu dinilai berpotensi untuk perselisihan antar orang dewasa dan para murid pantas dipertimbangkan. Ini menantang mereka yang mencari pemahaman bagaimana sekolah bekerja untuk menembus diluar dominasi, mengartikulasikan konsep konsep dari budaya dan untuk memahami hubungan dinamis yang ada antara sub-budaya. Dengan demikian, penting untuk mengidentifikasikan berbagai nilai nilai dan kepercayaan, bagaimana ini semua dibuat dan dipertahankan, dan tata cara dimana mereka memerankan dengan nyata dan tanpa disadari didalam organisasi. Ini terutama penting dalam riset mencari untuk menyelidiki ketegangan yang mungkin antara norma norma disekolah yang berhubungan dengan sifat mendidik, pemenuhan dan perbuatan kearah berunding yang ditingkatkan murid, implementasi hak hak anak dan demokratisasi pendidikan yang diterima disekolah.

Perbaikkan, Perubahan dan Budaya
Kesiapsiagaan untuk Keikutsertaan Murid
Perubahan budaya memberikan suatu proses yang lambat itu terlihat beralasan bahwa disana terhubung antara sehat atau teracuninya budaya sekolah, seperti yang dirasakan oleh para murid, dan berpotensi untuk hak murid dan pengaruh murid tertanam disana. (Fielding 2001) meminta pertanyaan ‘jenis organisasi budaya apa yang memungkinkan untuk perlu dikembangkan agar pengaruh murid maju dengan pesat?’ meningkatkan sekolah sekolah, menurut Jonathan (yang dikutip dari Rudduck dan Flutter 2000) struktur yang dalam melibatkan perlakuan sekolah dan kebiasaan kebiasaan mereka yang berwujud dari pemikiran dan nilai nilai. Riset dalam konsultasi murid sebagai kunci pengawas dalam proses perubahan pendidikan yang diterima disekolah terlihat kurang. Disuatu tangan, hubungan yang penting sudah ditunjukkan bagaimana konsultasi murid dapat membantu para guru dan murid mencapai budaya budaya pelajaran lebih kolaboratif disekolah sekolah (Rudduck dan Flutter 2004), sebaliknya apa yang fillan tunjukkan (1991) 15 tahun yang lalu masih membenarkan hari ini bahwa para murid pada umumnya dilihat sebagai penerima uang yang potensial dari perubahan dibanding sebagai peserta asli yang sedang dalam proses perubahan. Dengan rasa hormat, perhatian tentang konsultasi murid yang sedang digunakan sebagai penolong atau, tentu saja bukti yang berlimpah. Selagi mereka menyatakan dalam perbaikan sekolah ,melibatkan nasihat dari para murid, sebagai bagian dari beberapa proses perubahan, nilai, mereka tidak melihat hak hak anak dibawah hukum CRC. Untuk proporsi yang penting suatu sekolah, murid diberi hak untuk berbicara tentang makna pendidikan dan pengalaman pendidikan mereka bisa menyikapi tantangan yang penting. Sebagai konsekuensi, disana ada kebutuhan murid untuk merenungkan berbagai pemikiran kemana melalui, tanggapan dan perasaan dapat dirangsang, diakses, dan ditangkap.
Sampai saat ini, disana ada kekurangan pengetahuan bagaimana konsultasi dan partisipasi yang terbaik untuk didekati. Konsultasi murid sebagian besar terikat oleh interaksi lisan, melalui mekanisme mekanisme seperti survey, evaluasi, referensi, laporan dewan sekolah, diskusi, dan focus group. Tahun terakhir disana telah beberapa penelitian dan audit sekolah bahwa telah mengembangkan alat untuk orang muda untuk mewakili keseluruhan pandangan mereka, posisi dan pengalaman, dan pendekatan partisipasi, yang mengadopsi metode metode kreatif yang tergabung imajinatif dan proses yang berdaya cipta dengan orang muda, sedang didukung untuk terus meningkat. (Webber dan Mitchell 1995, Waren 2000, MacBeath 2003, Veale 2005).

Desain dan metode pembelajaran
Laporan pembelajaran disini dari riset kualitatif yang besar, proyek riset yang mendalami pengaruh murid (Mitchell 2006) hal ini terdiri atas 5 dasar contoh sekolah yang terpilih untuk mewakili tipe sekolah yang berbeda lokasi (kota, semi kota, perdesaan) dan dengan orientasi orientasi dan masukan masukan yang berbeda dengan sistim pendidikan Irlandia Utara (selektif, tidak selektif, terintegrasi, terkendali, dipertahankan) dan dari ini semua, 60 siswa, sebagian pada Key Stage 3 dan sebagian pada Key Stage 4. 3 sketsa dari 5 sekolah yang digunakan dalam artikel ini untuk menjelaskan dengan contoh cakupan dari murid yang mengalami studi yang lebih besar. Contoh laporan sekolah disini meliputi sekolah menengah (non selektif) satu sekolah yang terintegrasi dan tata bahasa sekolah (selektif). Masing masing sekolah berpartisipasi oleh persetujuan dengan kepala sekolah, yang dipilih secara acak dalam satu kelas dari tahun ke 9 (umur 12-13 tahun) dan satu dari tahun ke 11 (umur 14-15 tahun). Memastikan sejauh mungkin penyajian dari jenis kelamin, agama, dan etnisitas yang sesuai tipe sekolah, sampai 6 murid kemudian memilih secara acak dari tiap daftar kelas untuk terlibat dalam pembelajaran. Disetiap sekolah, kepala sekolah juga memberi izin untuk wawancara individu untuk mengeksplor pandangan mereka dari budaya sekolah dan tempat murid.

Suatu desain multi metode diadopsi yang terdiri atas dua langkah langkah utama:

Wawancara mendalam dengan kepala sekolah dari setiap partisipasi sekolah mengutamakan tema apa yang berarti untuk mereka yang kaitannya dengan menggunakan tujuan tujuan dan etos dari sekolah mereka dan hal hal penting dalam hubungan dengan pengaruh murid. Setiap wawancara terakhir minimal 1 jam, secara elektronik direkam dan tersusun setengah disekitar kunci yang mengikuti dimensi dimensi:

· Cerminan dari visi etos dan budaya sekolah mereka.
· Eksplorasi konsep konsep pengaruh murid dan tempat murid dengan sekolah.
· Pemikiran pada prinsip dan prakteknya, tentang penyajian murid di dewan pengurus gubernur.
· Pemikiran dalam hubungan dengan murid yang mengevaluasi kinerja guru.
Kerahasiaan dan keadaan tanpa nama diyakinkan kepada masing masing kepala sekolah dan mereka bisa bertanya karena perekaman bisa dihentikan pada beberapa titik dan untuk meminta beberapa aspek dari wawancara yang bisa dihapus jika diinginkan.

Tema dasar bekerja adalah pandangan kreatif, ‘apa yang terlihat berarti terhadap sekolahmu: jika sekolahmu ada sesuatu yang lain dari sebuah bangunan apa yang akan menjadikannya itu?’ dengan kelompok murid pada Key Stage 3 dan 4 (n=5-6) pada setiap partisipasi sekolah. Ini diikuti oleh laporan singkat individu, percakapan riset ditindak lanjuti. Oleh pengaturan dengan sekolah, masing masing kelompok murid bertemu dengan 3 peneliti berkesempatan untuk kira kira 2 periode sekolah. Bertemu satu pembelajaran yang diperkenalkan, menciptakan hubungan, diskusi terbuka dan mengizinkan para murid untuk mengkonfirmasikan mereka izin mengambil bagian (berkenaan dengan persetujuan yang telah diperoleh orangtua) melibatkan 2 pertemuan gambaran kreatif yang dibuat oleh murid. 3 pertemuan disediakan oleh waktu untuk percakapan percakapan riset tindak lanjut yang singkat, individu menindaklanjuti riset percakapan focus mereka gambaran yang tergambar dan apa ini yang ditandai mengenai pengalaman murid sekolah. Semua percakapan murid direkam secara elektronis dan para murid dijamin dalam keadaan tanpa nama dan tak ada komentar komentar atau pandangan pandangan individu yang akan diumpan balikkan kepada staff sekolah tersebut.

Menunjukkan kesenjangan budaya sekolah?
Tak bisa dipisahkan dengan pemeriksaan kwalitatif pengarang berkuasa dengan pertanyaan editorial ketika mewakili ladang kata kata. Dalam hal ini, kita telah ditantang dalam hal hal kepandaian memilih dan dipilihan, tentang apa yang termasuk dan tidak termasuk, dan tentang seberapa baik responden mewakili pandangan seperti bahasa mereka tidak sepenuhnya lengkap dan dibentuk kembali melalui penafsiran kami (Fielding 2004). Dengan demikian, 3 sketsa telah dipilih untuk perintah menjelaskan kesenjangan sekolah, mendukung demokrasi ideal sebagai ekspresi oleh kepala sekolah dan murid dalam pengalaman sekolah mereka. Sketsa sketsa kasus diperkenalkan sebagai ‘bricolage’ (Denzin dan Lincoln 2000) bahwa kepala sekolah seperti memegang buku dan gambaran murid itu menyertakan kata kata diwakili dengan cara masing masing berbicara atas nama diri mereka sendiri (Alcoff 1991) dan menjajarkan sehingga masing masing bisa ‘berbicara untuk setiap yang lain’ tentang makna apa yang sepertinya terlihat. Setiap sketsa kasus, oleh karena itu, meliputi sebuah uraian singkat konteks sekolah tersebut yang diikuti oleh suatu penjajaran laporan kepala sekolah dengan gabungan dari pandangan pandangan murid dalam partisipasi yang diikuti oleh laporan ilustrasi oleh 2 murid yang dipilih secara acak dari 9 Tahun dan 11 Tahun berturut turut.





Setiap laporan kepala sekolah sekarang ini berdasarkan dari konsep bahwa analisis tematik dalam catatan wawancara dimana mereka telah menerima sebagai konstruksi atau rekonstruksi persepsi mereka dari budaya sekolah dan tempat murid. Kutipan kutipan dan ungkapan yang signifikan dari wawancara digunakan untuk menangkap hal hal yang perlu posisi ilustrasi, nilai, dan kepercayaan membuat posisi mereka retorik.
Gambaran murid sekarang ini accompanied oleh kutipan kutipan dan kemampuan berbicara dari riset percakapan, dari persetujuan dengan murid, untuk berbagai ilustrasi murid dan persepsi budaya sekolah dan mereka ‘merasakan’ tempat mereka dengan organisasi.

Sketsa 1: Sekolah A
Konteks

Sekolah A adalah sebuah kota besar yang kebanyakan wanita (tidak selektif) sekolah dalam kawasan yang tingkat social tinggi dan pencabutan ekonomi, paling tinggi tingkat konflik dan kekerasan masyarakat diatas tahun yang baru diarah Utara Irlandia. Sekolah mengambil suatu bidang catchment relative secara sempit suatu kota dan penawaran penawaran peluang para murid untuk mempelajari GCSE dan GCE A seperti juga mengukur tingkat kualifikasi kejuruan.

Kepala sekolah A: Pandangan yang disertai
Dalam budaya sekolah dan pengaruh murid
Kepala sekolah sekolah A melihat dirinya sebagai suatu fasilitator budaya dan banyak kepercayaan yang sangat penting dalam dirinya tentang etos sekolahnya, dan peran murid ditandai dengan diikutinya konsep utama yang muncul dari catatan analisis wawancaranya.

Konsep utama: Tidak mengancam, dukungan, kepedulian, dapat dicapai, berpusat pada anak, individual, inklusif, inovatif.

Sekolah A: Representasi kepala sekolah dari budaya sekolah dan orientasi untuk murid murid

‘Visiku disini adalah bahwa setiap anak perempuan didukung, (termasuk) anak anak perempuan yang dibawah penampilannya’

‘Aku tidak berfikir aku selalu bisa memimpin suatu sekolah dimana anak anak bukan memusat pada etos…kita mencoba untuk mencocokkan kurikulum disekitar anak dibanding pengepasan anak kedalam kurikulum’

‘Hal yang paling penting adalah bahwa kita melihat sendiri…kita menaruh banyak pemikiran dalam diri kita’

‘kita mencoba untuk membuat para murid bahagia disekolah, membuat mereka merasakan, mereka menjadi bagian dari itu…para guru mempedulikan para murid…dan keluar ber mil mil’

‘Ini tentang semua hubungan hubungan…kepada aku hal yang paling penting adalah bahwa anak anak merasa mereka dapat dekat dengan staf dan mengatakan kepada mereka apa yang menjadi masalah mereka’

Kepala sekolah A merasa bahwa dia telah menciptakan ‘kepedulian budaya’ (Nias 1989) mendengarkan melalui perhatian dengan cepat dan nyata dari para murid. Dengan melihat lebih aktif meneruskan partisipasi dan membuat keputusan untuk murid, dia menunjukkan bahwa, selagi suatu mekanisme memperoleh beberapa tanggapan murid dalam kelas pembelajaran telah siap beroperasi (sebagai bagian dari ‘diri sendiri yang mengevaluasi sekolah’ kebijakan), dia merasakan bahwa batasan ini telah dijatuhkan, memberi rasa sensitive untuk beberapa staff. Para murid mempunyai suatu peran dalam dewan gubernur, dia memandang, sebagai alasan cadangan gubernur dan karena itu menjadi ‘tidak ada manfaat untuk para murid, tidak ada manfaat untuk dewan gubernur dan karena bisnis sangat membosankan’.

Menunjukkan kesenjangan: kesan kesan siswa
Dan komentar komentar naratif
Keseluruhan, dua kelompok ditahun 9 (n=6) dan tahun 11 (n=6) murid menghasilkan suatu rangkaian kesan kesan dengan berbagai cara mewakili sekolah sebagai pabrik, radio, buku, keluar masuknya pengelolaan computer dan sebuah monster. Setiap para murid, guru, dan anggota sekolah yang lain ditempatkan dengan berbagai cara dan secara simbolis. Uraian uraian murid yang naratif menunjukkan bahwa, selagi mereka dapat melihat sekolah yang relative ramah, mereka tidak perlu berbagi persepsi persepsi untuk menyertai mereka dengan kepala sekolah pada apa yang terlihat untuk menjadi prioritas dalam sekolah. Tahun 9 murid melihat kinerja dan prestasi sebagai harapan utama yang mereka tempatkan, ketika tahun 11 murid mengenali reputasi sekolah dan mendirikan hubungan dengan masyrakat local untuk menjadi prioritas utama. Dengan mengenai pengaruh murid, ada sebutan tak berarti terhadap dewan sekolah dan kemudian hanya dalam koneksi dengan berbagai hal mereka tidak bisa meminta tetapi tidak bisa mendapat –‘semua orang minta jika kita bisa memakai pantolan dimusim dingin tetapi guru tidak bisa’ (tahun 9 murid). Apa yang dimunculkan adalah sesuatu yang dirasa umum tiada keyakinan dalam pandangan mereka dengan staff karena mereka berfikir ‘kami terlalu muda, mereka tidak berfikir kami memahami apapun’ dan dengan hal untuk ebaluasi guru ‘mereka tidak berfikir ini beberapa bisnis kami’ (tahun 11 murid).

Sekolah A Tahun 9: Pabrik Marie

Aku menggambar suatu pabrik karena semua itu rapid an itu adalah perintah…semua kelas kelas adalah, seperti, semua kumpulan yang sama…kita semua masuk, seperti, berpakaian sama seperti para guru, mereka berbeda…seperti sebuah pabrik, orang orang bekerja setiap hari dan melakukan hal baru dan anda belajar berbagai hal baru disekolah setiap hari…itu didapat dua pintu karena orang orang pergi dalam setahun dan selanjutnya keluar…itu benar benar tidak membahagiakan tapi benar benar tidak menyedihkan juga. Itu adalah awal yang membosankan. Ini menyenangkan karena anda dengan teman anda tetapi itu tidak baik karena aku tidak suka sekolah. Yang penting? Didalam suatu kamar sendiri yang besar.

Sketsa 2: Sekolah B
Konteks

Sekolah B terintegrasi (11-18) pendidikan situasi sekolah dalam daerah semi perdesaan. Sebagai sekolah yang terintegrasi, ini menaruh cita cita untuk mendidik semua sebutan religius bersama anak anak. Itu sedikit lebih membuka 12 tahun yanh lalu dan sekarang ini dari suatu pendaftaran mempunyai kira kira 500 murid. Kepala sekolah yang ada ditetapkan disekolah permulaan tersebut. Itu menawarkan siswa kesempatan untuk belajar sampai tingkat GCE A.

Sekolah A Tahun 11: Sangkar burung sangita dan jaringan jalan yang rumit

Aku tidak tahu mengapa aku menaruh jaringan jalan yang rumit dan lubang hitam dibawah…aku tidak tahu…ada rute rute yang berbeda untuk mengambil…dank arena aku datang disini aku tidak rasakan bagian dari apapun…aku tidak tahu, tidak ada perasaan untuk sekolah ini, itu hanyalah sesuatu yang sangat baru dan hanya benar benar kosong, disana tidaklah terasa. Anda disini karena anda harus, hanya anda tidak benar benar ingin…aku merasa jauh. Aku tidak benar benar cocok didalam tahun pertama, anda mengerti. Aku tidak benar benar membaur didalam dengan baik tetapi isu isu itu sudah mati keluar. Meski demikian…anda selalu merasa seperti anda berada disuatu penjara, disana ada banyak pekerjaan dan anda harus melakukan semuanya dalam waktu singkat dan anda tidak benar benar mempunyai waktu untuk diri anda sendiri, dan tidak ada jalan keluar…anda termasuk semua yang kecil dan tidak bersalah dan mengalami bertahun tahun dan anda melakukan ujian yang berbeda dan anda ditinggalkan…anda tidak akan memiliki minat akan sekolah. Anda datang, anda memberikan waktu anda dan anda pergi…aku tidak benar benar mempunyai suatu ikatan dengan para guru…aku tidak benar benar…yeah, aku adalahburung kecil…jauh…sorak sorai ‘keluar biarkan aku keluar’.

Kepala sekolah B: Budaya sekolah yang disertai pandangan
pandangan dan pengaruh murid
konsep utama yang berikut (dan nilai nilai tidak bisa dipisahkan) dikenali sebagai pusat untuk kepala sekolah B didalam visi pendidikannya yang diterima disekolah dalam sector yang terintegrasi.

Konsep utama: rasa hormat, kebebasan, siswa memusat pelajaran, hubungan hubungan, kedewasaan, munculnya kekuatan siswa.

Kepala sekolah B mencerminkan itu, selagi dia bertahan mengeluarkan cita cita untuk partisipasi murid dan pengambilan keputusan didalam sekolah tersebut, dia merasakan ini hanya bisa diterapkan melalui mengembangkan suatu kesiapsiagaan budaya luar dan dalam sekolah. Sebagai contoh, selagi dia mempunyai ‘keyakinan yang penting’ untuk menjadi wakil wakil murid pengurus dewan gubernur dan papan perjanjian dengan guru, satu pengalamannya telah bekerja melawan naik turunnya kedewasaan dan konserfatif, bahwa dimana anak anak belum terlalu muda dan belum dewasa untuk mengetahui apa yang sangat mereka butuhkan dan jika mereka diminta pendapat, mereka akan memilih untuk menonton The Simpson, makan McDonalds dan berbaring. Sekolah B mempunyai suatu dewan mahasiswa didalam operasi dan seorang evaluasi murid yang sistematis, system dengan mana setiap guru harus memperhatikan pandangan pandangan pengajaran murid. Bagaimana pun, dia tetap ragu ragu seperti berapa banyak konsultasi murid yang sedang meraih karena ‘para murid tidak terorganisasi’ dan orang dewasa, termasuk dirinya, bisa dengan sadar atau tanpa disadari konsultasi murid sebagai suatu cara memperkuat kekuasaan mereka dibanding sebenarnya mendengarkan atau menanggapi.

Sekolah B: Representasi kepala sekolah dari budaya sekolah dan orientasi orientasi untuk murid

‘Kita mencoba untuk menciptakan kondisi kondisi yang memusat pelajaran untuk murid asli-menhubungkan minat dan motivasi dari para murid jadi pergi dari sana. Kami berkata ”apakah anak ini membutuhkan bantuan dalam pendidikan mereka dan bisakah kita mendapat itu dari mereka?”

‘aku menganjurkan staf untuk mengerti anak anak sebagai perorangan, sama seperti anda dan aku, jadi aku berfikir banyak pertumbuhan pertumbuhan diluar rasa hormat, rasa hormat dalam dua jalan! Kami semua berperan untuk menciptakan lingkungan pergaulan disini!

‘sekolah kami disiplin dan disana ada permintaan didalam itu untuk belajar mengambil tempat, tapi pendapat aku tentang anak anak, jika ditinggalkan kepada mereka peralatan peralatan sendiri dibanding mempunyai pelajaran yang dibebankan atas mereka, akankah ingin belajar dan disan ada suatu gerakan yang utuh untuk mendukung itu…aku harus berkompromi disini’

Menunjukkan kesenjangan kesenjangan: kesan kesan murid
Dan komentar komentar naratif
Secara keseluruhan, Tahun 9 (n=5) dan Tahun 11 (n=5) murid dari sekolah B menghasilkan satu rangkaian individu yang mewakili sekolah tersebut sebagai makanan, kapal perang, tumbuhan, planet planet, ‘rumah orang eskimo’ bangunan (Tahun 9) dan triffid, kebun binatang, anak anjing, bermacam macam toko gula dan computer (Tahun 11). Analisa pokok dari murid naratif yang berikut menunjukkan bahwa status dan etos yang terintegrasi dari sekolah tersebut penting-‘menjadi sepanjang bersama’ dirasa secara umum sebagai suatu nilai yang dibagi bersama oleh para murid dan staff yang sama. Menghormati perbedaan agama dipandang sebagai suatu yang penting-‘tidak jadi soal seperti apa jenis agamamu, anda disambut disekolah ini’ (Tahun 9 murid) – seperti sekolah menjadi “penggertak”… karena ini adalah sekolah yang terintegrasi, anda tidak bisa mempunyainya… itu harus disortir keluar segera’. Terlalu banyak prioritas, bagaimanapun, mereka merasa, ditempatkan dalam hal hal seperti seragam dan murid menjadi ‘Duta besar’ untuk diluar sekolah.

Mengenai keikutsertaan dan pengaruh, pengalaman para murid secara umum bahwa ‘kamu mendapat suatu perkataan sekolah apa’ dan ‘ide kami adalah apa yang dibuat sekolah’ meski beberapa keraguan telah berpengaruh tentang dampak keadaan dewan sekolah secara signifikan dan kepercayaan dalam beberapa kekurangan dan kemauan untuk murid mengevaluasi kelas dari sebagian guru.

Sekolah B Tahun 8: Bunga melati matahari, bulan, dan bintang

Itu adalah Mr.D, penting, matahari, dan dia sedang sambil berkata ‘aku memerintah’ dan kinda gembira ketika dia berkata itu…Warna ungu sekolah tersebut, bulan wakil penting dan bintang bintang para guru…dibawah adalah para siswa, diluar kotak itu mereka bahagia, atau itu adalah cara sekolah dan ini adalah cara sekolah yang sangat cantik. Anak perempuan berkata ‘membantu yang lain masing masing’ dan anak laki laki berkata ‘pelajaran bersama sama’ karena itulah yang mewakili kita. Jadi…salah satu dikotak itu ada yang berbeda, mereka membantah karena mereka ingin sesuatu yang berbeda. Ini seperti sebuah permainan. Mr D sedang mencoba untuk membuat sekolah menjadi tempat yang lebih baik tetapi ada anak anak tidak baik didalam sekolah tersebut mendapatkan banyak masalah dan para murid mencoba untuk membantu dengan semua perlakuan sama seperti cara sekolah oleh guru seperti siapa yang tidak baik akan saya tunjukkan bahwa begitulah caranya kita diperlakukan dan itu idealnya seperti kepala yang berkata. Suatu saat aku akan melakukan sesuatu buruk hanya karena kita keluar untuk mendapatkan masalah didalam.

Sketsa 3: Sekolah C
Konteks
Sekolah C adalah suatu sekolah berpendidikan tata bahasa (selektif) berlokasi didaerah pinggiran pedesaan dari suatu kota besar. Itu mengambil dari suatu daerah tangkapan yang sangat luas, tapi sebagian besar terdiri dari masyarakat yang mengutamakan agama. Didaeah itu mempunyai suatu profil olahraga dan akademis yang berkedudukan kuat dan profil sukses berkonsisten tinggi menilai tingkatan keduanya GCSE dan GCEA.

Kepala sekolah C: Pandangan pandangan yang disertai
Dengan budaya sekolah dan pengaruh murid
Kepala sekolah C mengenali konsep utama dan pernyataan pernyataan sebagai visi utamanya dan filsafat yang diterima disekolah.

Konsep utama: sekolah sebagai komunitas, aktif, menjemput pelajaran, kepedulian pendeta, disiplin.

Kepala sekolah C mengenali sekolahnya seperti memberi dorongan partisipasi murid dan membuat keputusan dalam sejumlah cara. Pertama dia mengenali dewan sekolah tersebut, yang dia duduki, sebagai yang utama, dimana persoalan dianggap sebagai prioritas kepada para murid untuk membahas tugas rumah, kotoran, lingkungan sekolah tersebut dan seterusnya-‘Aku berfikir aku melakukan ini berarti mereka berfikir “hey, itu harus penting!” juga para murid sudah sepantasnya untuk terus meningkatkan keterlibatan ketika menetapkan para guru baru; pelamar harus mengajar suatu kelas yang terpilih dan yang terpenting kemudian pandangan murid mereka (‘sekarang, apa yang kau fikirkan?’) setelah itu diumpan balikkan kepada dewan gubernur. Mengenai para murid yang sedang diwakili di dewan gubernur; dia tidak mempertimbangkan opsi seperti itu ‘karena ini bukan hal yang dilaksanakan’ meski dia merasakan prinsipnya menghubungkan dengan semacam keterbukaan bahwa dia melihat sebagai perkembangan di sekolah.

Sekolah B Tahun 11: Toko gula gula Calvin

Aku mempunyai gula gula, cokelat, crispy dan jelly ular! Ini bukanlah suatu khayalan; ini adalah benar benar bagaiman…para siswa semuanya diamankan didalam kantung kantung…yeah, dan gula gula-apa yang anda sebutkan ini?-suatu kiasan untuk para guru. Kami mengamankan dalam bentuk yang berbeda beda dan ukuran ukuran yang berbeda ruangan dengan bermacam macam hal yang berbeda dan para murid sedang melepaskan dari kantung. Itu, disana, para murid mengambil alih, seperti ketika ada pergantian guru didalam. Bisa jadi ini tempat yang menyenangkan tetapi aku berfikir semua benar benar bagian muka. Itu disangka terlihat manis baik tetapi benar benar tidak. Itu seperti jika anda berada diluar sekolah, itu seperti apa yang terlihat jika anda berada didalamnya, itu terlihat berbeda, seperti palsu!

Sekolah C: representasi kepala sekolah dari budaya sekolah dan orientasi untuk murid

‘Misi kami adalah “Belajar, Mempedulikan, Bersiap siap menghadapi hidup”; Aku mempromosikan suatu masyarakat yang nyaman dengan diri sendiri, memilih untuk belajar; kami mencoba mendapatkan mereka untuk belajar, melalui pelajar pelajar yang aktif, mengundang pelajaran’

‘Ini adalah suatu sekolah yang sangat menyenangkan…kita menciptakan suatu lingkungan yang bersifat melindungi disini, tetapi tidak dilindung…hampir tidak nyata dimana mereka mengenakan suatu seragam dan mereka kelihatan seperti tuan tuan dan nyonya nyonya kecil’

‘apa yang kita punya disini adalah cara dunia seharusnya…aku menyiapkan gagasan untuk mengundang dan gagasan pemasangan yang aman dan gagasan dimana anda tidak menjatuhkan sampah…anda melindungi diri anda sendiri dan anda melindung teman anda dan seterusnya, anda adalah bagian dari masyarakat; kemudian mereka bisa kebal dari bahan luar dan dalam dunia dan bahwa media media kerugian mereka sepanjang waktu’

‘para murid akan mengetahua jika anda mempedulikan secara sederahana, seperti bagaimana anda meminta mereka untuk mengambil buku mereka diluar, kemudian anda harus mempedulikan mereka juga dalam mengeluarkan yang lebih besar’


Menunjukkan kesenjangan: Kesan kesan murid
Dan komentar komentar naratif
Secara keseluruhan, Tahun 9 (n=6) dan Tahun 11 (n=6) murid dari sekolah C menghasilkan suatu rangkaian menggambar tersendiri, metafora sekolah yang mewakili seperti tumbuh tumbuhan, taman hiburan, jalan raya, monyet, singa, kura kura, penjara, dunia lain, neraka, pengolah keluaran dan masukan, ban berjalan pembawa barang, dll. Timbul dari mereka yang naratif, para murid jelas mengatakan bahwa, meski berartinya diri mereka sendiri untuk sekolah tersebut, mereka merasakannya berdasar ‘adalah kami, tetapi bukan pendapat kami’. Para murid yang lebih muda merasakan ada suatu perasaan dorongan tetapi juga tekanan untuk mengembangkan akademis. Para murid yang lebih tua merasakan tekanan dari test dan ujian tetapi melihat reputasi sekolah sebagai prioritas utama. Mereka mengenali suatu kendali yang ketat disekeliling hal ini seperti ‘jika dia (terutama) merasakan bahwa reputasi sekolah sedang dirusakkan-reputasinya sedang dirusakkan’ dengan hasil ‘dia harus memiliki kendali total’. Cocok dan standard dilihat ketika syarat dijalankan, apa yang terlihat berarti ‘segala sesuatunya orang lain akan memperhatikan-hasil ujian, mereka menempatkan daftar liga di Inggris, hasil hasil olahraga, seragam!’ (Tahun 11 murid). Satu tahun 9 murid menjumlahkan seperti ‘keutamaan itu tidak benar benar mempunyai kepercayaan dikami’. Murid bersebrangan, ada suatu perasaan yang kuat bahwa dewan sekolah sangat tidak mencapai dan perhatian yang diberikan tidak cukup.

Pengaruh murid: retorik dan kenyataan
Pola pola utama timbul dari sketsa sketsa ini, dan didukung oleh studi riset yang lebih luas (Mitchell 2006), menyatakan bahwa: (i) kepala sekolah mungkin tidak bisa melihat bahwa ada kesenjangan antara etos yang diharapkan dari partisipasi murid dan apa yang sebenarnya tetap pada tuntutan pengalaman murid; (ii) kesebrang sekolah sekolah disana ada beragam tingkat derajat dari pertentangan antara retorik dan keadaan yang sebenarnya; dan (iii) menggunakan pendekatan berbasis gambaran sederhana memudahkan para murid dalam menyatakan dengan aman pengalaman pengalaman pendidikan yang diterima disekolah, dengan tidak mengindahkan usia, kemampuan, jenis kelamin dan etnis. Tanpa pertimbangan untuk imajinasi dan khayalana, banyak murid didalam studi ini, menandai mereka ingin terlalu tidak kuat atau tidak yakin tentang bagaimana caranya ‘kebenaran mereka berbicara’.

Para murid cendrung untuk melihat dunia sekolah dengan cara yang berbeda terhadap orang dewasa yang melihat itu, sekalipun mereka mengenali isu isu serupa sebagai hal tertentu yang utama, tetap mereka akan memiliki pemahaman pemahaman yang berbeda sifat dan makna mereka. (Fielding 2004)

Melalui kata kata dan kesan kesan dari berbagai responden, masing masing dari 3 sekolah dalam studi komunikasi sendiri ‘budaya ditempat yang unik’. Itu jelas bahwa masing masing kepala sekolah, sebagai pemimpin budaya, telah mempunyai peluang untuk membuat dan mendukung merasakan keterangan budaya ditempat sendiri. Bagaimana pun, ini juga jelas, dari sudut pandang banyak sekali yang diambil oleh para murid dan menyatakan melalui kesan kesan mereka yang metafora, bahwa budaya yang dinyatakan dan dialami oleh kepala sekolah adalah sungguh berbeda untuk diterima dan dialami oleh para murid. Meski ada suatu bahaya dari kesibukkan dengan kesediaannya untuk menyamaratakan dan merealisasikan pola pola dari suatu batasan menjaring penglaman murid dan contoh suatu batasan semua kepala sekolah laki laki, meskipun demikian, saat didalam pembatasan pembatasan data, ada ketegangan ketegangan yang diidentifikasi dan perbedaan perbedaan itu ‘berbicara’ didalam dan keseberang 3 sekolah sekolah antara yang disertai etos dan pengalaman pengalaman nyata dari para murid, keduanya secara individu dan bersama. Untuk meringkas:

Disekolah A, ketegangan diidentifikasi antara etos yang disertai sebagai suatu budaya dari kepedulian dan pengalaman para murid dari suatu lingkungan yang secara relative ramah, tetapi salah satu dari mereka tidak merasakan keterangan keanggotaan atau ‘tambahan etos dari dalam’ (Donnelly 2000) dan dimana pengaruh murid merasa hanya sebagai sedikit memudahkan.

Disekolah B, etos yang disertai adalah satu kerjasama dan saling menghormati mengenai bagaimana kekuasaan yang berbeda bisa mengurangi pembelaan orang dewasa dan peningkatan paksaan murid. Disini, para murid umumnya memandang tempat budaya sebagai satu dukungan yang asli dan kerjasama dan dimana para murid merasakan mereka mengatakan hal hal yang relative berarti. Ekspresi ketegangan utama oleh para murid adalah tekanan tekanan untuk mengatur kesan dari ‘integrasi’ kepada dunia luar dan untuk menangani perbandingan kebudayaan didalam tubuh murid itu sendiri.

Disekolah C, bersifat melindungi, mungkin system kemasyarakatan yang menentukan ayah sebagai kepala keluarga adalah gambaran terbaik sebagai budaya yang ramah yang disertai dengan kepala sekolah-satu dimana murid didorong untuk mendewasakan secara akademis, social, dan moral melalui undangan untuk menjadi refleksi diri sendiri. Semua murid, bagaimana pun, menyatakan suatu kesenjangan yang penting antara cita cita dan merasa pengalaman mereka pada dasar suatu hirarki yang kaku dimana mengukur kendali, pengawasan dan harapan harapan akademis yang tinggi dan kepercayaan didalam pengaruh murid adalah sepele.

Sebagai konsekuensi, meskipun maksudnya baik dan usaha asli ini dengan kepala sekolah untuk memudahkan budaya budaya yang sesuai dari pendidikan yang diterima disekolah dimana para murid akan berpartisipasi dan disusun melalui suatu peningkatan yang digunakan dari struktur dan proses informal dan formal, para murid disetiap sekolah, dengan tak mengindahkan usia, tingkat derajat yang beda dirasakan dari memberi hak suara. Mungkin isu tunggal yang paling besar muncul berseberangan dengan 3 sekolah sekolah didalam studi ini adalah tingkat derajat yang berbeda dari dasar kepercayaan antara staf dan para murid dan bagaimana menjelaskan perasaan para murid. Jadi, para murid disekolah A dan C menunjukkan kesenjangan yang lebih besar antara retorik dan kenyataan pengalaman mereka dibanding rekan pendamping mereka disekolah B. Lalu, memberi pengaruh murid dalam bagaimana mereka bisa berkontribusi untuk prioritas pendidikan dan menyikapi tantangan tantangan dan ketegangan yang masih tersisa disekolah ini, sekalipun hanya dalam tingkat derajat yang berbeda, antara retorik dari pengaruh siswa dan masing masing sekolah memiliki tingkatan yang sebenarnya dalam keterlibatan murid.

Hal ini menguatkan kecurigaan itu, selagi aspirasi siap berlimpah disekolah sekitar kebutuhan akan nilai dan konsultasi murid, dan meski kepala sekolah dan mereka para gubernur mungkin mengalami kesulitan khayalan bahwa mereka mempunyai tempat budaya dan proses yang berguna untuk mendengarkan para murid, pengalaman murid, pada efeknya, menjadi radikal yang berbeda.


Diskusi: pencarian dalam suatu permintaan yang baru dari pengalaman murid?

Decade decade panggilan untuk perubahan bidang pendidikan tidak berhasil dalam membuat tempat sekolah dimana semua orang muda ingin dan mampu untuk belajar, ini adalah waktunya untuk mengundang murid bergabung membicarakan tentang bagaimana kita dapat memenuhi itu. (Cook-Sather 2002)

Umumnya ini dikenali selagi CRC, sebagai suatu standar internasional yang dikenal, mengesahkan partisispasi murid, ‘…kita perlu berhati hati tentang menyamakan keberadaan dari CRC dengan perwujudan hak hak ini’ (Osler dan Starkey 2005). Meskipun demikian, ketika kita mencoba untuk ‘mengukir suatu pesanan baru dari pengalaman’ dalam pendidikan (Rudduck dan Flutter 2004) bahwa menganut semangat kedua duanya dan latihan dari artikel 12 CRC, kita harus mengenali bahwa meraih hal ini akan merupakan suatu kompleks dan perlu menantang pengalaman. Akan melibatkan kebudayaan sekolah dan kelas, orang dewasa dan para murid, untuk proses ini melibatkan transformasi apa yang ada disekolah sekolah dengan mengembangkan nilai nilai baru, kepercayaan kepercayaan, norma norma, dan membangun konsep konsep dan latihan latihan baru bahwa mengabadikan konsultasi murid pada hatinya. Sepanjang setiap sekolah dalam konteksnya yang berbeda dan titik awal untuk banyak pergerakan dalam partisipasi demokrasi yang lebih besar dengan kejelasan yang rendah, perubahan yang serius tidak akan menjadi cepat dan transgresif tapi lebih mungkin sporadis dan melempem dan dimana disana ada suatu kebutuhan untuk ‘mendirikan kebudayaan’ (Nias 1989) termasuk perubahan bentuk budaya budaya guru dan budaya budaya masyarakat seperti juga budaya budaya murid yang perlu pergeseran (Stoll 1999). Ini adalah permintaan yang berlebihan bagi kebanyakan kepala sekolah dalam kaitannya dengan menggunakan istilah yang perlu visi, refleksifitas, komitmen, waktu, energi, keahlian dan fleksibilitas bahwa mereka akan perlu untuk mengumpulkan dan mendukung gagasan gagasan tradisional yang berotoritas jika subbudaya yang ada disekolah sekolah adalah untuk dimudahkan , untuk menyempurnakan yang asli, proses proses dari perubahan konsensual berpusat pada partisipasi dan konsultasi murid. Yang penting suatu proses demokrasi dan seperti dikatakan Klein (2003) bahwa demokrasi tidak mudah.

Terus meningkat, ada contoh contoh yang tersedia dari sekolah sekolah di UK, Australia, Amerika Utara dan ditempat lain (Mitra 2001, Cook-Sather 2002, Arnot 2004) yang sedang mempertunjukkan latihan baik secara sistematis dalam menyertakan para murid didalam kepemimpinan yang dibagi bersama melalui dewan dewan sekolah, evaluasi yang sebanding, latihan yang sebanding. Mengajar privat dari murid ke murid dan peluang kewarganegaraan. Meskipun demikian, tidak ada prototype sederhana untuk mengikutinya. Tidak ada ‘satu ukuran sesuai dengan semua’ ketika budaya itu datang dan mengembangkan struktur struktur dan proses yang sungguh demokratis untuk keterlibatan murid. Banyak contoh contohnya dari kilauan laporan yang sukses dalam literature yang telah didukung pengembangan mereka oleh yang diluar seperti pendidikan yang lebih tinggi, otoritas pendidikan local, atau jaringan nasional yang sudah dengan berbagai cara mendorong dan menahan ruang memantulkan cahaya terbuka bahwa membantu mendorong batasan batasan dari pengaruh murid yang bekerja (sebagai contoh, lihat Veuglers dan O’Hair 2005) banyak sekolah sekolah, bagaimanapun mempunyai ‘awal diri sendiri’ dan, untuk kebanyakan kepala sekolah, kebudayaan ini adalah pribadi dan profesi yang menantang.

Tidak selalu mudah bagi mereka didalam posisi berkuasa, bagaimanapun transformasi visi mereka, untuk membersihkan disekitar mana untuk memulai dan kondisi kondisi apa yang penting untuk membangun transformasi latihan murid. Lebih dari itu, ketika pembelajaran ini menunjukkan, kepala sekolah boleh mengasumsikan mereka telah batal dalam awal rintangan dan banyak jalur lebih lanjut menciptakan partisipasi budaya dibanding mereka yang sebenarnya. Ciptaan yang prematur dari mekanisme dan struktur (dewan sekolah) dapat dengan mudah menggelapkan jurang kepercayaan antara para murid dan staf yang benar benar ada. Cara yang ditemukan dengan mana staf dan para murid dapat mengembangkan kepercayaan asli dan bekerjasama dengan aman kearah nilai nilai klarisifikasi yang lebih besar dan berbagi pengertian sifat dasar dari banyaknya prioritas sekolah yang penting tetapi menguji tempat awal pemberangkatan didalam setiap proses dari kebudayaan. Dua langkah penting untuk membangun budaya budaya baru dari pendidikan yang diterima disekolah adalah:

Kebutuhan kepala sekolah untuk mengambil atau menawarkan dukungan dengan didalamnya ada peluang yang dibangun untuk mencerminkan diri sendiri dan memeriksa diri sendiri ketika mereka terlibat dalam pengembangan partisipasi budaya. Dalam banyak kejadian, kepala sekolah akan bermanfaat bagi yang berkelanjutan, mendukung peluang untuk menantang mereka sendiri yang retorik, mencerminkan dalam kekuasaan yang diferensial yang ada dan untuk menembus kedasar yang lebih dalam untuk meninjau kekuatan kekuatan dan struktur struktur (berisikan prioritas prioritas yang nyata, yang tak terkatakan, sikap sikap dan visi visi dimana individu menjaga secara pribadi) bahwa mempengaruhi kenyataan rezim rezim sekolah mereka. Ini akan meratakan cara untuk lebih mengkandaskan rencana dan proses proses persatuan dari proses perikatan murid yang asli.
Ciptaan yang tepat dan ruang imajinatif untuk menjelajah kesenjangan antara yang retorik dan kenyataan pengalaman murid dan staff. Peluang yang mengancam perlu dirancang dan semakin dikembangkan dimana staff dan para murid dapat mengidentifikasi dan berbagai pandangan pandangan mereka untuk bekerja sama kearah yang lebih memahami tentang prioritas prioritas sekolah, meski kepala sekolah dan staff manajemen akan mementingkan momentum dan langsung dari proses ini, akan ada manfaat mutu tinggi untuk pekerja, secara hati hati memilih pemberian kemudahan eksternal pada pagi hari untuk memastikan kreasi ‘ruang aman’ untuk menjelajah dan diskusi oleh kedua belah pihak.

Laporan riset dalam artikel ini, sekalipun skala kecil, berarti menyediakan bagi mereka, yang ingin mengikuti semangat seperti juga surat dari CRC, untuk memperkenalkan sesuatu yang teratur dan gigih didalam proses sekolah sekolah asli mereka dari perjanjian. Termasuk perlu suatu langkah pendekatan yang lebih luas kepada pengaruh murid yang menggunakan gambaran dasar dan kreatif bahwa melengkapi pendekatan yang lebih tradisional-tidak hanya untuk para murid tetapi juga untuk staff melalui pengembangan ‘mendengarkan budaya’ dimana semua para pihak melibatkan secara bersama untuk menjelajah dan berbagi persepsi dan prioritas apa yang terlihat berarti disekolah sekolah. Aktifitas seperti itu mungkin akan mengenalkan kesenjangan antara ideal dan persepsi actual dan pengalaman nyata yang berbeda dan, yang paling baik, mempromosikan wujud wujud dari demokrasi disekolah sekolah dan kelas kelas meluruskan lebih teliti untuk minat pendidikan murid, para guru dan mereka semua yang berkontribusi untuk mengembangkan sesuatu yang lebih dan lembaga yang wajar.

Catatan

Kita mengakui adanya bahwa demokrasi adalah mungkin untuk memiliki maksud yang berbeda didalam budaya budaya nasional yang berbeda.
Pendidikan di Irlandia Utara sangat terpencilkan, dengan 95 persen dari para murid yang hadir dari manapun dipertahankan (Katolik) sekolah atau suatu sekolah yang dikendalikan (kebanyakan Protestan), kedua duanya secara efektif dibiayai oleh Negara. Integritas pendidikan di Irlandia Utara adalah suatu usaha untuk mendamaikan anak anak, orangtua dan para guru dari tradisi kedua duanya Katolik Roma dan Protestan, itu bertujuan untuk memberikan para murid suatu pendidikan membiarkan peluang itu untuk dipahami dan dihormati semua latarbelakang agama dan budaya.

Resume Buku Pendidikan

Author: ariyanto /

Kajian Pendidikan secara Umum

Tantangan dan Permasalahan Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium Ketiga

Pendahuluan

Pendidikan sesungguhnya selalu bersangkut paut dengan masa depan, sebab seperti sudah dirumuskan dalam Pasal 1 UUPN, No. 2 1989, pendidikan pada dasarnya adalah “Usaha sadar untuk menyiapkan peserta
didik melalui bimbingan, pengajaran dan latihan bagi perannya dimasa yang akan datang”.
Supaya kegiatan pendidikan yang kita selenggarakan mampu secara berhasil guna membekali peserta didik dalam menghadapi tantangan hidupnya dimasa depan, kita harus mampu mengantisipasi (berdasarkan kecenderungan- kecenderungan yang sampai sekarang ada) apa yang akan menjadi tantangan hidup mereka dimasa depan.

Tantangan

Pendidikan Yang Tanggap Terhadap Situasi Persaingan dan Kerja Sama Global

Tantangan pertama dunia pendidikan masa depan adalah bagaimana menyelenggarakan pendidikan yang tanggap terhadap tantangan era globalisasi. Dalam zaman kejagadan seperti sekarang ini tidak ada Negara satu pun didunia ini yang dapat hidup sama sekali lepas dari Negara Negara lain. Krisis ekonomi yang masih melilit Negara kita dan yang belakangan ini diperburuk oleh berbagai skandal politik yang melibatkan dunia perbankan, antara lain juga disebabkan kehidupan ekonomi Indonesia sudah menjadi bagian dari ekonomi dunia.
Pendidikan masa depan adalah pendidikan yang tanggap terhadap persaingan dan kerjasama global. Untuk bisa bersaing secara fair melawan bangsa-bangsa lain dan bekerja sama dengan mereka, peserta didik kita perlu dibekali dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap serta sistem nilai yang memang dibutuhkan untuk masa depan. Dalam menghadapi tantangan persaingan dibidang ekonomi, misalnya diperlukan kejelian untuk melihat peluang memanfaatkan peredaran barang, jasa, modal, dan informasi dalam pasar global.
Dalam menjalin kerjasama global, selain kemampuan berkomunikasi (yang amat mengandalkan kemampuan berbahasa asing) baik dalam diplomasi ekonomi, politik, maupun budaya, juga diperlukan perkenalan dan pengindahan aturan main atau tata karma pergaulan internasional. Kalau tidak diindahkan, maka seperti sekarang ini, kita akan kehilangan kepercayaan Internasional.
Dunia pendidikan kita tidak bisa mengabaikan semakin kuatnya arus demokratisasi dan perjuangan penegakan hukum pada umumnya, dan secara khusus tuntutan pelaksanaan hak asasi manusia. Seperti pernah dikatakan oleh pakar pendidikan kita, Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, “Manusia masa depan adalah manusia yang sadar terhadap hak azasinya dan oleh sebab itu pula manusia masa depan sangat kental rasa solidaritas globalnya”. Demikian juga dalam hal kesadaran ekologis, dunia pendidikan masa depan perlu semakin mengintegrasikannya kedalam berbagai kegiatannya, baik yang bersifat kurikuler maupun ekstrakurikuler. Dalam kehidupan budaya, globalisasi menantang dunia pendidikan masa depan untuk menghasilkan lulusan yang kenal, mencintai dan mampu mengekpresikan budaya bangsanya seraya mampu menjalin dialog terbuka dan kritis dengan budaya-budaya lain. Kalau tidak, yang akan muncul adalah generasi yang tak punya identitas, atau yang selalu gamang, takut, dan bingung menghadapi berbagai perubahan yang terjadi.

Pendidikan yang Membentuk Pribadi yang Mampu Belajar Seumur Hidup

Bagaimana mengupayakan pendidikan yang membentuk pribadi yang mampu belajar seumur hidup (life long learning). Kehidupan masa depan akan semakin kompleks dan ditandai oleh perubahan sosial yang semakin cepat. Menghadapi tantangan perubahan social yang semakin cepat, pendidikan masa depan perlu sejak dini (= Mulai pendidikan dasar) melatih peserta didik untuk mampu belajar secara mandiri dengan memupuk sikap gemar membaca dan mencari, serta memanfaatkan sumber informasi yang diperlukan untuk dapat menjawab persoalan persoalan yang dihadapinya. Peserta didik perlu dilatih untuk bisa berfikir (learning to think), bisa berbuat atau melakukan sesuatu (learning to do), dan bisa menghayati hidupnya menjadi seorang pribadi sebagaimana ia ingin menjadi (learning to be). Tidak kalah penting dari itu semua adalah belajar bagaimana belajar (learning how to learn), baik secara mandiri maupun dalam kerjasama dengan orang lain, karena mereka perlu belajar untuk hidup bersama dengan orang lain (learning to life together).
Selain latihan abstraksi kognitif, terlebih dalam bidang-bidang yang tidak hanya menyangkut pengetahuan factual, untuk menghadapi tantangan masyarakat global yang semakin kompleks, peserta didik perlu juga dilatih untuk berfikir dan merefleksikan situasinya sendiri yang ditandai oleh kekompleksan dan ketidakpastian. Kreatifitas dan imajinasi yang dibutuhkan. Karena masyarakat global dimasa depan akan lebih penuh kekompleksan dan ketidakpastian, melatih peserta didik kita untuk mampu menghadapi tantangan seperti itu menjadi penting dalam pendidikan yang berorientasi ke masa depan. Orang muda jaman sekarang sudah perlu belajar bahwa kita tidak dapat memberikan jawaban final begitu saja pada suatu persoalan. Mereka perlu dilatih untuk berfikir lateral dan bukan hanya linear. Mengubah perspektif dapat memberi wawasan lain yang dapat memperkaya.

Pendidikan Yang Menyadari Pentingnya dan Mengupayakan Terlaksananya Pendidikan Nilai

Tantangan ketiga dalam pendidikan masa depan adalah bagaimana melakukan pendidikan yang menyadari pentingnya dan mengupayakan terlaksananya pendidikan nilai. Pendidikan nilai merupakan bagian integral kegiatan pendidikan, karena pendidikan pada dasarnya melibatkan pembentukan sikap, watak, dan kepribadian peserta didik. Pendidikan tidak hanya bertujuan menghasilkan pribadi yang cerdas dan terampil, tetapi juga pribadi yang berbudi pekerti luhur. Tanpa disertai dengan integritas pribadi, kecerdasan dan keterampilan cenderung disalahgunakan. Semakin dominannya nilai ekonomis dalam kehidupan bermasyarakat, atau semakin merajalelanya arus komersialisasi diberbagai bidang kehidupan, termasuk dibidang pendidikan, semakin nilai-nilai kemanusiaan terancam. Uang, Materi, dan kenikmatan didewakan. Orang dihargai berdasarkan tingkat kesejahteraan materinya. You are what you have; you are what you wear; you are what you drive. Arus materialisme membawa erosi nilai nilai moral dan spiritual, dan itu akan membuat orang semakin pragmatic dan opportunistic.
Nilai manfaat dan keuntungan ekonomis menjadi hal paling utama, dan mengalahkan nilai nilai lain yang penting untuk kemanusiaan, seperti kasih, kesetiaan, kebenaran, keadialan, kejujuran, hormat terhadap martabat dan kehidupan manusia, kesetiakawanan, penguasaan diri. Mengingat tantangan diatas, pendidikan masa depan perlu menekankan pentingnya dan mengupayakan terlaksananya pendidikan nilai. Dengan keberhasilan nilai, dampak negative kemajuan sains dan teknologi dimasa depan juga akan lebih dapat dihindarkan. Semuanya tergantung dari manusia, pencipta, dan penggunanya. Pendidikan nilai sebagai bagian hakiki pendidikan ikut menentukan kualitas manusia pencipta dan pengguna teknologi dimasa depan.

Permasalahan

Sejajar dengan tiga tantangan diatas, berikut kita lihat adanya tiga permasalahan yang kita hadapi dalam millennium ketiga.

Masalah Mutu Pendidikan Kita yang Masih Rendah

Berkaitan dengan tantangan pertama, masalah utama yang kita hadapi adalah kenyataan bahwa pada umumnya mutu pendidikan kita relative rendah. Rendahnya mutu sekolah misalnya tampak dari rendahnya mutu lulusan disemua hampir jenjang pendidikan formal. Apakah yang menjadi penyebab poko rendahnya mutu lulusan tersebut? Memang cukup kompleks, beberapa factor utama kiranya dapat disebut, seperti: (1) factor dana pendidikan yang relative masih kecil, (2) factor sarana dan prasarana pendidikan yang belum memadai, (3) factor kurikulum yang kurang menunjang peningkatan mutu karena masih terlalu sentralistis, tidak realistis terhadap kondisi nyata siswa, dan surat beban, (4) factor “kesemrawutan” system administrasi dan manajemen pendidikan kita, termasuk didalamnya factor terlalu besarnya campur tangan birokrasi pemerintah, dan (5) factor rendahnya mutu guru.

Masalah Masih Belum Memadainya Sistem Pembelajaran di Sekolah sekolah Kita

Kalau pendidikan masa depan mau menghasilkan pribadi yang mampu dan mau belajar sepanjang hidup, sesungguhnya sejak tahap pendidikan dasar peserta didik perlu sudah dilatih untuk aktif bertanya, mengamati, menyelidiki, serta membaca untuk mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan baik yang diajukan oleh guru maupun yang mereka ajukan sendiri. Pengetahuan yang disampaikan kepada peserta didik juga bukan hanya dalam bentuk produk, tetapi juga perlu dalam bentuk proses.


Masih belum memadainya system pembelajaran disekolah kita tidak lepas dari factor kurikulum yang terlalu padat dan kurang fleksibel. Kurikulum yang terlalu padat membuat pengajaran serba tanggung dan tergesa gesa karena dihantui oleh ketakutan akan tidak terpenuhinya target yang sudah ditentukan. Akibatnya, pemahaman peserta didik menjadi dangkal dan lebih banyak hanya menghafal demi kelulusan dalam ujian.
Lepas dari soal kurikulum, untuk menghadapi perubahan social yang semakin cepat, sesungguhnya peserta didik kita sejak dalam pendidikan dasar perlu sudah diajari bagaimana belajar secara mandiri. Salah satu cara untuk itu adalah sejak dini menumbuhkan dan memupuk sikap dan semangat gemar membaca, serta mencari informasi. Karena dalam dunia persaingan mendatang keunggulan daya saing antara lain akan sangat ditentukan oleh mampu tidaknya menguasai ilmu dan teknologi, dalam diri peserta didik kita sejak dini perlu dipupuk budaya berpikir dan berperilaku ilmiah, serta gemar membaca dan mencari informasi.

Masalah Merajalelanya Krisis Moral yang Melanda Masyarakat Kita

Kalau suasana umum dalam masyarakat mencerminkan adanya krisis moral, cukup sulit bagi para pendidik untuk melakukan pendidikan nilai, sebab nilai nilai yang dengan susah payah ingin ditumbuh kembangkan dalam diri peserta didik, dalam praktik baik dalam keluarga maupun ditengah masyarakat banyak dilecehkan. Sementara ditengah masyarakat peserta didik menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa keberhasilan hidup ditentukan oleh uang, kuasa, dan kelicikan, jelas penanaman nilai disiplin dan kerja keras menjadi sulit. Dari sisi pendidikan nilai, sebenarnya krisis ekonomi yang sedang kita alami sekarang ini dapat mengandung berkat yang tersembunyi.
Krisis ini telah memberi kesempatan bagi terkuaknya tabir kebohongan dan berbagai bentuk pelanggaran moral yang selama ini terjadi. Kalau kita mau membangun masa depan kita diatas fondasi yang lebih kokoh, melalui pendidikan, kita perlu membekali generasi muda bukan hanya dengan pengetahuan dan keterampilan untuk hidup dalam percaturan global, tetapi juga dengan integritas moral dan iman. Karena pendidikan niali merupakan bagian integral dari kegiatan pendidikan.




Pendidikan yang Memahami Manusia

Pendidikan dan Drama Hegemoni Negara

Negara yang merupakan institusi hasil kontrak social memiliki tugas memberi pelayanan terhadap warga Negara termasuk pendidikan. Pendidikan harus bisa memberikan alternative pemberdayaan bagi masa kini dan masa depan warga Negara. Pendidikan justru menjadi alat propaganda ideology dan kepentingan Negara. Dalam pendidikan seperti ini, Negara diasumsikan sebagai pemilik tunggal kebenaran, yang bebas kritik.
Agar pendidikan bisa memenuhi seluruh perangkat yang berkaitan dengan proses pendidikan harus dikontrol Negara. Pertama adalah Undang Undang. Dalam kaitannya dengan pendidikan, Negara mengeluarkan UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berikut ini dapat dirunut beberapa pasal yang menunjukkan dominasi Negara dalam system tersebut. Pasal 29 (1), pasal 38 (1), pasal 48 (ayat 1 dan 2), pasal 52, pasal 53, dan pasal 22.
Kedua, sebagai konsekuensi, ketetapan sentralisasi kurikulum, materi, dan referensi proses pendidikan dirumuskan oleh Negara. Untuk mengokohkan control atas materi, Negara menciptakan mata pelajaran yang bersifat ideologis, seperti Pendidikan Moral Pancasila dan Sejarah Nasional. Dalam kurikulum yang sudah tersentralisasi ini, metode yang digunakan dalam pendidikan tidak boleh berpotensi menjadi embrio perlawanan terhadap Negara.
Ketiga, guru bukanlah manusia yang bebas mengajarkan sesuatu yang diyakininya, melainkan ia harus merupakan agen propaganda keyakinan dan kebodohan Negara yang mengangkatnya. Jika sudah demkian, pendidikan bukan merupakan wahana saling belajar antara guru dan siswa sebagai sivitas pengetahuan untuk mencapai kebaikan masa depan, melainkan sebagai wahana penindasan dari yang kuat terhadap yang lemah.
Keempat, Negara masih melakukan control langsung dalam proses pendidikan itu sendiri. Negara mengawasi diskusi diskusi dan segala bentuk kegiatan ilmiah yang dilakukan mahasiswa. Jika momen ilmiah dirasakan akan mengganggu berlangsungnya kekuasaan, Negara akan langsung membubarkan dan memanggil pihak penyelenggara. Kebebasan akademik yang dikenalkan UU Sistem Pendidikan Nasional hanya tinggal torehan manis yang tak bermakna.

Pendidikan dengan Wacana Kemanusiaan
Karena maksud awal pendidikan adalah pemberdayaan bagi manusia didik dalam menghadapi dinamika kehidupan baik masa kini maupun masa mendatang, maka pemahaman tentang wacana kemanusiaan secara utuh merupakan keniscayaan. Sebaliknya, jika pengertian dan pemahaman terhadap pendidikan kurang tepat tentu akan melahirkan konsep dan praktik pendidikan yang juga kurang proposional.
Memahami tentang manusia memang bukan pekerjaan yang mudah. Perbincangan tentang manusia itu sendiri juga dinamis, berkembang dari waktu ke waktu sesuai perkembangan peradaban yang tak pernah usai. Karena pemahaman tentang manusia yang terus berkembang maka klaim pendidikan itu sendiri harus dinamis. Ada beberapa prinsip yang bisa menjelaskan tentang manusia bagi kepentingan pendidikan. Prinsip pertama, manusia memiliki sejarah.
Manusia adalah makhluk yang mampu melakukan self reflection, ia mampu keluar dari dirinya dan menengok kebelakang, kemudian mengadakan penelitian dan permenungan sebuah kombinasi kombinasi baru dimasa depan. Prinsip kedua, manusia adalah makhluk dengan segala individualitasnya. Artinya, masing masing manusia memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin.
Prinsip ketiga, manusiaa selalu membutuhkan sosialisasi diantara mereka. Heidegger menyatakan bahwa eksistensi manusia adalah eksistensi bersama. Hubungan social antar manusia ini mengandaikan hubungan dua subjek yang saling meminta supaya diterima dengan hati yang jujur dan baik. Prinsip keempat, manusia mengadakan hubungan juga dengan alam sekitarnya. Kesadaran manusia menyatakanbahwa ketersediaan alam belum semuanya cocok untuk memenuhi kebutuhan manusia. Oleh sebab itu, manusia perlu kerja. Dengan kerja, manusia telah mengatasi jarak antara dirinya denagn alam.
Prinsip kelima, manusia dalam kebebasannya menolah alam pikir dan rasa telah menemukan Yang Transendental. Hubungan antar manusia dengan Tuhan yang terlembagakan dalam kepercayaan atau iman merupakan terobosan manusia, keluar dari eksistensi empirisnya yang terbatas menuju sumbernya yang pertama dari eksistensi dirinya dan manusia. Dengan kelima wacana kemanusiaan tersebut pendidikan diselenggarakan. Untuk mendukungnya, pelaksanaan pendidikan penting memperhatikan beberapa hal.
Pertama, menjadikan kritik sebagai metodologi. Metodologi merupakan cabang filsafat yang mencari penjelesan mengenai proses dan jalan yang dilalui seseorang sehingga terjadi peristiwa “mengetahui”. Selanjutnya, penelusuran tersebut harus berusaha menemukan substansi dan asaensi dari mengetahui dan bagaimana criteria kebenaran suatu pengetahuan ilmiah serta factor dominant sehingga seseorang memperoleh pengetahuan.
Kedua, kurikulum yang integrative dan kritis. Kurikulum adalah terjemahan praktis dari tujuan besar pendidikan yang sengaja dirancang agar proses pendidikan benar benar memenuhi maksud yang dikehendaki. Dalam kaitannya dengan wacana kemanusiaan, kurikulum harus merupakan pegangan tentang tujuan, metode, lingkup materi, dan evaluasi pendidikan yang terintegrasi. Dengan metode ini diharapkan peserta didik bisa lebih memiliki kebebasan mengembangkan seluruh kekuatan inteligensinya untuk memahami secara kritis. Demikian juga, evaluasi yang diberikan bukan model evaluasi yang membuat peserta didik merasa didikte dan harus menghafalkan sesuatu tanpa kesempatan memberikan pendapat dan argumentasinya sendiri.

Ketiga, relasi guru siswa transformative. Hubungan guru siswa yang transformative akan senantiasa mengusahakan perjumpaan agar lebih bermutu. Suatu perjumpaan guru dan siswa bisa dikatakan bermutu apabila berdampak atau terasa membantu perkembangan diri siswa, bukan menghambatnya. Selain itu, dengan perjumpaan guru dan siswa menjadi lebih jujur dan terbuka satu sama lain, lebih tanggap, lebih memberi kebebasan untuk berkembang, dan saling memenuhi kebutuhan.

Mengagendakan Tugas Negara

Sesuai dengan maksud utama pendidikan, yakni pemberdayaan, akan lebih baik jika pendidikan diurusi olah organisasi organisasi kemasyarakatan yang ada diluar Negara. Tugas Negara diserdahanakan saja, mengatur hal hal yang sifatnya umum agar semua kegiatan masyarakat dapat berjalan dengan baik. Peran negara yang terlalu besar terhadap pendidikan harus mulai dikurangi. Maka, paling tidak ada beberapa “anjuran” yang merupakan agenda bagi Negara.
Pertama, ideology pembangunan Negara harus dikritik. Ini dimaksudkan agar Negara kembali mencermati wakta modernisme teknologis yang terlanjur memperlakukan manusia dalam kerangka instrumental material. Kedua, Negara harus mengembalikan aparatnya pada posisi semula dan pendidikan pada idealitasnya. Tentara tidak boleh melakukan intervensi terhadap pelaksanaan pendidikan, baik langsung dengan membubarkan diskusi diskusi atau tidak langsung melalui terror.
Ketiga, Negara harus mendukung iklim akademik yang bebas. Dalam hal ini Negara harus melakukan dua hal. Pertama, menjamin penghuni akademik dari rasa takut untuk berbicara apapun. Negara justru tidak boleh menteror mereka dengan klaim klaim ideologis maupun secara fisik langsung. Kedua, Negara tidak perlu membatasi informasi apa yang diperbolehkan diterima masyarakat akademik. Sebaliknya, justru Negara harus memberikan keleluasaan kepada peserta didik untuk mengikuti perkembangan pengetahuan.
Keempat, Negara harus menyingkirkan semangat sentralisasi kurikulum yang selama ini dilakukan. Yang diperlukan bagi masa depan atau apa pun adalah mental merdeka anak negeri. Dengan kebebasanya berpendapat, mereka akan berdaya berkelit dan membuat strategi masa depan. Yang mereka perlukan bukan ceramah ceramah pengetahuan dan keterampilan praktis, karena hal itu hanya untuk kepentingan sesaat.dengan demikian, pendidikan yang memahami wacana kemanusiaan seperti diatas adalah alternative bagi kemandirian dan keberdayaan penduduk pertiwi. Untuk melaksanakannya diperlukan niat baik semua pihak, termasuk Negara melalui kebijakan kebijakannya.

Revitalisasi Pendidikan Nilai Di Dalam Sektor Pendidikan Formal

Pendidikan nilai sejak masa orde baru hingga sekarang tampaknya telah jatuh kedalam “pengajaran nilai” yang indoktrinatif normative, yang hanya singgah dikepala sebentar menjelang dan saat saat ujian dan sesudah itu terlupakan, tidak pernah masuk ke hati, dan tidak pernah dilaksanakan dalam hidup. Semboyan Latin non scholae sed vitae discimus (kita belajar bukan demi sekolah tetapi demi hidup) tampaknya yidak diikuti lagi. Yang diikuti justru kebalikannya, yaitu non vitae sed scholae discimus (kita belajar bukan demi hidup tetapi demi sekolah). Artinya, apa yang kita pelajari disekolah tidak kita letakkan dalam rangka memperkembangkan pribadi dan demi menghayati hidup yang baik, melainkan sekedar untuk memenuhi tuntutan tuntutan formal akademik sekolah.

Mengapa Pendidikan Nilai Gagal?

Penyebab dibalik semua kegagalan diatas barangkali adalah pendidikan sekolah yang klasikal dan semakin bercorak massal dan formal, sehingga proses pendidikan disekolah menjadi dangkal atau tidak mendasar. Pelajaran pelajaran menjadi sekedar upacara atau acara formal. Proses dan isinya tidak dipandang terlalu penting. Nilai nilai ujian bisa diatur. Dan, yang paling mencolok adalah minimnya aktifitas yang mendorong peserta didik untuk berefleksi dan berafeksi, untuk mengembangkan pemikiran yang kritis, pemikiran yang reflektif, daya afektif, dan daya kreatif, yang menjadi motor penggerak aktifitas hidup yang positif. Dengan demikian proses pendidikan tidak menyentuh dasar hati, sehingga memang tidak memberikan pengalaman penglaman nilai yang menumbuhkan kesadaran nilai.

Pendidikan Makin Mendangkal

Pendangkalan pendidikan terjadi pada beberapa level, antara lain berada pada level tujuan, level proses, level isi materi, level hasil, dan level sektoral. Pada level tujuan terjadi disorientasi pendidikan. Pendidikan yang mestinya diarahkan untuk mencapai tujuan kesempurnaan hidup, justru diarahkan pada tujuan yang makin menyempit, yaitu pada pemerolehan sarana prasarana untuk dapat hidup secara kecukupan dibidang ekonomis semata mata.
Pada level proses terjadi superfisialisasi proses pendidikan. Dipermukaan tampak setiap hari pendidikan itu dijalankan dengan serius, tetapi proses yang terjadi didalamnya amat minimalis. Pada level isi materi, terjadi suatu over load yang berlebihan bagi murid dan guru oleh banyaknya mata pelajaran dalam setiap minggunya. Tentu saja ini sulit dan berat bagi si murid untuk mencernanya lembut lembut dan menghisap sari sarinya. Begitu pula bagi guru, beban yang berat itu membuat ia tidak mempersiapkan dan melaksanakan pelajaran pelajaran secara optimal.
Pada level hasil, yang secara implicit sudah dikatakan pada dua level diatas, memang terjadi minimalisasi, artinya kualitas dan kuantitas materi yang dapat diserap oleh murid makin lama makin menurun. Baik pada aspek kognitif , skill, maupun afektif, terjadi penurunan hasil. Maka, dari tahun ketahun, kualitas hasil pendidikan itu tampak makin jauh dari yang ideal alias makin mengecewakan.

Pada level sektoral, tampak sekali adanya penekanan yang semakin memusat pada sector pendidikan formal dan lebih dipersempit lagi pada sector ekonomi, demi memenuhi tuntutan pasar kerja dan kebutuhan ekonomis. Sector informal sekarang ini banyak dilalaikan dan tidak digarap. Padahal sector informal tersebut merupakan sector yang sentral, yang membentuk dan mengembangkan kepribadian orang muda.

Sistem Pendidikan Tidak Mendukung

Krisis dalam pendidikan nilai yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari system pendidikan yang menopang seluruh usaha kearah pencapaian tujuan pendidikan, sebagaimana telah dirumuskan dengan bagus dalam GBHN dan visi misi setiap pendidikan yang ada. Penyebab krisis tersebut yang utama adalah system pendidikan yang sentralistis. Jika pendidikan di Indonesia harus diluruskan dan dikembalikan kejalurnya yang benar, akan harus ada penyucian atau pentahiran dikalangan para pejabat yang mengurusi sector pendidikan, bukan sekedar mengganti system, kurikulum, buku teks, dll. Ketidak beresan pada hal hal tersebut merupakan akibat dari sumber masalah yang selama ini memang untouchable (tak dapat disentuh).

Memperjelas Konsep Pendidikan Nilai

Tujuan pendidikan adalah menjadikan peserta didik “manusia yang utuh sempurna” atau “manusia purnawan” (Driyarkara, 1980:129). Tercapainya “kesempurnaan” ditunjukkan oleh terbentuknya “pribadi yang bermoral” (Montemayor, 1994:11). Maka, jika dilaksanakan secara konsekuen, setiap pendidikan harus diarahkan pada tujuan pembentukan pribadi yang bermoral. Pribadi yang bermoral adalah yang memiliki kemampuan untuk mengelola hidupnya sesuai dengan nilai nilai luhur kemanusiaan. Kemampuan seperti itu ada pada hati nurani yang telah mencapai kedewasaan. Maka, segala usaha yang bertujuan untuk membina hati nurani mesti diarahkan agar peserta didik mempunyai kepekaan dan penghayatan atas nilai nilai yang luhur. Usaha usah seperti itu disebut “pendidikan nilai”

Konsep tentang Nilai nilai dan Norma norma

Menurut Bertens (1993:139), “ nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik”. Sinurat (1987:1) mengatakan pula bahwa “nilai dan perasaan tidak dapat dipisahkan; keduanya saling mengandaikan. Perasaan adalah aktifitas psikis dimana manusia menghayati nilai”. Masyrakat, Negara, agama, dan keluarga mengarahkan perhatian orang pada nilai nilai yang penting untuk hidup, yang menjadi dasar untuk hidup bersama dan yang memperkaya manusia melalui norma norma (bdk. Kieser, 1987:142). Namun, norma norma tidalah identik dengan nilai nilai. Norma hanyalah wahana untuk mewujudkan nilai. Fungsi norma adalah menghantar orang untuk dapat menyadari dan menghayati nilai nilai. Maka, hanya jika kita melaksanakan suatu norma dengan sungguh sungguh merasakan dan menyadari nilainya, kita akan dapat menghayati nilai yang terkandung didalamnya.
Norma adalah aturan atau patokan (baik tertulis atau tidak tertulis) yang berfungsi sebagai pedoman bertindak atau juga sebagai tolak ukur benar salahnya suatu perbuatan. Sedangkan nilai menunjuk pada “kualitas” (makna, mutu, kebaikan) yang terkandung dalam suatu objek: tindakan, benda, hal, fakta, peristiwa, dll, termasuk norma. Norma itu lebih dimengerti dengan rasio, sedangkan nilai itu untuk ditangkap (dirasa) dan dihayati (dialami) dengan hati. Pendidikan nilai hanya akan berhasil jika dipihak peserta didik ada diposisi batin yang benar, yang antara lain adalah sikap terbuka dan percaya, jujur, rendah hati, bertanggung jawab, berniat baik, setia dan taat melaksanakan nilai nilai, disertai budi yang cerah. Nilai nilai itu tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan masuk kedalam hati kita secara lembut ketika hati kita secara bebas membuka diri.

Revitalisasi Pendidikan Nilai

Pendidikan nilai yang dilakukan secara formal hamper pasti tidak akan mengenai sasaran. Karena, disposisi murid tidak terbangun dengan baik, sehingga batinnya tidak membuka dan tidak siap menerima nilai nilai yang ditawarkan. Disposisi ini amat ditentukan oleh banyak factor, baik internal maupun eksternal. Pendidikan nilai membutuhkan setting eksternal yang mendukung terbentuknya disposisi internal yang diharapkan, sehingga hati dengan bebas membukadan nilai nilai dengan mudah masuk kedalamnya.
Setting eksternal yang mendukung adalah sebagai berikut:

Sikap posisi duduk yang rileks dan bebas bergerak
Suasana santai, informal, dan luwes
Acara acara dinamis dan interaktif
Arah konsentrasi perhatian terfokus, tetapi tidak kaku dan tegang
Setting tempat luas, terbuka, alami, dan segar
Ada refreshment (minuman, snack, makanan)

Sikap badan, posisi duduk, dan pengaturan tempat duduk seperti diatas akan berpengaruh pada terbentuknya disposisi internal. Tetapi, disposisi internal itu sendiri harus juga dibangun dengan mendorong atau memotivasi para peserta didik agar membangun:

Niat untuk mengikuti acara acara yang diselenggarakan
Arah konsentrasi perhatian yang terpusat
Minat yang munculsecara bebas dari dalam
Keterbukaan untuk berkembang

Berikut ini beberapa contoh kegiatan yang dapat dilakukakan untuk menghidupkan kembali pendidikan nilai di sekolah sekolah:

Hadap masalah (problem solving)
Reflective thinking
Dinamika kelompok
Membangun suatu komunitas kecil
Membangun sikap bertanggung jawab
Piknik
Camping studi
Pesta
Retret, week end moral, week end kerohanian.

Evaluasi Pendidikan Nilai

Hasil pendidikan nilai adalah perubahan perilaku atau transformasi hidup yang terjadi didalam batin, yang kemudian mewujud dalam perilaku lahiriah. Hal seperti itu sulit untuk dites dengan sisitem ujian tertulis pun pula tidak dapat dinilai dengan ujian secara lisan. Memang, penilaian yang berupa angkatidak relevan. Penilaian yang relevan adalah yang berupa uraian verbal, walaupun hanya singkat, misalnya Bagus Sekali, Bagus, Cukup, dsb. Lebih lengkap lagi, jika hal itu diberi keterangan mengenai alasan alasannya. Memang akan terkesan bahwa penilaiannya bersifat subjektif, karena amat ditentukan oleh kesan dari pengamatan guru terhadap murid. Kesimpulannya, dewasa ini masyarakat dan para orangtua murid sudah terlanjur menyerahkan pendidikan anak anak merekasepenuhnya pada sekolah, maka sekolah memang harus bertindak. Tetapi, pihak masyarakat juga harus disadarkan, bahwa mereka tidak boleh lepas tangan terhadap pendidikan anak anak mereka. Mereka harus mau jadi partner kerja para guru. Kita harus banyak berinisiatif untuk memperhatikan pendidikan nilai bagi anak anak kita. Jika kita peduli pada mereka, mereka pun akan sadar dan memiliki niat untuk mengikuti apa yang kita tunjukkan, walaupun mereka harus mengalami jatuh bangun terlebih dahulu untuk akhirnya sampai ke tujuan.


Proses Pembelajaran Masa Kini Dan Masa Mendatang

Proses pembelajaran adalah proses yang amat pragmatis dan konkret; melihat dan mempergunakan keadaan nyata, terutama keadaan intelektual para pelajar. Jadi, pembelajaran merupakan proses yang terbatas, hanya pada ranah kognitif. Dengan demikian, penanaman nilai nilai tidak langsung dilaksanakan oleh proses pembelajaran. Untuk mengatasi kekurangan ini kita harus membedakan antara isi proses pembelajaran dan cara proses pembelajaran dilaksanakan.

Keadaan Sekarang

Kita memulai dengan pertanyaan: sebab apa mutu hasil belajar menurun? Karena kalau mutu tidak menurun maka mutu tidak pula ditingkatkan. Namun, kita bisa menyela. Memang mutu tidak menurun, tetap rendah sehingga tetap perlu ditingkatkan. Dengan demikian, marilah kita mencari alasan sebab apa mutunya menurun. Jawaban yang paling gampang adalah menyalahkan anak. Anak tidak berdisiplin dan malas belajar. Akan tetapi, anak malas belajar tidak normal. Masalah pokok: sebab apa anak malas belajar. Apakah karena sekolah tidak menggairahkan atau karena pelajaran terlalu sulit. Orang selalu memakai istilah pendidikan formal, pada hal tidak ada pendidikan formal.
Tidak ada pendidikan yang memakai kurikulum dan jadwal pelajaran. Semua pendidikan informal berlangsung dirumah dan dimasyarakat. Yang formal adalah pengajaran di SD, SMP, SMU dan SMK. Pertanyaan pokok adalah sebab apa pelajar tidak mau belajar? Kira kira 70% dari pelajar kita tidak belajar, tidak karena malas atau kurang disiplin diri. Tetapi, pelajar kita tidak dapat belajar oleh karena di Indonesia kurikulum SMU hanya cocok untuk kurang lebih 30% pelajar, 70% dari mereka tidak mungkin mengikuti kurikulum di Indonesia, satu satunya Negara di dunia di manatidak ada sekolah untuk anak biasa, anak rata rata, melainkan hanya untuk anak pandai.
System ini menerima kenyataan hidup bahwa anak manusia ada yang lemah studinya, rata rata, dan pandai sampai pandai sekali. Bagaimana bisa terjadi sampai begitu? Oleh karena semua perguruan tinggi di Indonesia amat tidak puas dengan mutu lulusan SMU. Ternyata yang lulus SPMB hanya lebih kurang 10%. Yang lain diluluskan karena ada tempat. Hal ini berlaku juga untuk PT swasta. Yang ditolak oleh PT PT yang bermutu lari ke ratusan PT Negeri dan PT Swasta lain yang menerima mereka.
Akibatnya bahwa yang gugur secara nasional di PTN 85%, di PTS 90%. Jadi, secara nasional lebih dari 85% yang masuk PT gugur dan merupakan golongan frustasi. Memang situasi ini tidak boleh dibiarkan. Untuk itu, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi menuntut SMU dengan kurikulum yang memang menyiapkan para pelajar untuk masuk universitas. Tetapi mengalami kesukaran besar karena tidak ada sekolah yang sesuai dengan kemampuan intelektual mereka. Ketidak adaan sekolah dengan kurikulum yang sesuai dengan kemampuan belajar mayoritas besar anak anak kita.
Kesimpulannya, yang tidak ditampung dengan baik dinegara kita bukan anak yang pintar dan anak berbakat. Mereka dimanjakan dengan SMU berprestasi. Yang ditelantarkan adalah 70% dari anak kita. Justru mereka merupakan pokok dari daya manusia kita, bukan 30% yang lulusan universitas. Yang 70% itu yang lulusan sekolah tinggi, politeknik, akademi, dan sebagainya. Merekalah yang dibutuhkan masyarakat kita, sedangkan yang 30% jauh dari cukup untuk menangani pekerjaan yang membutuhkan studi di universitas. Inilah keadaan nyata di negara kita dan ini menerangkan bahwa hasil belajar dari lebih kurang 70% dari pelajar kita rendah. Mereka tidak diberi kesempatan mengembangkan kemampuan mereka karena tidak ada sekolah yang memungkinkan itu. Kenyataan ini akan menciptakan bahwa 80% lebih dari generasi muda akan merupakan generasi frustasi.
Apakah artinya orang yang frustasi? Orang itu akan mengalami bahwa kecerdasan emosional dari sirinya akan hancur. Karena apa? Oleh karena seorang manusia yang masih mencari dan kemudian membentuk jati dirinya sendiri dipaksa hidup pada tingkat intelektual yangtidak sesuai dengan dirinya. Maka timbul penyimpangan penyimpangan guna membela diri terhadap usaha menghancurkan identitas dirinya. Selain itu, 80% lebih mahasiswa yang gugur (D.O) di perguruan tinggi. Mereka telah menikmati kehidupan sebagai mahasiswa yang kemudian di akhiri dengan kegagalan. Pasti hancurlah kecerdasan emosional mereka. Mereka akan sulit sekali memulai lagi dari nol, dengan melupakan yang sudah sudah.

Reformasi Pengajaran

Tujuan pengajaran dari sekolah dasar sampai universitas adalah membentuk manusia intelektual yang mampu dan sanggup menjadi manusia demi manusia lain dalam lingkup profesinya. Namun, cita cita itu khayalan belaka kalau seseorang tidak mempunyai potensi belajar yang dituntut oleh setiap tahap dari proses pembentukan itu. Kurikulum sekolah dasar kita baik sebagai persiapan untuk menempuh pelbagai jalur lebih lanjut. Pada akhir SD jangan diadakan UN karena bentuk UN adalah tes hasil belajr yang tidak cocok untuk anak pada umur akhir SD. Bagi mereka, tes hasil belajar adalah tes hasil menghafalkan bahan bukan memahami bahan. Oleh karena itu, SD harus diakhiri oleh sejumlah tes psikologis guna menentukan derajat kemampuan belajar untuk studi lebih lanjut.
Untuk studi lebih lanjut perlu diadakan jalur pembelajaran yang berbeda beda. Jalur A jalur yang ternyata merupakan seluruh pengajaran menengah di Indonesia. Lulusan SD kelompok B dan C tidak mampu maju pada jalur ini. Untuk kelompok B ini harus ada SMU B yang terdiri atas SMP B dan SMU B yang kurikulumnya adalah kurikulum SMP 1994 yang diringankan pada bidang studi IPA dan unutk SMP B kurikulum SMU 1994 yang diringankan pada bidang studi matematika dan amat diringankan pada bidang studi sains (IPA). Jalur B ini yang akan ditempuh oleh kebanyakan pelajar kita tidak ada. Jadi jelas kita amat memanjakan para pelajar pandai dan merugikan para pelajar biasa yang merupakan tulang punggung dari ekonomi dan industri Negara kita. Para lulusan SMP A dab SMP B dapat melanjutkan ke SMK. Jalur yang terakhir adalah jalur untuk mereka yang tidak mampu atau tidak berminat belajar lebih dari 9 tahun. Mereka akan masuk SMP keterampilan setelah lulus SD.

Tenaga Kepengajaran

Tenaga kepengajaran dibentuk untuk menjadi orang yang berperan utama dalam proses pembelajaran. Peran untuk menunaikan tugas pengajaran dan lewat pengajaran, tugas pendidikan didalam lembaga lembaga yang disebut sekolah. Tujuan utama proses pengajaran, atau lebih tepat tugas pembelajaran adalah perkembangan sepenuhnya dari seseorang yang dijiwai semangat menjadi pria dan wanita yang diciptakan Tuhan demi sesama manusia. Teladan pribadi pengajar lebih penting sebagai sarana guna membantu para pelajar berkembang pada bidang nilai dari pada pelajaran atau uraian. Didalam komunitas sekolah, sang pengajar akan mempengaruhi pembentukan watak secara positif atau negative lewat hidupnya sendiri sebagai teladan. Dalam kebudayaan sekarang ini, kaum muda belajar menanggapi citra hidup dari cita cita yang sudah mulai dirasakan dalam hati mereka.
Pengajar dituntut lebih, oleh karena para pengajar dibentuk pada sebuah perguruan tinggi, perlu dipertanyakan, untuk apa sebuah perguruan tinggi didirikaan. Jawaban paling tepat adalah perguruan tinggi didirikan untuk menjadikan manusia lebih manusia. Jiak sebuah perguruan tinggi didirikan hanya untuk mempersiapkan mahasiswa mencari pekerjaan, perguruan tinggi tersebut bukan perguruan tinggi karena tidak mungkin “mendewasakan pribadi orang sebagai manusia dan warga Negara”, karena tidak pernah akan sempat memperhatikan nilai nilai yang menentukan bobot seseorang manusia dan seorang warga Negara.
Kita harus berani jujur. Kita mendirikan perguruan tinggi sebagai lingkungan hidup bernalar untuk memanusiakan manusia sesuai dengan citra manusia masa kini dan dengan demikian membentuk para mahasiswa menjadi manusia intelektual yang mampu dan sanggup menjadi manusia demi manusia lain dalam lingkup profesi masing masing; ataukah kita membuka lembaga lembaga yang membentuk manusia terampil untuk kebutuhan kebutuhan yang timbul dalam masyarakat yang pragmatis. Dua duanya sekaligus mustahil.
Satu satunya jalan untuk menjadikan sebuah perguruan tinggi tetap sebuah perguruan tinggi adalah mengubah staff guru besar dan lector dari instruktur instruktur yang menanamkan keterampilan tertentu kembali menjadi ilmuwan yang sejati. Karena hanya ilmuwan sejati, yang mampu membimbing dan membina manusia muda menjadi seorang intelektual sejati. Seorang ilmuwan sejati tidak sanggup, bahkan menolak membentuk sarjana diktat, sarjan hafalan, sarjana robot. Apabila seorang sarjana waktu meninggalkan bangku kuliag belum mempunyai wawasan hidup yang ditunjang oleh sikap ilmiah dan dewasa serat kepribadian mandiri, perguruan tinggi yang bersangkuatn telah gagal dalam menunaikan tugasnya. Seorang sarjana yang mau masuk dunia nyata padahal tidak mempunyai wawasan hidup tidak dapat berfungsi sebagai seorang intelektual, paling paling sebagai seorang teknikus yangsempit.


Peran Perguruan Tinggi Dalam Menyongsong Era Baru

Pendahuluan

Kalau kita menengok ke belakang, ternyata universitas sebagai lembaga pendidikan telah bertahan hampir satu millennium,yaitu sejak universitas pertama kali didirikan pada awal Milenium Kedua di Bologna dan Paris, dan kemudian disusul di Oxford dan tempat-tempat lain. Banyak unsur-unsur tradisi yang masih kita warisi sampai sekarang, seperti metode kuliah mimbar (lectio),seminat (disputatio publica), keebasan akademik, otonomi universitas dan ethos akademik seperti kejujuran intelektual, cinta dan kebenaran, askese intelektual dan sebagainya. Namun, universitas “klasik” sebagaimana dirumuskan oleh Kardinal John Henry Newman dalam The Idea of a University yang dengan versi lain diteruskan oleh von Humbold telah mulai redup. Wilhelm von Humbold merumuskan konsep universitas modern bagi Universitas Berlin dengan menunjuk lima kondisi universitas: 1. kesatuan pengajaran dan penelitian atau pendidikan melalui penelitian; 2. pendekatan antardisiplin; 3. kerja sama yang tidak dipaksakan; 4. keheningan; 5. kebebasan. Dalam dasawarsa terakhir universitas hampir di seluruh dunia berusaha merumuskan kembali visi dan misinya karena universitas pada dewasa ini menghadapi tantangan baru yang berbeda dari situasi Kardinal Newman atau von Humbold.

Dari Universitas ke Multiversitas

Universitas merupakan institusi yang telah bertahan hampir seribu tahun, sejak universitas pertama didirikan di Bologna dan Paris pada awal millennium kedua, yaitu abad 11 dan kemudian Oxford pada abad 12. Universitas “klasik”, seperti yang dikatakan John Henry Newman, mengabdikan diri pada kebenaran dengan mengembangkan ilmu pemgetahuan demi ilmu pengetahuan dan hal ini akan menjadi “the high protecting power of all knowledge and science, of fact and principle, of inquiry and discovery, of experiments and speculation”. Namun, cita-cita demikian, sekarang semakin jauh dari kenyataan. Universitas zaman sekarang semakin berorientasi kepada pragmatisme dengan menjadi “ produsen pengetahuan” yang “bermanfaat”, bahkan banyak universitas diciptakan atas dasar orientasi “utilitarian” ini.
Ada dua faktor, yang mendorong perubahan orientasi ini. Faktor pertama adalah faktor intelektual, yaitu keberhasilan ilmu-ilmu alam yang terarah pada tujuan praktis dan kemanfaatan bagi perkembangan industri, termasuk “industri perang”. Faktor kedua adalah faktor politik, yaitu tuntutan demokratisasi, yang diwujudkan dalam tuntutan untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pendidikan tinggi, yang merupakan kunci untuk memasuki dunia kerja.
Perubahan citra-diri universitas ini tentu saja mempunyai implikasi yang luas. Perubahan itu dapat digambarkan dengan perubahan istilah “universitas” kepada “multiversitas”. Universitas dilihat sebagai service station bagi berbagai segmen masyarakat yang mempunyai berbagai kebutuhan yang terkait dengan perkembangan ekonomi modern, khususnya industrialisasi. Kalau dalam istilah “universitas” (semula berarti “keseluruhan dosen dan mahasiswa”, “ univeristas magistrorum et scholarium”) memuat pengandaian adanya factor pemersatu berbagai cabang ilmu pengetahuan, misalnya filsafat atau humaniora, dalam konsep multiversity ada anggapan bahwa tidak ada factor pemersatu ini. Berbagai unit dalam multiversitas berdiri sendiri dengan menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat.
Perubahan konsep universitas juga didorong oleh gerakan protes mahasiswa pada tahun 1960-an yang menuntut agar universitas menjadi”relevan”. Tes relevansi mereka terapkan sebagai alat utama kritisme dan dekonstruksi terhadap ide dan asumsi yang berlaku. Di Indonesia permasalahan tersebut di atas tercemin dalam berbagai pemikiran, misalnya pemikiran “link and match” yang pada dasarnya ingin membuat pendidikan relevan dengan kebutuhan masyarakat, khususnya perkembangan masyarakat industial.


Perubahan Konsep Pengetahuan

Pengetahuan lebih bersifat “kontemplatif”, yaitu mencari kebenaran demi kebenaran itu sendiri, bukan untuk tujuan-tujuan yang didasarkan kemanfaatan . pengetahuan tidak mengandung arti “kemampuan melakukan sesuatu”. Kemanfaatan atau kegunaan bukanlah pengetahuan, tetapi keterampilan, yang dalam bahasa Yunani “techne”. Manusia menjadi sempurna dengan memiliki pengetahuan, yang merupakan perwujudan dari kebenaran. Baru pada saat revolusi industri, pengetahuan menjadi sumber perbuatan(doing). Pengetahuan ditujukan untuk hal yang bermanfaat, yaitu menjadi sumber penciptaan alat-alat atau teknologi.
Perkembangan berikutnya adalah pengetahuan tidak hanya dikaitkan dengan tindakan, tetapi dikaitkan dengan kajian tentang pekerjaan, analisis pekerjaan dan rekayasa pekerjaan atau untuk memperbaiki pekerjaan. Ini dirintis oleh Frederick Winslow Taylor (1856-1915) dengan menciptakan system “scientific management”. Dengan ini, produktivitas kerja meningkat. Mulai saat itu “pelatihan” menjadi penting. Perkembangan terakhir dalam makna pengetahuan terjadi pada saat pengetahuan diterapkan pada pengetahuan (knowledge is applied to knowledge). “Menyediakan pengetahuan untuk menemukan bagaimana penegtahuan yang ada dapat diterapkan sebaik mungkin untuk memberikan hasil, sebenarnya adalah apa yang kita maksudkan dengan manajemen).
Menjelang akhir abad 20 menurut Drucker, meningkatlah peran dari knowledge worker. Untuk pertama kalinya sejak revolusi industri knowledge worker menguasai satu factor produksi yang penting, yaitu penegtahuan. Perubahan yang terjadi lebih dari suatu perubahan social; “ini adalah suatu perubahan kondisi manusia. Konsep “manusia terdidik” mengalami perubahan juga. “Orang yang terdidik, karena itu harus siap untuk hidup dan bekerja secara serentak dalam dua kebudayaan-kebuadayaan kaum ‘intelektual’, yang berfokus pada kata-kata dan ide, dan kebudayaan ‘manager’ yang berfokus pada masyarakat dan pekerjaan.
Implikasi bagi perguruan tinggi di Indonesia antara lain adalah kebutuhan akan perubahan kurikulum. Kurikulum adalah sarana untuk mencapaiu tujuan pendidikan. Penyusunan kurikulum harus didasari oleh kesadaran akan pengetahuan macam apakah yang dibutuhkan pada abad 21 ini dan kompetensi apakah yang diperlukan. Kurikulum sebagaimana diterapkan secara nasional, seperti yang kita miliki tentulah bukan jawaban. Apalagi, kurikulum itu bertujuan menciptakan keseragaman dalam pendidikan tinggi.

Perkembangan Teknologi Informasi dan Implikasinya bagi Pendidikan

Bagaimanakah implikasi perkembangan teknologi informasi ini bagi pendidikan, khususnya pendidikan tinggi? Pertama, teknologi informasi telah memperluas jaringan belajar, sehingga perguruan tinggi bukan lagi menjadi satu-satunya sumber informasi dan sumber belajar. Oleh karena itu, pendidikan harus mengembangkan minat lebih besar pada mahasiswa untuk mencari sendiri informasi dan mengolahnya. Prinsip self-discovery menjadi penting untuk membangun kreativitas. Kedua, teknologi informasi tidak cukup kalau hanya digunakan sebagai alat baru menggantikan alat lama dalm proses belajar-mengajar. Kegagalan dalam pengguanan teknologi informasi baru ialah menggunakannya di dalam kurikulum lama. Seharusnya kurikulim dirancang secara baru, sehingga teknologi informasi built-in dalam kurikulum; sasaran yang dituju atau kompetensi yang akan dibangun dengan teknologi informasi perlu dirmuskan. Ketiga, pengguanaan teknologi informasi harus menjadi tugas yang memberikan tantangan, tetapi tidak mengancam bagi penggunanya. Orang mengatakan computers don’t humiliate wheb you make a mistake. Teknologi informasi memungkinkan mahasiswa tidak lagi menjadi konsumen pendidikan yang pasif.teknologi informasi memungkinkan mereka mengevaluasi, membentuk dan mempertanyakan sendiri apa yang dipelajari. Keempat, dengan teknologi informasi batas-batas geografis dan jarak menjadi runtuh. Hal ini memungkinkan akses lebih besar, dan lebih cepat. Kelima, teknologi informasi menggeser focus “mengajar” kepada “belajar”.
Perbaikan teknologi informasi memungkinkan kita mengumpulkan, menyimpan dan meneruskan informasi dalam kuantitas yang besar, tetapi tidak memungkinkan kita menafsirkannya. Apa yang kita perbuat dengan segala macam informasi itu? Kita memiliki banyak teknologi informasi apa yang mungkin kita butuhkan sekarang adalah teknologi inteligensi, untuk membantu informasi yang semakin banyak yang disimpan di dalam bentuk statistic, dokumen, pesan-pesan dan lain-lain menjadi berarti bagi kita. Bukankah teknologi komunikasi yang paling canggih yang tersedia bagi kita tetap masih apa yang disebut ‘berbicara satu dengan lainnya’? Oleh karena itu, universitas sebagai ruang fisik akan tetap menarik sejauh kita membuatnya lebih berarti untuk berinteraksi secara pribadi dan bertatap muka dalam belajar dan mencari kebenaran. “Ironis-nya, masa depan kita mungkin terletak di dalam kembali kepada gymnasium pra-universitas Sokrates, sebagai model utama wacana.

Fungsi Integrasi Sosial

Sejak awal sejarahnya universitas merupakan tempat pertemuan berbagai orang yang datang dari berbagai latar belakang. Universitas menjembatani berbagai perbedaan. Tidak hanya terjadi “integrasi” budaya, agama, bahasa, tetapi juga terjadi “integrasi” antar generasi.

Tanggung Jawab Moral Perguruan Tinggi

Kegiatan suatu perguruan tinggi bukan kegiatan netral, tetapi kegiatan yang memuat nilai-nilai moral. World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action, yang dikeluarkan oleh PBB, tanggal 9 Okteber 1998, meningatkan perguruan tinggi agar mempertimbangkan hal-hal berikut:
mempertimbangkan kebutuhan untuk memenuhi pedoman etika dan ketetatan ilmiah dan intelektual serta pendekatan multidisiplin dan transdisiplin;
mengutamakn usaha untuk membangun system akses demi keuntungan semua orang yang memiliki kemampuan dan motivasi;
menggunakan otonominya dan standar akademiknya yang tinggi untuk menyumbangkan pembangunan masyarakat yang berkesinambungan dan untuk memcahkan permasalahan yang dihadapi masyarakat masa depan.univeristas harus menggembangkan kemampuannya untuk memberikan peringatan dini melalui analisis-analisis trend social, budaya, ekonomi, dan politik yang muncul, yang didekatisecara multidisiplin dan transdisiplin. Dalam hal ini perlu diberikan perhatian pada:
1. kualitas yang tinggi, kepekaan permasalahan akan relevansi social dari kajian dan fungsi antisipasi yang mempunyai dasar ilmiah ;
2. pengetahuan mengenai permasalahan social yang mendasar, khususnya yang berkaitan dengan penghapusan kemiskinan, pembangunan yang berkesinambungan, dialog antar budaya dan pengembangan suatu budaya damai;
3. kebutuhan akan hubungan yang efektif dengan organisasi-organsasi penelitian atau lembaga-lembaga yang melaksanakan penelitian dengan baik;
4. pengembangan system pendidikan menyeluruh dalam perspektif sebagaimana direkomendasikan dan sasaran baru pendidikan sebagai mana ditetapkan dalam laporan UNESCO tahun 1996 dari komisi internasional pendidikan untuk abad Duapuluh satu;
5. dasar-dasar etika kemanusian, yang ditetapkan pada setiap profesi dan bidang usaha;



menjamin sedapat mungkin,khususnya di universitas, agar staf dosen berpartisipasi dalam penggajaran, penelitaian, bimbingan mahasiswa dan menggiatkan aktivitas lembaga;
mengambil langkah-langkah untuk memperkuat pelayanannya kepada masyarakat, khususnya aktivitas yang bertujuan menghapus kemiskinan, sikap tidak toleran, kekerasan, buta aksara, kelaparan dan penyakit, melalui pendekatan multidisiplin dan transdisiplin dalam melakukan analisis mengenai tantangan, masalah dan bidang-bidang lain;
menjalin hubungan dengan dunia kerja atas dasar baru yang melibatkan kemitraan dengan pelaku-pelaku social lainnya. Dan seterusnya.


TEORI INTELIGENSI GANDA DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DI SEKOLAH MENENGAH

Sampai sekarang kebanyakan guru sekolah menengah mengajarkan fisika dengan metode ceramah, problem solving, dan kadang-kadang praktikum. Pendekatan yang digunakan adalah lebih matematis –logis, dengan mengajarkan rumus, menekankan hitungan matematis, dan mengerjakan soal secara logis. Pemikiran logis sangat ditekankan sehingga matematika menjadi alat utama untuk mempelajari fisika. Dengan demikian, cukup banyak siswa yang berinteligensi lain, yang tidak kuat dalam matematika dan logika, agak sulit menangkap fisika dan menjadi tidak senang dengan pelajaran fisika.
Dalam artikel ini akan dibahas pendekatan yang lebih luas, yaitu mengajarkan fisika dengan menggunakan teori inteligensi ganda, bukan hanya inteligensi matematik-logis. Diharapkan dengan pendekatan ini, siswa yang mempunyai inteligensi lain tidak dapat mudah menangkap konsep fisika dan juga lebih menyenangi fisika.

Teori Inteligensi Ganda

Teori inteligensi ganda ditemukan dan dikembangkan oleh Howard Gardner, seorang psikolog perkembangan dan profesor pendidikan dari Harvard University, Amerika Serikat. Menurut Gardner(1983;1993), inteligensi adalah kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan situasi yang nyata.
Gardner menggolongkan adanya inteloigensi yang dipunyai manusia yaitu inteligensi linguistic, matematis-logis, ruang, kinestetik-badani, musical, interpersonal, dan intrapersonal. Inteligensi linguistic adalah kemampuan untuk menggunakan kata-kata secara efektif baik secara oral maupun tertulis seperti yang di punyai para pencipta puisi, editor, jurnalis dan pemain sandiwara. Kemampuan ini berkaitan dengan penggunaan dan pengembangan bahasa secara umum. Inteligensi matematis-logis lebih berkaitan dengan penggunaan bilangan dan logika secara efektif seperti di punyai seorang matematikus, seintis, programmer, dan logikus.
Termasuk dalam inteligensi tersebut adalah kepekaan pada pola logika, antraksi, katagorisasi,dan perhitungan.inteligensi ruang adalah kemampuan untuk menangkap dunia ruang-visual secara tepat seperti dipunyai para pemburu, arsitek, dan decorator.termasuk di dalamnya adalah kepekaan terhadap warna, garis, bentuk, dan ruang.inteligensi kinestetik-badani adalah keahlian dalam menggunakan tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan rasa seperti pada actor, atletik,menari, pemahat dan ahli bedah.dalam inteligensi ini termasuk keterampilan korordinasi dan fleksibilitas tubuh. Inteligensi musical adalah kemampuan untuk mengembangkan serta mengekspresikan dan suara.didalamnya kepekaan akan ritme melodi, dan intonasi.inteligensi interpersonal adalah kemampuan untuk menangkap dan membuat pembedaan dalam perasaan, itensi, motivasi, dan perasaan dalam orang lain.kepekan akan ekspresi wajah, suara, gesture juga termasuk dalam iteligensi ini. Inteligensi interpersonal adalah pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptatif berdasarkan pengenalan diri itu.
Menurut Gardner, dalam diri seseorang terdapat ketujuh inteligensi tersebut, hanya untuk orang orang tertentu inteligensi tertentu lebih menonjol daripada inteligensi yang lain. Pengajaran yang berdasarkan inteligensi ganda beranggapan bahwa siswa perlu dibantu dalam proses belajar mengajar dengan metode yang sesuai dengan intelegensi apa yang lebih menonjol dalam diri siswa. Misalnya, bila siswa menoojol dalam inteligensi musik, fisika dijelaskan dengan menggunakan banyak bentuk musik, ritme atau nyanyian. Bila siswa menonjol dalam intelegensi kinestetik-badani, fisika dapat disajikan lebih banyak dengan menggunakan gerakan, dramatisasi, role playing. Sangat jelas bahwa dalam pendekatan ini, keadaan siswa lebih ditekankan daripada keadaan guru.




Mengapa Inteligensi Ganda dapat Digunakan dalam Pembelajaran Fisika

Fisika adalah ilmu yang menyelidiki tentang alam fisis yang mempunyai beberapa unsure seperti ruang, gerak, tubuh (fisik) yang dapat diamati, dan suara/ musik yang dapat didengar. Maka dari sudut bahan, jelas fisika dapat dijelaskan dengan intelegensi yang lebih sesuai yaitu dengan intelegensi ruang, kinestetik-badani, dan musical disamping dengan intelegensi linguistic dan matematis yang telah berkembang. Cukup jelas bahwa baik darisegi bahan yang dipelajari, maupun dari segi cara ilmu itu ditemukan dan dikembangkan, serta dari manusia yang mempelajarinya, fisika cocok untuk dipelajari dengan teori intelegensi ganda.

Bagaimana Mengenal Intelegensi Ganda Siswa

Sebelum mulai merencanakan pengajaran dengan intelegensi ganda, seorang guru perlu melihat dulu seorang siswa siswanya mempunyai intelegensi ganda apa. Armstrong (1994) secara singkat dalam buku Multiple Intelligences in the Classroom menjelaskan beberapa cara untuk meneliti intelegensi siswa, anatara lain melalui: tes, mencoba mengajar dengan intelegensi ganda, observasi siswa dikelas, observasi siswa diluar kelas, dan mengumpulkan dokumen siswa.

Dengan Tes

Sebelum mulai dengan pelajaran fisika, guru dapat membuat tes sederhana kepada siswa untuk menjajagi intelegensi mereka. Tes itu dapat berupa daftar pernyataan yang harus dibaca oleh siswa dan mereka harus memberikan tanda “V” didepan pernyataan yang sesuai dengan sifat, cirri, dan keadaan nyata mereka. Berdasarkan isian siswa, guru mencoba merangkum intelegensi yang menonjol pada siswa mereka. Beberap contoh pernyataan itu dapat dilihat pada daftar berikut ini.

Siswa yang menonjol dalam intelegensi linguistic:
Menulis lebih baik dari rata rata kelas
Mudah cerita dan membuat lelucon
Menyukai membaca buku
Menulis dengan ejaan yang benar dan teliti
Mempunyai kemampuan vocabulary yang baik
Berkomunikasi dengan yang lain dalam kata kata yang teratur

Intelegensi matematis logis:
Menghitung secara cepat
Menyukai kelas matematik
Suka menanyakan tentang bagaimana sesuatu itu bekerja
Menyukai permainan matematik dalam computer
Berpikir lebih abstark dan konseptual dari rata rata kelas



Intelegensi ruang dan visual:
Melaporkan secara jelas gambaran visual
Membaca map, peta, diagram lebih mudah dari pada membaca teks
Menyukai kegiatan seni
Menggambar lebih baik dari rata rata kelas
Suka melihat film, slide, dan presentasi visual yang lain

Intelegensi kinestetik-badani:
Menonjol dalam salah satu bidang sport
Selalu ingin bergerak bila duduk terlalu lama disuatu tempat
Mudah menirukan gerak dan gaya seseorang
Mempunyai cara mengekspresikan diri secara dramatic
Menyukai cara bekerja dengan lumpur untuk membuat bangunan

Intelegensi musical:
Mengingat melodi musik dengan baik
Mempunyai suara musik yang bagus
Memainkan alat musik dan bernyanyi baik
Mempunyai cara ritmik dalam bicara dan bergerak
Peka terhadap suara suara sekitar

Intelegensi interpersonal:
Menyukai sosialisasi dengan teman
Kelihatan dapat menjadi pemimpin yang natural
Mudah empati pada orang lain
Mempunyai 2 atau 3 teman dekat
Menyukai mengajar orang lain secara informal
Termasuk dalam kelompok dan organisasi

Intelegensi intrapersonal:
Mempunyai kemauan yang kuat dan kepercayaan diri
Mempunyai daya refleksi yang tinggi
Mempunyai self esteem yang tinggi
Dapat belajar dari kesuksesan dan kegagalannya
Mempunyai kepekaan akan arah dirinya
Lebih cendrung bekerja sendiri

Mencoba Mengajar dengan Intelegensi Ganda

Guru dapat langsung mengajar suatu bahan dengan intelegensi ganda kepada siswa dikelas. Selama mengajar, dia mengamati bagaimana reaksi siswa terhadap metode intelegensi ganda tersebut. Metode mana yang lebih disukai siswa dan mana cara yang tidak disukai dan dianggap menjemukan oleh siswa.


Observasi Apa yang Dilakukan Siswa di Luar Kelas

Guru dapat mengobservasi siswa pada waktu sela, dimana siswa bebas untuk berbuat sesuatu. Apa yang mereka buat? Dalam waktu sela, biasanya siswa lebih bebas mengungkapkan kemampuan dan ketidakmampuannya.

Observasi Apa yang Dilakukan Siswa di Kelas

Guru dapat mengamati siswa selama dikelas, apa yang mereka buat dalam belajar dan mengerjakan tugas belajar dikelas, apa yang mereka sukai dan tidak sukai dalam mendalami pelajaran fisika yang sedang dihadapi, apa yang mereka ungkapakkan dalam menjawab dan menanggapi uraian guru.

Kumpulkan Dokumen Siswa

Dokumen itu dapat berupa gambar hasil kerja siswa, hasil permainan computer, hasil tulisan mereka, hasil kliping mereka, maupun hasil seni gambar mereka. Tentu saja dokumen yang paling penting adalah rapor nilai siswa.

Powered By Blogger

Apakah artikel saya memuaskan?