1. Menyeret Diniyah ke Pusaran Birokrasi Pendidikan
Oleh Nur Hidayat *
Sejarah pendidikan pesantren segera memasuki babak baru pascaterbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Mampukah peraturan yang disahkan bertepatan dengan Hari ABRI (5 Oktober 2007) itu menjadi instrumen pengembangan dan akomodasi pesantren dalam kebijakan pemerintah? Atau sebaliknya, justru jadi alat homogenisasi pemerintah terhadap pesantren?
Peluang
Di satu sisi, terbitnya UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan peluang emas bagi pengembangan pesantren. Pasalnya, UU tersebut menghapus diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan yang berlangsung selama ini. Konkretnya, pendidikan diniyah dan pesantren diakui sebagai bentuk pendidikan keagamaan (pasal 30 ayat 4).
Dengan demikian, beberapa kalangan meyakini nasib lembaga pendidikan yang genuine dan tertua di
Pada saat yang sama, dengan persyaratan tertentu, alumni pendidikan diniyah dan pesantren akan mendapat perlakuan dan pengakuan yang sama dengan alumni pendidikan umum. Artinya, kesinambungan pendidikan dan kiprah kemasyarakatan alumni pesantren tidak akan terhalang hanya karena yang bersangkutan tidak pernah mengenyam pendidikan umum atau memiliki ijazah "pendidikan formal".
Konsekuensinya, kedua institusi pendidikan keagamaan ini akan terikat dengan berbagai regulasi teknis dan ketentuan administratif. Dan, inilah harga yang harus dibayar kalangan pesantren untuk mendapatkan kesetaraan perlakuan dan pengakuan tersebut.
Pertanyaannya, wajarkah harga tersebut bila dibandingkan dengan "fasilitas" yang akan diperoleh? Jawaban atas pertanyaan ini akan dapat ditemukan dengan mencermati beberapa ketentuan yang termaktub dalam PP 55/2007.
Dilema
Terlepas dari berbagai "janji surga" yang disampaikan pemerintah, peraturan ini menyimpan sedikitnya tiga ranjau yang menjadi dilema dan mengancam eksistensi, karakter, dan kekhasan pesantren dalam jangka panjang.
Pertama, pesantren sejak awal harus mewaspadai kecenderungan timpangnya eksekusi kewenangan pemerintah dibanding pemenuhan kewajiban dan tanggung jawabnya. Kasus reduksi pemenuhan kewajiban pemerintah atas pembiayaan pendidikan dasar yang di-"make up" dengan istilah "bantuan" dalam program bantuan operasional sekolah (BOS) adalah indikasi nyata kuatnya kecenderungan itu. Contoh aktual ialah implementasi UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang carut marut belakangan ini.
Kedua, terkait kecenderungan itu, perlu juga diwaspadai adanya upaya homogenisasi-hegemonik dan birokratisasi pesantren dan pendidikan diniyah melalui instrumen evaluasi dan akreditasi.
Sebagaimana diatur dalam pasal 12 PP No 55/2007, pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP) setelah memperoleh pertimbangan dari menteri agama. Sementara itu, pelaksanaan ujian nasional ditetapkan dengan Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman pada SNP (pasal 19).
Sekilas, tidak ada yang janggal dalam ketentuan ini. Tetapi, jika kita cermati ruang lingkup SNP dalam PP No 19/2005, kejanggalan itu akan tampak. Pasalnya, SNP meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan (pasal 2 ayat 1).
Artinya, untuk implementasi peraturan ini, pemerintah perlu membentuk lembaga sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan atau lembaga penjaminan mutu. Dalam sebuah diskusi, saya secara berkelakar menyampaikan jika Departemen Pendidikan Nasional mengatur lembaga sertifikasi guru, Departemen Agama dalam waktu dekat akan mengatur lembaga sertifikasi kiai.
Ketiga, intervensi kurikulum. Kurikulum pendidikan diniyah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam untuk diniyah dasar serta ditambah pendidikan seni dan budaya untuk diniyah menengah (pasal 18).
Dibanding draf awal rancangan PP ini yang disusun pada 2003, ketentuan di atas jauh lebih longgar. Sebelumnya, ketentuan kurikulum pendidikan diniyah mencantumkan lebih dari 10 mata pelajaran yang wajib diajarkan. Meski demikian, tidak ada jaminan jumlah mata pelajaran tersebut tidak akan ditambah seiring dengan implementasinya di kemudian hari.
Pasalnya, meski dihapus dari PP, pengaturan isi kurikulum pendidikan keagamaan justru dialihkan pada Peraturan Menteri Agama dengan merujuk SNP. Jika demikian halnya, nasib diniyah dapat dipastikan segera menyusul nasib madrasah (ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah) yang awalnya hanya diwajibkan memiliki muatan pendidikan umum sekitar 30 persen.
Di atas itu semua, berbagai prosedur teknis-administratif yang disyaratkan dalam peraturan ini akan menyeret pendidikan diniyah dan pesantren ke dalam pusaran birokratisasi yang melelahkan. Dalam kondisi begitu, peran pesantren -dengan lembaga pendidikan diniyah di dalamnya- akan tereduksi sebagai lembaga pendidikan semata.
Padahal, dalam sejarah panjangnya, peran pesantren telah melingkupi enam ranah penting sekaligus. Yaitu, sebagai lembaga pendidikan, lembaga keilmuan, lembaga pelatihan, lembaga pemberdayaan masyarakat, lembaga bimbingan keagamaan, dan simpul budaya (Dian Nafi’ et al, 2007).
* Nur Hidayat, analis kebijakan pendidikan, peneliti pada The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP).
Sumber: Jawa Pos dotcom
2. Soal PP Nomor 55 Tahun 2007, Pemerintah Kurang Perhatikan Sekolah Swasta Agama dan Keagamaan (20 Nov 2007).
(Harian Komentar). Pemerhati masalah pendidikan yang juga Ketua Yayasan Pendidikan Katolik, Pst Fred Tawaluyan PR, Senin (19/11) meminta pada pemerintah sekiranya lebih memperhatikan sekolah berlatar belakang keagamaan. Hal tersebut ditegaskan Tawaluyan menanggapi Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. “Hal ini sudah dibicarakan tahun lalu, namun ormas Kristen sebenarnya menolak beberadaan PP tersebut, karena pemerintah turut mengatur atau ikut campur tangan,” katanya.
Menurut dia, pendidikan keagamaan adalah pendidikan dari keluarga dan orang tua pribadi dan lebih kental hak asasi manusia. “Jadi sudah sepantasnya pemerintah tidak ikut campur, namun karena sudah ada PPnya, maka sangat diharapkan pemerintah juga memperhatikan sekolah-sekolah swasta yang sudah lama berkecimpung di bidang agama dan keagamaan,” tandasnya.
Menurut Tawaluyan, pemerintah sekiranya dalam memperhatikan masalah pendidikan agama dan keagamaan sekiranya tidak pilih kasih dan mengenyampingkan LPK swasta. Perlu diketahui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan yang belum lama ini ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Terwujudnya PP Nomor 55 Tahun 2007 ini merupakan tuntutan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa pendidikan agama dan keagamaan perlu diatur dengan peraturan pemerintah.
Pemerintah harus mengimplementasikannya sehingga memberi pencerahan bagi lembaga pendidikan keagamaan khusus-nya yang dikelola swasta. Seperti tercantum pada Pasal 12 PP, pemerintah atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan. Juga pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
Pada penjelasan Pasal 12, menyebutkan pemberian bantuan sumber daya pendidikan meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dana, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya.
Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada seluruh pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Dan bantuan dana pendidikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendidikan lain sesuai peraturan perundang-undangan.(lex)
Sumber: http://www.hariankomentar.com/lkMim001.html
3. Pengakuan kembali madrasah sebagai sekolah agama berwawasan umum
Oleh webmaster, 2008-03-28
Oleh: Husni Rahim
Setelah persoalan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas selesai secara sistem, maka masih ada persoalan dengan madrasah sebagai sekolah agama yang memberikan porsi utama pengajaran agama ditambah pengetahuan umum sebagai ciri ke Indonesiaan dan kemodernan belum mendapat tempat dalam sistem pendidikan nasional versi UU No. 2 Tahun 1989. "( Hal ini tampak dari data siswa yng ikut ebtan 1994/1995 ternyata murid terbanyak berada di jurusan umum (52,11%) yang mencakup IPS, IPA,dan Budaya. Sedangkan jurusan ilmu agama hanya (47,89%)."
Hal ini masih mengundang perasaan yang ”kurang puas” di kalangan umat, karena masih ada perasaan pemerintah memojokkan madrasah yang berfokus pada pengajaran agama dan dengan tambahan pelajaran umum. Juga masih terdengar pendapat yang menyatakan bahwa madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam itu sebagai upaya ”mendangkalkan agama” bagi umat Islam
Perjuangan untuk memasukkan madrasah sebagai sekolah agama (fokus utama pengajaran agama) dalam sistem pendidikan nasional baru berhasil setelah diundangkannya UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 . Dalam undang-undang ini diakui kehadiran Pendidikan Keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan disamping pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi dan khusus (pasal 15). Dalam pendidikan keagamaan ini tidak termasuk lagi madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. MI, MTs, MA dan MA Kejuruan sudah dimasukkan dalam jenis pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Pendidikan keagamaan ini diatur dalam bagian tersendiri (bagian kesembilan) pasal 30 .
"(yang mengatur:
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama;
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal;
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabbaja samanera dan bentuk lain yang sejenis;
(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. )"
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 telah memberi peluang yang sama kepada madrasah dan pesantren yang bukan sekolah umum berciri khas Islam untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak didiskrimanasi di mata negara. Secara formal madrasah sebagai sekolah agama dan pendidikan keagamaan lainnya sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional seperti tampak dalam Bagan berikut ini
Bagan ini menampakkan bahwa sekolah islam, Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan pendidikan keagamaan lainnya sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu mobilitas diantara lembaga pendidikan tersebut terbuka baik mobilitas vertikal, horizontal dan diagonal.
Undang-undang sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini telah membuka peluang kembalinya kebhinekaan lembaga pendidikan islam yang diakui menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Dengan demikian tidak diperlukan lagi aktifitas ujian ekstranei, ujian persamaan dan sejenisnya bagi madrasah yang bukan sekolah umum untuk mengikuti kurkulum sekolah. Madrasah sebagai sekolah agama dan berbagai jenis pendidikan keagamaan lainnya perlu menata diri untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikannya secara tersendiri namun sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
Ke depan dengan telah diundangkannya Sistem Pendidikan Nasional 2003, maka madrasah sudah bisa memilah diri menjadi tiga pola yaitu:
a. Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam, seperti yang selama ini. Madrasah jenis ini harus berani menterjemahkan kurikulumnya tetap 100% walaupun umum sama dengan sekolah dan khusus sama dengan madrasah. Ini berarti pel;ajaran umum tidak semua harus diajarkan tatap muka , demikian juga pelajaran agama. Yang diajarkan hanya yang esensial (Mata pelajaran utama sekolah umum itu). Demikian juga dengan pelajaran agama, tidak semua diajarkan tatap muka. Dengan demikian anak didik dapat lebih berkonsentrasi kepada pelajaran umum sesuai dengan kompetensi yang diharapkan, namun mereka tetap dididik dan dilatih untuk menjadi seorang muslim yang baik. Dengan cara ini akan tampak madrasah sebagai sekolah umum yang berani bersaing kualitas dengan sekolah umum lainnya, namun mereka adalah muslim-muslim yang baik (taat menjalankan agamanya) Dengan demikian madrasah akan dikenal sebagai lembaga pendidikan Indonesia yang menghasilkan lulusan yang mengusai pengetahuan umum dengan bagus, tetapi juga sebagai muslim yang baik.
b. Madrasah sebagai sekolah agama, di mana focus utama adalah pelajaran agama. Pelajaran umum hanya sebagai penunjang saja. Di sini murid madrasah disiapkan untuk penguasaan agama dengan baik tetapi juga mendapat tambahan masalah keindonesiaan dan kemodernan. Ini penting agar lulusan madrasah sebagai sekolah agama yang hidup dan tumbuh di bumi
c. Madrasah sebagai sekolah kejuruan, dimana fokus pelajaran pada ketrampilan hidup (life skill) namun siswa dildidik dan dilatih untuk menjadi seorang muslim yang baik. Untuk itu perlu ditata kurikulum yang cocok untuk menghasilkan anak didik dengan kompetensi yang demikian itu. Sudah waktunya Departemen Agama segera memiisahkan Madrasah aliyah program Ketrampilan menjadi Madrasah Aliyah Kejuruan yang berdiri sendiri terpisah dari Madrasah Aliyah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sebagai tindak lanjut dari UU No.20 Th 2003..
Untuk lebih jelasnya posisi madrasah setelah diterapkan UU No. 20 Tahun 2003 dapat dilihat pada bagan berikut ini
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 ini, telah memberi tempat yang layak bagi madrasah sebagai sekolah agama dan berbagai pendidikan keagamaan lainnya sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu sudah sepatutnya kesempatan penghargaan ini digunakan dengan sebaik-baiknya bagi lembaga pendidikan keagamaan untuk menata diri sesuai dengan ketentuan perundangan ini. Artinya segera menata pendidikan keagamaan yang mana masuk pendidikan formal, mana yang nonformal dan mana yang informal. Demikian juga mana yang berjenjang dari pendidikan dasar sampai ke pendidikan tinggi, yang mana yang tidak perlu berjenjang. Dan yang lebih mendesak lagi segera memisahkan MA Program Keagamaan dan MA Program Ketrampilan menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan dan Madrasah Aliyah Kejuruan yang berdiri sendiri, terpisah dari Madrasah Aliyah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. Inilah tugas berat Departemen Agama ke depan.
4. Pendidikan Keagamaan
Politik Pendidikan Penebus DosaNasib pendidikan keagamaan sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran. Negara lebih memanjakan pembiayaan sekolah umum dan mengabaikan sekolah agama. Belanja negara dialokasikan secara tidak berimbang antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Sialnya, sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan berstatus swasta.
Lengkap sudah nestapa pendidikan berbasis agama yang berlangsung sejak dahulu kala. "Sekarang negara harus menebus dosa dengan menunjukkan pemihakan pada pemberdayaan pendidikan keagamaan," kata Menteri Agama, Maftuh Basyuni. Sebab para pendidik dan anak didik di lingkungan pendidikan keagamaan juga warga negara yang sama dengan anak didik dan pendidik pada umumnya. "Mereka sama-sama mendedikasikan diri untuk pendidikan anak bangsa," Maftuh menambahkan.
Awal tahun anggaran ini menjadi momentum penting untuk menguji apakah politik anggaran negara sudah menunjukkan aksi nyata "penebusan dosa". Perangkat regulasi sebenarnya sudah kian lengkap. Pada penghujung 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Beleid itu mengukuhkan kebijakan pendidikan dalam Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55/2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta.
Pendidikan keagamaan merupakan wujud orisinal pendidikan berbasis masyarakat di Nusantara. Mereka tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat. Di lingkungan Islam terdapat pesantren, madrasah, dan diniyah. Di Katolik ada seminari.
Di Hindu ada pasraman dan pesantian. Buddha mengenal pabbajja. Konghucu menyebut shuyuan, dan sebagainya. Tumbuhnya pendidikan keagamaan dalam masyarakat sebagian justru akibat kebijakan negara yang buruk dalam mengelola pendidikan agama.
Pendidikan agama kerap berjasa menampung anak didik yang kurang mampu, sehingga tidak terwadahi di sekolah umum dan negeri. Banyak di antara lulusannya yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah nasional. Jumlah mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.
Di lingkungan pendidikan Islam saja, menurut data Departemen Agama (Depag) tahun 2006, ada 2,67 juta anak didik yang menempuh pendidikan di 14.700 pondok pesantren. Hampir sama dengan jumlah mahasiwa di 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebanyak 2,69 juta orang.
Yang bersekolah di 27.000 sekolah diniyah ada 3,4 juta orang. Setara dengan siswa pada 9.000-an SMA negeri dan swasta se-Indonesia, yang juga berjumlah 3,4 juta.
Peserta pendidikan dasar sembilan tahun di lingkungan madrasah dan diniyah mencapai 6,1 juta murid. Seperenam dari total peserta pendidikan dasar sembilan tahun ada di lingkungan Depdiknas, yang mencapai 36 juta murid.
Sebagian terbesar (lebih 80%) jenjang pendidikan agama di lingkungan Islam, mulai level taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi, adalah swasta. Bahkan, menurut data Depag tahun 2005, sekitar 17.000 raudhatul athfal (TK), 14.700-an pesantren, dan 27.600-an diniyah adalah swasta.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), 90% SD hingga SMA adalah sekolah Katolik dan berstatus swasta. Dari seluruh pendidikan Katolik itu, 60% sehat, 30% sedang, dan 20% hampir sekarat. Sekolah Katolik yang sehat ada di Flores, sedangkan yang sulit berkembang terdapat di
"Pada masa Orde Baru, di sini pun sekolah Katolik swasta jadi anak tiri," kata Ludo Taolin, Wakil Ketua DPRD Belu, NTT. "Padahal, sekolah Katolik banyak berperan mendidik kalangan menengah ke bawah," katanya. Baru setelah reformasi, menurut Ludo, insentif guru untuk sekolah negeri dan swasta sama. Pemerintah daerah mulai membantu dengan menempatkan guru negeri di sekolah Katolik swasta.
Wajah politik anggaran pemerintah pusat dalam bidang pendidikan berbasis agama dapat dilihat dari anggaran Depag. Tahun 2008 ini, ada peningkatan persentase alokasi untuk "fungsi pendidikan" ketimbang tahun 2007.
Pada 2007, dari total anggaran Depag Rp 14,5 trilyun, alokasi terbesarnya (49,5%) adalah untuk "fungsi pelayanan umum" (Rp 7,2 trilyun). Porsi anggaran pendidikan di Depag pada waktu itu hanya menduduki pos kedua, senilai Rp 6,6 trilyun (46%).
Tahun 2008 ini, di satu sisi, anggaran Depag meningkat 20,9%, menjadi Rp 17,6 trilyun. Di sisi lain, alokasi terbesar bergeser dari fungsi pelayanan umum ke fungsi pendidikan. Gelontoran dana pendidikan meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu, menjadi Rp 14,3 trilyun (81,4%) --macam-macam alokasinya lebih rinci, lihat tabel.
Tidak hanya di tingkat pusat. Wajah lebih ramah pada pendidikan agama juga ditampilkan sejumlah pemerintah daerah. Namun kebijakan anggaran APBD provinsi dan kabupaten/kota sempat tersandung Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh. Ma'ruf, Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2005.
Hal itu, misalnya, dilakukan Kabupaten Aceh Barat. Dana kesejahteraan guru hanya diberikan kepada guru di lingkungan Depdiknas, tidak diberikan pada guru agama di madrasah yang berafiliasi ke Depag. Akibatnya, seluruh guru madrasah se-Aceh Barat sempat melakukan aksi mogok mengajar pada Agustus 2006.
Hingga 2005, sejumlah gedung madrasah di Kabuaten Tangerang, Banten, rusak berat dan tidak segera direhabilitasi. Menurut anggota DPRD Tangerang, Imron Rosadi, kepada koran lokal, itu terjadi karena APBD Kabupaten Tangerang tidak mengalokasikan bantuan. Baru pada 2007 anggaran perbaikan dan pembangunan gedung disediakan APBD.
Efek
Banyak kepala daerah dikabarkan gelisah. Di satu sisi, tak mau salah dalam mengalokasikan anggaran. Di sisi lain, tak ingin berkonfrontasi dengan para elite agama. Pada musim pemilihan kepala daerah secara langsung sekarang ini, hal itu bisa berdampak buruk pada popularitas para tokoh politik lokal. Berbagai proses politik, lobi, dan manuver di balik layar pun ditempuh untuk menyetop berlakunya
Tapi masih ada beberapa pimpinan daerah yang tidak memedulikan "larangan"
Menurut Arifin Salam, anggota DPRD dan Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Banyuwangi, APBD setempat tetap mengalokasikan bantuan pada seluruh siswa pendidikan swasta Rp 20.000 per bulan secara adil. "Sekolah umum dan madrasah punya hak yang sama," katanya.
Sekolah negeri tidak memperoleh bantuan karena sudah mendapat anggaran operasional dari negara. Tahun 2008, anggaran pendidikan di APBD Banyuwangi mencapai 23%. Bujet buat pendidikan keagamaan semacam pesantren dan semua lembaga pendidikan agama di luar Islam meningkat pesat.
Bila tahun 2005 hanya Rp 3 milyar, tahun 2008 ini mencapai Rp 18 milyar. Sampai-sampai, anggaran dinas lain, seperti peternakan, dikurangi. "Komitmen kami pada pendidikan agama sangat kuat," ujar Arifin.
Di Langkat, Sumatera Utara, bantuan APBD juga tetap lancar, tak terganggu oleh polemik
Bagi Hidayatullah, anggota Komisi C DPRD Sumatera Utara, kalaupun
Sebagian daerah lain meresponsnya dengan membentuk peraturan daerah (perda) tentang madrasah diniyah. Misalnya Banjar, Indramayu,
Daeng M. Nazier juga membuat klarifikasi lewat keterangan pers. "Akhir-akhir ini berkembang penafsiran yang salah terhadap isi surat edaran Menteri Dalam Negeri," katanya. "Seolah-olah Menteri Dalam Negeri melarang/tidak memperbolehkan dana APBD digunakan untuk mendanai program/kegiatan sekolah-sekolah berbasis keagamaan."
Nazier menyinggung adanya daerah yang menyetop pendanaan dari APBD untuk kegiatan madrasah ibtidaiyah, tsanawiah, dan aliyah, dengan alasan urusan agama tidak diserahkan kepada Daerah. Padahal, konteksnya berbeda. "Yang tidak menjadi urusan daerah adalah urusan keagamaan, sedangkan urusan pendidikan sudah menjadi urusan wajib pemerintahan daerah."
Ditegaskan pula, "Seharusnya pemerintah daerah tetap memberikan alokasi dana APBD yang seimbang kepada sekolah-sekolah negeri dan sekolah-sekolah yang berbasis keagamaan." Sehingga tidak menimbulkan keresahan dan menjaga keberlangsungan proses belajar-mengajar di tiap-tiap daerah.
Maka, pada Juni 2007, Mendagri ad interim
Empat bulan kemudian, Oktober 2007, lahir PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan tadi. "Dasar hukum dukungan APBD pada pendidikan keagamaan, seperti pesantren dan diniyah, sebenarnya sudah sangat kuat," kata Amin Haedari, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag.
Namun Amin mengaku masih saja ada daerah yang bertanya, minta kepastian, tentang boleh tidaknya APBD membiayai sekolah agama. "Baru-baru ini, ada DPRD dari Bangka Belitung yang juga bertanya," kata birokrat yang banyak membuat terobosan pemberdayaan pesantren itu. Pasca-keluarnya PP itu, semestinya politik anggaran untuk pendidikan keagamaan lebih mulus berjalan.
Tapi mantan Wakil Ketua Komisi Pendidikan DPR, Masduki Baidlowi, menilai diskriminasi anggaran daerah sampai saat ini masih berlangsung. Diskriminasi itu bukan hanya dalam bentuk tidak dialokasikannya anggaran sama sekali.
Masduki menyebut kasus tunjangan guru di DKI
Seretnya alokasi anggaran buat pendidikan keagamaan di tingkat dearah mendorong perencana anggaran tingkat pusat lebih meningkatkan pasokan anggaran. Gelontoran anggaran yang paling besar sejak akhir 2007 adalah diberikannya tunjangan untuk 501.000 guru non-PNS yang mengajar di semua jenjang sekolah agama Islam. Mulai tingkat RA sampai aliyah. Tiap bulan, per orang memperoleh Rp 200.000. Total dalam setahun Rp 1,2 trilyun.
"Ini sudah menjadi tunjangan tetap tiap tahun," ujar Achmad Djunaidi, Kepala Biro Perencanaan Depag. "Karena banyak guru swasta di madrasah yang sudah mengajar belasan tahun tapi dengan imbalan di bawah Rp 100.000 sebulan." Tidak mudah, katanya, mengupayakan golnya alokasi tunjangan ini.
Namun, seberat-beratnya memperjuangkan anggaran, menurut Djunaidi, ada hal lanjutan yang jauh lebih penting dan berat. "Yaitu memastikan bantuan pendidikan itu tepat sasaran," katanya. "Semua orang tahu, birokrasi kita masih korup." Alokasi dana buat murid dan guru harus betul sampai di tangan mereka. "Jangan sampai mengendap di kantong ketua yayasan atau kepala sekolah," ujarnya.
5. Tingkatkan Kualitas Pendidikan, Tantangan Depag Oleh admin
Senin, 05 Januari 2009 13:36:51 |
Kota Bima, Nusatenggaranews.com.-
Apa tantangan Departemen Agama (Depag) saat usia lembaga ini 63 tahun? Ke depan, tantangan yang menghadang adalah meningkatkan kualitas pendidikan agama dan keagamaan. Sebagai tindaklanjut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), secara khusus pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Hal itu dikatakan Menteri Agama, Muhammad M Basyuni, saat upacara peringatan Hari Amal Bakti ke-63 Depag di lapangan Merdeka, Jumat (3/1), yang dibacakan Wakil Wali Kota Bima, HM Qurais.
Peraturan itu berfungsi sebagai payung hukum terhadap penyelenggaraan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. “Untuk itu, kita harus menyiapkan berbagai peraturan operasional yang bersifat teknis untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut,” katanya.
Dikatakannya, meski dari segi payung hukum sudah memadai, namun usaha peningkatan mutu pendidikan agama belum optimal. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam saat ini membina hampir 18.759 Rhaudatul, 40.258 Madrasah, 539 Perguruan Tinggi Agama, dan 17.606 pondok pesantren.
Jumlah tersebut, ujarnya, belum termasuk lembaga pendidikan agama dan keagamaan nonformal. Lembaga-lembaga pendidikan keagamaan stelah memberi kontribusi lebih dari 20 persen dari total peserta didik di Indonesia.
Dikatakannya, permasalahan pokok lembaga pendidikan agama dan keagamaan adalah rendahnya mutu tenaga pengajar, keterbatasan sarana dan prasarana, lemahnya manajemen, keterbatasan dana operasional dan dana pengembangan. Pemerintah terus berupaya meningkatkan anggaran pendidikan di Depag setiap tahun.
Pada tahun 2005, anggaran pendidikan Depag diluar gaji sebesar Rp3,2 triliun. Pada tahun 2009 ini direncanakan menjadi Rp14,8 triliun. Namun, masih dianggapnya jumlah itu jauh dari ideal. “Dengan anggaran terbatas itu, kita harus menyusun program prioritas dan kegiatan secara signifikan untuk peningkatan mutu pendidikan,” ujarnya.
Untuk mendukung berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan agama dan keagamaan, Depag telah mencanangkan tiga pilar kebijakan. Yakni mengejar ketertinggalan mutu pendidikan, meningkatkan perhatian dan keberpihakan terhadap pelayanan pendidikan bagi komunitas yang kurang mampu, serta perlakuan yang sama terhadap lembaga pendidikan negeri dan swasta.
Upaya yang telah dilakukan Depag, katanya, meningkatkan profesionalisme guru, dosen, dan tenaga pendidikan lainnya. Rehabilitasi sarana dan prasarana lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah. Perluasan akses pendidikan, peningkatan kualitas sarana pembelajaran, pengembangan madrasah bertaraf internasional. Disamping itu, pengembangan mutu pendidikan tinggi agama, penyediaan beasiswa bagi siswa, mahasiswa, guru, dan dosen.
Usai upacara, Kepala Depag Kota Bima, Drs H Mansyur Ahmad, menyerahkan hadiah pada sejumlah madrasah yang telah memenangkan lomba memeriahkan Hari Amal Bakti Depag tingkat Kota Bima. Tampil sebagai juara umum adalah MAN 2 Kota Bima.
6. Pentingnya Pendidikan Keagamaan di Sekolah
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa tujuan pendidikan di sekolah adalah mewujudkan UU yang dituangkan pada GBHN. Realisasi yang sering kita lihat adalah bhwa pendidikan keagamaan tidak diikutkan pada UAN (Ujian Akhir Nasional). Ini jelas bisa dilihat tujuan bangsa
Seperti kita lihat pelajaran keagamaan di setiap sekolah yang dikatakan "umum" itu hanya diselipkan pada waktu yang hanya sdikit sekali, padahal jika pendidikan agama di UAN-kan maka bisa dipastikan waktu pembimbingan akan ditambah dan ini layak bagi pelajaran keagamaan.
Tujuan bangsa
*> Makna (Q.S al jaljalah : 6-8).
"Faman ya'mal mitskoola dzarrotin khoeron yarrohu. Wa man ya'mal mistkoola dzarrotin syarron yarohu."
Banyak persepsi menyatakan bahwa ayat ini tertuju pada setiap amal yang dilakukan, dan balasannya hanya bisa dirasakan di akhirat saja. Padahal tidak demikian makna dari ayat di atas. Bisa diartikan pada setiap usaha kita, sebagai bahasannya: "Ketika kita bekerja / dalam arti berusaha sedikit yang kita lakukan maka akan mendapat hasil yang sedikit pula."
Sebagai contoh si Anu bekerja sebentar sebagai kuli pasar, maka hasil yang didapat akan sedikit pula, inilah yang dimaksud lain pada ayat di atas.
Kesimpulan dari makna ayat di atas dapat dibuktikan di dunia, bukan di akhirat saja. Tapi lebih jelasnya dunia dan akhirat. Sekecil jarah yang dilakukan / berusaha kita maka sekecil jarah pula yang didapat.
Penulis: Dadan Permana
7. Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius
Tidak semua elemen masyarakat bergerak ke arah yang sama
YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia,
Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media
Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak.
Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di
Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media
Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa
Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag.
BPIH 1429 H
Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan.
''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi.
Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap.
Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram.
(osa )
Sumber: Republika Online
0 komentar:
Posting Komentar