1. Biaya Mahal Pendidikan Tinggi
Sumber: Harian Republika
Prof Dr Ir Djoko Santoso MSc.
Rektor ITB dan Ketua Forum Rektor
Masalah biaya pendidikan masih terus menjadi sorotan. Sebagai contoh, tentang komersialisasi dan liberalisasi. Patut kita pahami bersama bahwa kalau kita melihat biaya pendidikan tinggi, ternyata memang tidaklah sederhana. Biaya universitas pasti tinggi karena sebagai learning center yang science center, dana yang dibutuhkan untuk satu universitas sangat besar.
Mengapa hal ini terjadi? Karena yang dikelola oleh satu universitas sangat kompleks, yaitu ilmu pengetahuan, dosen/pakar, sumberdaya manusia pendukung, mahasiswa, sarana prasarana akademik maupun pendukung, program akademik, dan informasi akademik. Sesudah melalui proses yang mahal universitas yang harus dihasilkan oleh suatu perguruan tinggi ialah sumberdaya manusia profesional/pakar dan ilmu pengetahuan baru.
Di samping hasil dari perguruan tinggi yang berupa ilmu pengetahuan, dihasilkan pula sumberdaya manusia yang memiliki potensi untuk mendayagunakan negara. Oleh karena itu, sedemikian vitalnya kepentingan perguruan tinggi. Dalam prosesnya perguruan tinggi menjadi tempat terakhir untuk restrukturisasi, rekonstruksi, reparasi, maupun tindakan lain. Dalam arti untuk membuat agar pengalaman proses pendidikan yang sebelumnya telah dialami menjadi lebih benar.
Semua yang dikelola oleh perguruan tinggi harus ditingkatkan terus kualitasnya dari tahun ke tahun agar mampu bersaing terhadap kemajuan zaman ini. Tentu saja akan menyerap dana yang sangat besar. Sebagai contoh, untuk mengelola kemampuan dosen sebagai pakar harus ditingkatkan secara berkelanjutan agar sesuai dengan zamannya dan memiliki standar (sebaiknya global).
Cara untuk meningkatkan kemampuannya melalui berbagai program, seperti pendidikan lanjut, pelatihan, lokakarya, dan seminar sebagai modal pengembangan jejaring di satu sisi dan tukar-menukar informasi hasil riset. Pengelolaan dosen saja tentu sudah menyerap dana yang tinggi.
Patut kita catat bahwa kalau dosen tidak dikelola dengan baik maka ilmu pengetahuan yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk mahasiswa kualitasnya tidak memadai. Contoh lain ialah kegiatan riset yang langsung terkait dengan kegiatan dosen dan pada tingkat pascasarjana melibatkan mahasiswa akan menyerap dana besar, bahkan tiada ujung akhirnya.
Peningkatan kemampuan dosen merupakan modal besar bagi peningkatan daya saing perguruan tinggi. Pengelolaan mahasiswa secara proporsional sesuai dengan keahlian yang diinginkannya juga bukan barang murah karena sarana pembelajaran harus selalu disesuaikan. Proses pendidikan di pendidikan tinggi mengacu kepada kegiatan Tri Dharma.
Kegiatan pendidikan harus diperbarui dari waktu ke waktu sesuai dengan kemajuan zaman yang tentunya harus didukung oleh kegiatan riset termasuk pengabdian kepada masyarakat. Untuk memperbaharui seluruh proses kegiatan dibutuhkan biaya yang tidak murah. Ketersediaan dana sangat penting bagi pengelolaan universitas. Karena itu, sumber dana untuk penyelenggaraannya harus jelas.
Secara garis besar dana untuk mengoperasikan universitas dapat berasal dari pemerintah dan dana masyarakat. Dana pemerintah dapat dibagi dalam dana rutin dan dana kompetitif, sementara dana masyarakat dapat dibagi menjadi dana dari uang sekolah (dan yang terkait) serta dana riset dan pengembangan (kerja sama) yang sifatnya kompetitif dan berbagai sumbangan berbagai pihak.
Dana masyarakat selain uang sekolah yang berasal dari mahasiswa, dana masyarakat lainnya diusahakan oleh universitas. Setiap universitas harus memolakan pendapatan dananya untuk kegiatannya sesuai dengan renstra maupun rencana kerja dan anggaran tahunan masing-masing. Keuangan akan sangat menentukan mutu universitas, akuntabilitas akademik, dan keuangan menjadi keharusan untuk dijalankan.
Atasi biaya tinggi
Sebagaimana telah disebutkan, dana untuk mengoperasikan universitas dapat berasal dari pemerintah dan masyarakat. Masalahnya, bagaimanakah proporsi yang baik?
Jika kita mengkaji berbagai universitas di dunia tidak ada proporsi yang
Bagaimanakah untuk
Di negara maju mereka menyebutnya sebagai government grant atau government appropriation. Dana yang berasal dari pemerintah untuk universitas yang didirikan oleh pemerintah ada yang mendekati 100 persen. Tetapi, dengan adanya sistem badan hukum milik negara untuk universitas proporsinya ada yang sudah 30 persen.
Jika kita bandingkan dengan universitas di AS ternyata dana pemerintah ada pada kisaran 10 persen. Sebagai contoh Pennsylvania State University (RKAT 2007) proporsi dana untuk operasionalnya 10 persen dari pemerintah, uang sekolah mahasiswa 32 persen, sisanya berasal dari kegiatan riset, pengembangan, dan dukungan kegiatan unit komersial universitas tersebut.
University
Bagaimanakah dengan di
Jika dimasukkan dana kegiatan komersial proporsinya menjadi 23 persen dana pemerintah dan 26 persen dari uang sekolah, dan sisanya seluruh aktivitas dosen dalam kerangka riset, pengembangan, ataupun industrial exposure, dalam kerangka kegiatan ITB sebagai universitas riset dan sebagian kecil sumbangan-sumbangan lain.
Bagaimana pun dan apa pun bentuk proporsinya universitas tidak akan pernah menjadi komersial jika seluruh pendapatan digunakan untuk operasi demi peningkatan mutu, termasuk membantu mahasiswa yang tidak mampu. Asas ini dikenal sebagai nirlaba. Dalam konsep ini tidak boleh hasil dari kegiatan universitas diberikan kepada pihak lain karena ini akan menjadikan universitas sebagai bahan komersial atau komoditas.
Kebijakan ini jika dilakukan dengan baik dan benar dapat menyelesaikan berbagai masalah secara nasional. Misalnya mengatasi uang sekolah bagi masyarakat yang kurang kemampuan finansialnya dari sumber dana masyarakat.
Selain dari kegiatan riset, pengembangan, dan industri, menghimpun dana dari masyarakat melalui mahasiswa yang mampu membayar seluruh kebutuhan pendidikannya akan sangat membantu operasi. Subsidi silang baru terjadi jika mahasiswa membayar melebihi dana yang dibutuhkannya secara penuh untuk pendidikannya. Dari sisi yang lain universitas harus dapat mengumpulkan dana dari berbagai kegiatan riset, pengembangan, dan industri.
Dana ini juga bisa untuk peningkatan kapasitas dosen yang erat terkait dengan peningkatan mutu universitas. Kapasitas dosen modal awal melaksanakan proses pembelajaran. Dalam rencana kerja dan anggaran tahunan universitas salah satu dana operasionalnya ialah beasiswa yang akan memberikan bantuan uang sekolah maupun biaya lainnya.
Mahasiswa dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu mahasiswa membayar penuh, membayar lebih secara sukarela, dan bersubsidi. Biasanya untuk universitas di negara maju proporsi mahasiswa yang bersubsidi jumlah proporsinya akan terbesar.
Ikhtisar
- Biaya yang mahal jika memberi mutu pendidikan cukup baik akan bermanfaat.
- Konsep nirlaba dalam otonomi/independensi universitas memungkinkan perguruan tinggi mengelola uang sekolah, dana pemerintah, dan dana masyarakat.
- Biaya mahal tak hanya masalah mahasiswa, tetapi seharusnya bisa dikelola dari sumber lain.
2. Judul: BHP dan PSB
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Ridza Gandara
Saya Mahasiswa di Universitas Pendidikan
Topik: kajian Isu Terkini Seputar BHP dan PSB
Tanggal: 8 Juli 2007
'Masa sih masuk sekolah harus bayar 30 juta ?' 'Eit, ini beneran lho De, kalo ntar Dede ditagih bayarnya pake apa nih ?'
Demikianlah buah percakapan antara seorang anak dengan saudaranya yang sudah dewasa dalam sebuah ruang tunggu di kantor Ibu anak tersebut.
Isu Terkini Seputar BHP
Wacana perkembangan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) telah dirasakan cukup oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) hingga hari Senin kemarin telah ada kontak dengan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU BHP dari Komisi X DPR RI, Dr. Anwar Ariefin yang menjabat pula sebagai pimpinan Komisi X DPR RI.
Teringat, perkataan Pak Malik Fajar saat menjadi Mendiknas di era Mbak Mega, bahwa ia menyatakan tidak apa bila menterinya diganti, asalkan sistemnya tidak dirusak.
Nah, apabila saat ini kebijakan pendidikan, RUU BHP yang dahulu telah digarap Depdiknas oleh suatu tim khusus yang akhirnya menyatakan siap membahas bersama Panja RUU BHP, itulah salah satu indikator dimana mereka masih menggunakan draft RUU yang terus dimodifikasi sejak digagas pada era pemerintahan Pak Malik Fajar di Depdiknas; dan mereka memang tidak merusak sistem yang ada dalam Depdiknas, akan tetapi mereka, dalam kepemimpinan Mendiknas Bambang Sudibyo hanya memodifikasi elemen-elemennya saja agar menjadi layak dipakai,seperti yang mereka lakukan terhadap draft RUU BHP versi Juli 2007.
Adapun, beragam isu persoalan yang masih melekat dalam RUU BHP pada masa kini adalah; 1) konsep otonomi perguruan tinggi vs komersialisasi pendidikan tinggi; 2) eksistensi yayasan dan lembaga penyelenggara pendidikan tinggi dari unsur masyarakat; 3) tanggungjawab pemerintah terhadap pendidikan tinggi; 4) kelayakan implementasi BHP-Milik Negara atas seluruh satuan pendidikan formal (TK,SD,MI,SDLB,SMP,Mts,SMPLB,SMA,SMK,SMALB,MA dan MAK); 5) kontroversi audit keuangan dan pelaporan BHP; 6) keterlibatan Notaris sebagai legalisator akta BHP bersama Mendiknas; 7) ekses miss-leading BHP berpotensi mengeksploitasi dana masyarakat; 8) eksistensi model administrasi dan pola manajerial lembaga pendidikan BHP; 9) ekses utang-piutang biaya penyelenggaraan BHP; 10) eksistensi dan sustainabilitas jaminan pendidikan formal yang bermutu dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi; 11) kesiapan sumber daya kependidikan menjelang pemberlakuan BHP; 12) kewajiban Pendidikan Tinggi terhadap negara dan masyarakat.
Nah, demikianlah kiranya isu seputar BHP yang masih umum, namun dapat dipaparkan dengan jelas ketika diadakan sebuah lokakarya atau mimbar ilmiah yang tepat mengenainya dalam sebuah forum yang mencakup perwakilan stakeholder pendidikan formal nasional.
Nilai Harta di Masa Rekrutmen Peserta Didik
Kenyataannya, bahwa harta yang merupakan aset bagi penyelenggaraan pendidikan formal adalah benar. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran aset berbentuk; 1) uang, sebagai alat tukar yang sah; 2) tanah dan bangunan; 3) alat mobilisasi, transportasi dan komunikasi dan hal lainnya yang memiliki nilai khusus untuk ditukar dengan suatu produk berupa jasa dan benda adalah sangat penting bagi pelaksanaan fungsi administrasi kependidikan yang dimulai sejak; persiapan, assesmen, desain, permodelan, implementasi, hingga monitoring dan evaluasi serta supeevisi program kependidikan tersebut.
Namun, hal yang sangat penting dan harus dijadikan prinsip utama dalam penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia sebagai salah satu pengejawantahan amanat UUD 1945 hasil amandemen dalam konteks pendidikan adalah tidak ada instruksi jual-beli pendidikan dalam pendidikan nasional. Artinya, saat sistem pendidikan yang bersifat nirlaba dan berorientasi pelayanan publik, dalam tataran input pendidikan, tidak dibolehkan ada penawaran harga (apalagi tinggi) dari semua pihak; baik dari pihak penyelenggara atau pihak masyarakat yang akan menjadi calon peserta didik atau calon pendukung peserta didik dalam hal penerimaan peserta didik baru (lebih dikenal PSB atau Penerimaan Siswa baru). Begitu pula halnya saat masa Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) di seluruh lembaga pendidikan tinggi. Namun, agak sulit kiranya dalam mekanisme Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang diatur oleh Forum Rektor sebagai media rekrutmen peserta didik untuk lembaga pendidikan tinggi yang mereka kelola saat ini di seluruh wilayah Indonesia.
Jual-beli bangku sekolah atau bangku kuliah bisa saja terjadi sebagai suatu indikator jual-beli pendidikan, namun tidak demikian stigma bagi SPMB, karena sistem SPMB hanya memberikan akses kontak yang terbatas antara PTN dengan masyarakat, hingga anomali yang muncul, paling seputar; 1) joki peserta SPMB; 2) jual kelulusan SPMB (tapi kasus yang satu ini sulit dibuktikan).
Adapun, masalah jalur Penelusuran Minat Dan Keahlian (PMDK) yang digagas pada era kepemimpinan Dr. A.M. Satari pada Institut Pertanian Bogor (IPB) sehingga diadaptasi secara nasional, hal ini masih memiliki integritas yang cukup baik, kecuali pada beberapa PTN atau bahkan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang menggunakan label PMDK untuk melakukan penjaringan calon mahasiswa dengan atau tanpa tes ujian saringan masuk, namun para oknum dalam PTN atau PTS tersebut mengeruk uang dari banyaknya calon mahasiswa yang melamar ke lembaga pendidikan tinggi mereka, misalnya dengan nominal RP 50.000,-, tapi sang pelamar tidak masuk PTN tersebut, sebaliknya di PTS bisa saja diterima, karena faktor sumbangan nominal yang lebih besar dapat memiliki pengaruh yang signifikan bagi keputusan untuk menerima sang pelamar tersebut.
Kemudian, adanya jenis PMB dengan istilah jalur khusus, pada kenyataannya merupakan inisiatif penyelenggara pendidikan dengan alasan subsidi silang; dimana para calon peserta didik yang memiliki uang yang dapat disetorkan kepada mereka dalam nilai rupiah yang pas, maka sang pelamar akan langsung diterima di lembaga mereka dengan memenuhi kriteria; 1) memiliki nilai akademik yang layak (sebagai bukti obyektif bahwa dia pintar); 2) memiliki kemampuan mengikuti tes kelayakan (sebagai bukti otentik bahwa dia juga diuji).
Sehingga, pada saat kalangan tertentu mempertanyakan tentang, mengapakah harus membayar mahal untuk memasuki lembaga pendidikan ? atau mengapakah sepertinya, ada transaksi jual-beli bangku seperti itu ?
Maka pihak penyelenggara jalur khusus itu dapat dengan mudah berargumen, bahwa tidak ada komersialisasi atau praktik jual-beli pendidikan, seperti yang ditanyakan kepada mereka, karena mereka menerima calon peserta didik yang pintar dan mengikuti ujian seleksi pula.
Adapun, saat ditanya, mengapakah calon harus membayar sekian rupiah, lalu diterima ?. Maka, mereka akan mengemukakan bukti adanya calon yang sanggup membayar lebih besar, namun sang calon tidak memiliki nilai akademik yang layak dan hasil tes seleksi yang cukup, maka ia pun tidak mereka terima.
Sehingga, akan sangat kentara kesan, tidak ada komersialisasi pendidikan dalam lembaga mereka, meskipun sesungguhnya, mereka tak mungkin menerima calon peserta didik yang hanya mampu membayar sumbangan pengembangan; admission fee, tuitition fee, atau apapun istilah yang dipergunakan guna menamai fungsi uang yang disetor kepada mereka itu, jika hanya berjumlah Rp 500.000,-.
Institut Teknologi Bandung (ITB) eks Technichse Hogeschool ini, pada 2007 memiliki istilah sumbangan pengembangan akademik pada jalur penerimaan USM (Ujian Saringan Masuk) dengan nilai rupiah sebesar Rp 45.000.000,- untuksetiap program studi S-1, kecuali untuk Sekolah Manajemen dan Bisnis, Rp 60.000.000,-.
Bagaimanakah dengan satuan pendidikan tingkat kanak-kanak, pendidikan dasar dan menengah ?
Lalu, ada yang lebih hebat lagi, lembaga pendidikan swasta di Jakarta Selatan, menampakkan nominal biaya masuk untuk satuan pendidikan setingkat TK sebesar Rp 35.000.000,- dan yang setingkat SD berbayar Rp 40.000.000,-.
'Wah, ini aktifitas jualan produk atau aktifitas pembiayaan layanan nirlaba nih ?'
Oya, bila untuk sekolah yang berada di hutan dan daerah terpencil, yang gurunya itu relawan lulusan universitas, kemudian tidak ada biaya PSB yang harus dibayar dengan uang, akan tetapi masyarakat di sana hanya memberikan umbi hutan saja, sesungguhnya tidak perlu ada nilai harta berupa uang dalam jumlah besar saja untuk mendapatkan pendidikan yang mencerdaskan.
'Bagaimanakah menurut pendapat Anda tentang semua ini ?'
3. MENINGKATKAN AKSES PENDIDIKAN
TINGGI: Resep Prof. Barr
Sofian Effendi1
UUD 1945 menetapkan salah satu kewajiban konstitusional negara adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka melaksanakan cita-cita nasional tersebut
PT mempunyai tugas amat luhur dan menjadi harapan para warga bangsa. PT tidak saja
dipandang mampu menentukan kemajuan dan masa depan bangsa melalui peningkatan
kinerja ekonomi nasional, tetapi juga diharapkan mampu menciptakan keadilan sosial
melalui akses ke perguruan tinggi.
Subsidi adalah instrumen kebijakan yang digunakan Pemerintah
merealisasikan keadilan dan pemerataan pada berbagai pelayanan publik, termasuk
pendidikan tinggi. Pada tahun anggaran 2005, misalnya Pemerintah menyediakan lebih
dari Rp 100 trilyun untuk subsidi, tidak termasuk pembiayaan pendidikan tinggi sebesar
Rp 6,2 trilyun.
Pada waktu kemampuan keuangan cukup kuat, pemerintah mampu membiayai
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Selama ini pemerintah menyubsidi biaya pendidikan
tinggi sekitar 75 persen. Namun sekarang, keuangan pemerintah tidak seperkasa dulu,
padahal untuk meningkatkan mutu akademik dan memperbesar dan memeratakan akses
perlu dukungan dana yang besar. Pilihan yang dilematis sekarang harus dibuat oleh
Pemerintah. Apakah kebijakan status-quo dilanjutkan dan hanya menyediakan
pembiayaan seadanya sebesar Rp. 6,2 juta per orang untuk semua mahasiswa dengan
konsekuensi PT tidak mampu mencapai mutu akademik dan akses semakin terbatas, dan
hanya mampu dijangkau oleh 4 persen kelompok masyarakat kurang mampu? Atau, beri
PT kemandirian lebih besar untuk mengembangkan strategi pembiayaan yang lebih
rasional sehingga dapat memperbaiki mutu dan memperbesar akses bagi kelompok
masyarakat kurang mampu?
Resep Nicholas Barr
Ternyata
dilematis ini. Bangsa Inggris juga sedang menghadapi masalah pendidikan yang sama
yakni, merosotnya kualitas akademik dan rendahnya akses golongan ekonomi lemah ke
perguruan tinggi. Dalam majalah The Economist edisi 8 September 2005, diungkapkan
hasil survei
adalah universitas Amerika Serikat, 2 perguruan tinggi Inggeris dan 1 universitas Jepang.
Artikel tersebut juga mengungkapkan ketimpangan akses antara 2 negara, hanya 16
persen anak-anak keluarga kurang mampu di Inggeris mendapatkan akses ke PTm,
sedangkan di Amerika Serikat lebih dari 45 persen.
1 Penulis adalah Guru Besar Kebijakan Publik dan Rektor Universitas Gadjah Mada.
2
Prof. Nicholas Barr, profesor ekonomi publik dari
(LSE), mengajukan resep cukup menarik untuk dipelajari. Versi ringkas pikiran Prof.
Barr sudah diterbitkan di harian The Guardian edisi Juni 12, 2003 dengan judul “How
best to widen university access – by abolishing fees as Tories suggest, or by enhancing
loans, as the government plans”? Versi lebih lengkap diterbitkan dalam bentuk white
paper berjudul “Financing Higher Education: Comparing the Options” yang disusunnya
untuk Partai Buruh yang sedang berkuasa di Inggris.
Menjelang Pemilu tahun 2004, salah satu agenda politik yang dipilih oleh dua
partai yang sedang bersaing keras berebut dukungan publik Inggris adalah isu
kemerosotan mutu dan terbatasnya akses golongan lemah ke perguruan tinggi. Partai
Torries, yang merupakan partai oposisi, berjanji akan meningkatkan akses golongan
kurang mampu dengan memberi subsidi penuh kepada mahasiswa. Sebaliknya, Partai
Buruh yang sedang berkuasa, menjanjikan akan meningkatkan akses golongan kurang
mampu melalui pembayaran yang ditangguhkan (deferred payments). Sederhananya, para
mahasiswa dari keluarga mampu boleh kuliah dulu dan membayar kemudian.
Menurut penilaian Barr, subsidi penuh dan pembebasan biaya pendidikan tidak
selalu menyebabkan akses yang lebih adil dan merata pada pendidikan tinggi.
Menggunakan penerimaan dari pajak sebagai sumber pembiayaan pendidikan tinggi akan
menyebabkan dana untuk program lainnya menjadi berkurang. Dalam real politics,
subsidi untuk pendidikan tinggi selalu kalah dengan sistem kesehatan nasional dan untuk
membiayai pendidikan wajib dan program pra-sekolah.
Kedua, dalam pelaksanaannya subsidi di Inggris selalu kurang menguntungkan
kelompok miskin. Selama bertahun-tahun, akses keluarga kurang yang mampu ke
pendidikan tinggi hanya 15 persen, dibandingkan 81 persen dari keluarga mampu.
Sebaliknya, di Amerika yang mengikuti sistem pasar, akses keluarga kurang mampu
mencapai 43 persen.
Ketiga, subsidi pemerintah selalu lebih menguntungkan kelompok yang lebih baik
kondisi ekonominya. Di Inggris cukup banyak anggota masyarakat yang mendukung
rencana sistem pajak progresif. Namun, mereka mengharapkan penerimaan pemerintah
dari pajak lebih digunakan untuk pendidikan pra-sekolah, menurunkan angka drop-outs
pada SLTA, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, serta program khusus untuk
anak-anak keluarga tidak mampu.
Opsi kedua, yang menjadi agenda politik Partai Buruh, adalah usul sebaliknya.
Masyarakat yang memerlukan pendidikan tinggi bermutu tinggi harus membayar biaya
investasi masa depannya. Yang lebih mampu harus membayar lebih tinggi dan akses ke
pendidikan tinggi dibiayai melalui pinjaman.
Belajar dari kegagalan masa lalu dalam pelaksanaan student loans, Pemerintah
menjamin pembayaran kembali melalui pembayaraan pinjaman melalui potongan gaji
bersamaan dengan pemungutan pajak penghasilan. Pembayaran melalui pemotongan gaji
ini memungkinkan adanya pembayaran secara progresif. Yang berpendapatan rendah
mengangsur lebih rendah dan yang berpendapatan tinggi mengangsur lebih besar. Opsi
ini pada dasarnya ingin mendorong alokasi anggaran pendidikan dari kelompok mampu
yang tidak lagi menerima subsidi ke kelompok tidak mampu yang menerima pinjaman
untuk mendapatkan akses ke perguruan tinggi..
3
Mungkinkah diterapkan di
Seperti halnya di Inggris, pendidikan tinggi kita saat ini sedang menghadapi 3
tantangan yang amat berat yakni peningkatan mutu, akses yang merata dan adil bagi
semua golongan masyarakat, dan efisiensi internal yang masih rendah. Biaya yang
diperlukan untuk mengatasi ketiga tantangan tersebut amat mahal. Simulasi yang
diadakan oleh rekan-rekan di UGM, memperkirakan biaya untuk meningkatkan akses
keluarga kurang mampu dari kondisi sekarang, 3.3 persen menjadi 10 persen dengan
angka partisipasi pendidikan tinggi sebesar 15 persen, adalah Rp. 1,8 trilyun.
Kalau peningkatan akses disertai upaya peningkatan mutu pendidikan, diperlukan
biaya pendidikan sebesar Rp. 7,6 trilyun, dengan catatan biaya pendidikan Rp. 18 juta per
mahasiswa per tahun seperti rencana Ditjen Dikti. Untuk meningkatkan mutu plus
memperbesar akses pendidikan tinggi, jumlah dana yang harus disediakan mencapai Rp.
9,4 trilyun trilyun. Bila standar mutu yang hendak dicapai lebih tinggi, misalnya seperti
standar mutu di PT
Mungkin para calon Presiden yang ingin memperoleh dukungan dukungan dari
masyarakat dapat menggunakan isu peningkatan mutu dan perluasan akses sebagai salah
satu platform politik. Paling tidak ada tiga opsi yang dapat ditawarkan oleh para calon
sebagai platform politik mereka.
Opsi pertama, seperti opsi yang dipilih Partai Torries di Inggeris, tawaran
pemberian melalui subsidi pemerintah untuk pendidikan tinggi, Untuk merealisasikan
janji politik ini perlu disediakan anggaran pendidikan tinggi sebesar Rp. 9,4 trilyun
sampai Rp. 29,7 trilyun, tergantung dari standar mutu dan tingkat partisipasi yang hendak
dicapai. Artinya diperlukan peningkatan pengeluaran untuk pendidikan tinggi antara 2,1
sampai 7 kali, tergantung dari standar mutu yang hendak dicapai.
Opsi kedua, menawarkan subsidi silang dengan menerapkan full-payment kepada
keluarga mampu, memberi subsidi penuh kepada mahasiswa dari keluarga tidak mampu,
dan subsidi 50 persen kepada mahasiswa dari keluarga berpenghasilan menengah. Biaya
opsi ini berkisar antara Rp. 3,6 trilyun sampai Rp 13,9 tergantung dari standar mutu yang
hendak dicapai.
Opsi ketiga, menawarkan Kredit Pendidikan Tinggi dengan subsidi bunga kepada
keluarga tidak mampu dan keluarga kurang mampu. Jumlah kredit tergantung dari
besarnya biaya pendidikan yang dikenakan oleh masing-masing Universitas. Biaya yang
harus disediakan Pemerintah untuk subsidi bunga berkisar antara Rp. 475 milyar sampai
Rp. 2,17 trilyun per tahun, tergantung dari standar mutu yang diterapkan.
dengan nasib mereka dan masa depan bangsa
4. Good Governance Pendidikan Tinggi (Menuju Pendidikan Tinggi yang Bermutu)
Oleh: H Maswardi M Amin
SECARA umum good governance diartikan pemerintahan yang baik atau pemerintahan yang bersih. Di dalam bidang pendidikan diartikan pengelolaan pendidikan yang "sehat". Pengelolaan pendidikan yang sehat pada setiap satuan pendidikan mendukung tercapainya mutu pendidikan yang berbasis standar nasional pendidikan.
Pengertian yang lebih luas dari good governance pendidikan tinggi adalah pengelolaan pendidikan tinggi yang mampu menjunjung tinggi nilai-nilai dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang tujuannya adalah untuk memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan harkat dan martabat taraf hidupnya.
Sehubungan dengan itu untuk mewujudkan good governance dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tinggi yang bermutu maka dalam pengelolaan pendidikan tinggi harus mampu merumuskan penjabaran tujuan pendidikan nasional dalam bentuk tujuan institusi yang lebih operasional yang dituangkan dalam bentuk rumusan visi dan misi masing-masing perguruan tinggi, serta mampu mengembangkan potensi dan kompetensi serta mekanisme kearja supaya semua unit kerja berfungsi maksimal, efektif dan efisien dalam bingkai pencapaian visi dan misinya.
Akhir-akhir ini semangat perguruan tinggi yang maju dan sukses dimuati dengan tuntutan memberlakukan manajemen yang kondusif dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi dan membangun kemampuan perguruan tinggi dalam menerapkan prinsip-prinsip good governance pendidikan tinggi. Penerapan manajemen yang kondusif itu telah diamanatkan dalam Program Pembangunan Nasional Pendidikan Tinggi (Propenas) tahun 2004.
Dalam konteks transparansi pengelolaan pendidikan tinggi yang berpegang pada pagu HELTS dan Propenas perguruan tinggi tersebut terjadi pergeseran paradigma pengelolaan pendidikan tinggi dalam rangka mewujudkan intsitusi yang sehat melalui penerapan paradigma baru pendidikan tinggi yaitu: (1). Authonomy (otonomi), (2). Acountability/akuntabilitas (tanggung jawab), (3). Self evaluation (evaluasi diri), (4) Acreditation (akreditasi), dan (5). Quality assurance (penjaminan mutu).
Ciri-ciri Institusi Pendidikan yang Sehat
Pelaksanaan kebijakan dasar yang merupakan pagu besar pembangunan pendidikan tinggi dan tiga Program Induk yang melahirkan paradigma baru pendidikan tinggi dapat diwujudkan apabila didukung oleh iklim akademik (academic atmosfir), intitusi pendidikan yang sehat (organizational healt). Institusi pendidikan tinggi yang sehat dapat dilihat dari ciri-ciri yang menunjukkan kemampuan fisik dan psikisnya berjalan tegak dan tegap sesuai visi dan misinya.
Cirri-ciri institusi yang sehat itu secara akademis antara lain (1). Mampu mewujudkan visi dan misinya, (2). Mengembangkan kebebasan akademik termasuk kebebasan mimbar akademik sivitas akademiknya dan mengembangkan otonomi keilmuan, (3). Menghargai kreatifitas sivitas akademika dalam menghasilkan pembaruan (inovation), (4). Memberdayakan SDM, (5). Memberdayakan SDP (Sumber Daya Pendidikan) yang ada di institusi, (6). Mengatur hak, kewajiban dan tanggung jawab personil, (7). Mengelola institusi secara efektif dan efisien, (8). Responsif terhadap kebutuhan institusi dan personilnya, (9). Melakukan evaluasi internal dan eksternal yang berkesinambungan (sustainability), dan (10). Mewujudkan mekanisme penjaminan mutu (quality assurance) yang berstandar dan berbasis evaluasi diri.
Prinsip-prinsip Good Governance PT
1. Partisipasi dari setiap sivitas akademika dalam menjalankan roda pemerintahan (pengelolaan) pendidikan tinggi baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemikiran-pemikiran yang konstruktif.
2. Komitmen semua pihak untuk patuh pada hukum dalam bentuk tata tertib yang dibuat bersama berdasarkan partisipasi dari setiap perwakilan sivitas akademika dalam membuat keputusan bersama.
5. KOMERSIALISASI PENDIDIKAN TINGGI.
Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research & Development (R&D) serta arena penyemaian manusia baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum pernah benar-benar menjadi wacana publik di
Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah & gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.
Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Semoga masyarakat dan orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi, sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah.
Ditengah besarnya angka pengangguran di Indonesia yang telah mencapai lebih dari 45 juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi.
Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja. Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III/S1) tetapi keahliannya tidak spesifik.
Lebih parah lagi, bahkan ada beberapa PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Ini adalah cermin dari proses PEMBODOHAN BANGSA bukan mencerdaskan BANGSA. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.
Selain itu pula, apa yang menjadi barometer yang menunjukkan eksistensi sebuah perguruan tinggi? Untuk saat ini opini publik dan beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di
Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak bangsa, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa
1 komentar:
2 Pilihan: Pendidikan Tinggi Murah Bermutu ato Gratis Bermutu! Hidup Rakyat Indonesia!!!
Posting Komentar