http://img132.imageshack.us/img132/4733/image13lj1.gif

Pendidikan menengah sesi 1

Author: ariyanto /

1. Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK Diluncurkan

Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).

Kemudian Fauzi Bowo diberikan sebuah spidol oleh ROCI buatan seorang pelajar SMA Negeri di Jakarta. Spidol itu dipakai gubernur untuk menandatangi plakat yang disediakan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta. Setelah peluncuran ini, artinya pelajar SMA dan SMK DKI tidak ketinggalan dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.

Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.

Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.

“Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi” - Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta

Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).

Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.

Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.

Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.

Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan untuk menghilangkan sisi humanisme para siswa, melainkan hanya untuk pembangunan kultur pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur

TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar

pengetahuan dan sumber daya.(beritajakarta)

Sumber : dikmentidki.go.id

2. REDIP sebagai Model untuk Meningkatkan Pendidikan Menengah Pertama

Jakarta, Selasa (8 Juli 2008) — Program Pengembangan dan Peningkatan Pendidikan Daerah atau Regional Education Development and Improvement Program (REDIP) dapat dijadikan model untuk meningkatkan pendidikan menengah pertama. REDIP adalah program sederhana, tetapi komprehensif yang memungkinkan sekolah dan kecamatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri sesuai dengan aspirasi dan prioritas mereka sendiri. Meskipun sederhana, program ini dapat meningkatkan akses, mutu, dan manajemen secara bersamaan.

Program REDIP ini memberikan dana bantuan kepada sekolah dan tim pengembangan pendidikan kecamatan (TPK) sesuai proposal yang diajukan. Sekolah dan TPK bebas mengusulkan kegiatan apa saja sesuai kebutuhan dan prioritas mereka sendiri. Dengan menggunakan dana bantuan, sekolah dan TPK melaksanakan kegiatan yang diusulkan.

Sesudah menyelesaikan kegiatan, sekolah menyusun laporan keuangan dan laporan kegiatan lalu menyerahkannya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diperiksa. REDIP mendorong mengambil inisiatif dan mempertanggungjawabkan usaha sekolah sendiri dalam meningkatkan pendidikan dan berfungsi sebagai pengamat pasif.

Kepala Sub Direktorat Kelembagaan Sekolah Direktorat Pembinaan SMP Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Kasubdit Kelembagaan Sekolah Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen) Depdiknas Yenni Rusnayani mengatakan, sejak 2005 Depdiknas telah mengadopsi program ini dengan bantuan teknis dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Program ini sampai 2008 telah dikembangkan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bekasi mencakup 32 kecamatan dari sebanyak 391 SMP negeri dan swasta.

Yenni mengatakan, program REDIP, yang kemudian diubah menjadi program pengembangan SMP berbasis masyarakat (PSBM) sangat cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang menghendaki penyelenggaraan pendidikan melalui prinsip bottom-up, desentralisasi penyelenggaraan, dan partisipasi masyarakat. “Program PSBM memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh kepala sekolah dan juga memberikan dampak untuk peningkatan mutu pembelajaran,” katanya pada REDIP Workshop dan Expo di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (8/07/2008).

Kepala Seksi Perencanaan Subdit Program Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen Depdiknas Supriano mengatakan, hasil yang dicapai melalui program ini adalah terjadinya perubahan pada sekolah, kecamatan, dan masyarakat. Dia mencontohkan, manajemen di sekolah menjadi demokratis dan transparan, pihak kecamatan yang semakin proaktif kepada pendidikan, dan masyarakat lebih peduli terhadap pendidikan. “Orang tua mendukung apa yang dikembangkan oleh sekolah. Semua kegiatan di sekolah selalu dikomunikasikan dan pengembangan sekolah dibicarakan dengan orang tua murid,” katanya.

Dia menyebutkan, program REDIP Government (REDIP G) yang didanai 100 persen APBN sampai 2008 sudah mengalokasikan anggaran hampir Rp.45 milyar untuk tiga kabupaten yakni Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Selain REDIP G, kata dia, juga ada program REDIP Mandiri yang didanai oleh APBD, REDIP Pengembangan, dan REDIP Perluasan Pelaksanaan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah Munthoha Nasuha mengatakan, implementasi program REDIP sejak 1999 dimulai dari dua kecamatan, kemudian berkembang menjadi sepuluh kecamatan, dan seluruhnya sebanyak 17 kecamatan. “Awalnya program difokuskan pada bidang manajemen sekolah dengan pola transparansi, sehingga semua rencana anggaran dipaparkan di papan dan di pintu masuk sekolah,” katanya.

Konsultan Nasional REDIP Winarno Surachmad, mengatakan, karakteristik Program REDIP adalah mudah, murah, tanpa resiko, dan low tech. “REDIP menjawab pertanyaan bagaimana mengembangkan pendidikan di daerah berdasarkan kekuatan dari bawah, tanpa duit, dan tanpa ahli,” katanya.

Ketua Tim REDIP-JICA Norimichi Toyomane mengatakan, indikator yang memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil yakni, meningkatnya nilai Ujian Nasional, meningkatnya motivasi siswa untuk sekolah, meningkatnya motivasi guru dalam proses belajar mengajar dan juga motivasi dari kepala sekolah dalam memanajemen sekolahnya.***

Sumber : Pers Depdiknas

3. Relevankah Pendidikan Menengah?

Artikel berikut ini adalah versi asli dari yang dipublikasikan di Opini Kompas, 21 Agustus 2008.

Selama beberapa dekade, pendidikan formal telah menjadi bagian alami dari kehidupan masyarakat moderen sedemikian sehingga kita melihat sekolah sebagai prasyarat untuk menjalani kehidupan yang produktif. Mereka yang tidak bersekolah hampir dapat dianggap akan tersisih dari tatanan masyarakat moderen, tanpa adanya pilihan maupun keberuntungan.

Namun bagaimana sebenarnya pendidikan formal, terutama sekolah menengah, memberikan kontribusi terhadap masyarakat Indonesia? Dua berita di Kompas mengindikasikan bahwa hanya 17,2% dari 28 juta penduduk Indonesia usia 19-24, dan 6,2% dari 306.749 murid di SMP Terbuka yang dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi (5 Agustus 2008).

Padahal kebanyakan SMU, terutama SMUN, masih menekankan hafalan terhadap lebih dari selusin mata pelajaran setiap minggunya dan mempersiapkan siswa untuk Ujian Nasional, dengan harapan kebanyakan dari lulusan sekolah akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Namun ternyata upaya ini hanya mencakup 17,2% pemuda-pemudi Indonesia. Lalu apakah fungsi pendidikan di sekolah menengah bagi 82,8% ‘sisa’nya?

Dalam sebuah kunjungan ke SMAN 1 di Desa Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saya mengamati siswa-siswi di kelas Kimia sedang belajar menghitung lokasi atom pada tabel periodik untuk mengidentifikasi jenis zatnya. Padahal sekolah tersebut tidak memiliki dana untuk melangsungkan eksperimen di laboratorium kimia, sehingga kemungkinan besar siswa-siswi tidak akan pernah melihat zat-zat kimia yang telah mereka identifikasikan.

Walaupun sebagian dari lulusan SMAN 1 berencana melanjutkan ke universitas, lebih banyak yang akan mencoba memasuki dunia kerja dengan menggunakan ijazah SMA mereka sebagai satu-satunya modal. Di desa yang berpenduduk 22.117 orang, hanya 7% lulusan SMU dan 1,2% lulusan diploma dan sarjana. Dengan kata lain, hanya sekitar 14,6% lulusan SMU yang melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya (Kecamatan Marangkayu, 2008). Lalu apakah gunanya kemampuan untuk mengidentifikasi jenis zat sebuah atom untuk kehidupan dan masa depan kebanyakan murid disana? Nyaris tidak ada.

Ijazah SMU telah dianggap sebagai paspor untuk memasuki dunia kerja, padahal Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan dari 10 juta pengangguran usia kerja, 55% berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Jelas, lulusan sekolah menengah tidak dipersiapkan dan tidak memiliki ketrampilan untuk memasuki dunia kerja.

Pendidikan menengah di Indonesia sangat terfokus pada pengembangan kemampuan akademik menuju universitas, dan karenanya tidak – atau lebih tepatnya belum – relevan bagi mayoritas pemuda-pemudi Indonesia. Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah: Lalu, pendidikan menengah seperti apa yang lebih relevan?

Mengambil Desa Marangkayu sebagai contoh kasus, 78% perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara datang dari bidang pertambangan dan penggalian, dan 11% dari pertanian (ProVisi Education, 2007). Sementara di Desa Marangkayu 28,4% bekerja di bidang pertanian dan perkebunan karet, 5% karyawan, 1,7% wiraswasta, dan 2,8% bekerja di bidang pertukangan, nelayan, dan jasa, sementara sisanya tidak terdata (Kecamatan Marangkayu, 2008).

Dengan kata lain, sedikitnya 78% sumber perekonomian tidak melibatkan peran dan belum mensejahterakan kebanyakan warga Desa Marangkayu. Dapatkah pendidikan menengah mencoba mengatasi kesenjangan antara kualitas sumber daya manusia dengan kemampuan untuk mengolah sumber alam lokal? Bukankah pekerjaan kebanyakan penduduk di bidang pertanian dan perkebunan karet seharusnya dapat dijadikan sumber pembelajaran?

Saya tidak menyarankan agar semua sekolah menengah di Kabupaten Kutai Kartanegara berbondong-bondong memfokuskan perhatiannya pada bidang pertambangan, penggalian, dan pertanian. Namun dari pemahaman yang lebih mendalam tentang sumber daya alam lokal, pembelajaran di sekolah dapat bersifat lebih kontekstual dan bermakna bagi keberlangsungan kehidupan dan kemajuan komunitas lokal.

Misalnya, dalam pelajaran Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi, siswa dapat meneliti asal usul keberadaan Desa Marangkayu, latar belakang sosial ekonomi, jenis pekerjaan, dan permasalahan sosial. Dalam pelajaran Geografi siswa dapat mendatangi lahan-lahan pertambangan, perminyakan, pertanian, dan perkebunan untuk mengkaji perbedaan antar lahan. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan dengan pelajaran Biologi yang mengkaji kondisi dan masalah lingkungan, ekosistem, jenis tanaman dan binatang lokal, dll.

Kemampuan siswa dalam mewawancara, menganalisa, dan membuat laporan mengasah ketrampilan interpersonal, berpikir, dan berbahasa Indonesia. Pengetahuan tentang sumber daya lokal, dari rumput-rumput ilalang, berbagai jenis daun, dan batu-batuan dapat dijadikan bahan dasar untuk pelajaran Kesenian dan Teknik Ketrampilan, yang hasilnya dapat dijual ke kota terdekat untuk menjajagi kemampuan berwiraswasta.

Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan memberikan ketrampilan dan pengetahuan lokal yang memungkinkan sebagian besar siswa untuk langsung terjun ke dunia kerja, tanpa mengesampingkan pengetahuan akademik bagi mereka yang mampu dan memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dari pembahasan contoh kasus di atas, tersirat bahwa solusi untuk permasalahan pendidikan menengah yang lebih relevan membutuhkan kajian mengenai kondisi lokal sehingga solusinya bersifat kontekstual terhadap komunitas. Kondisi komunitas yang berbeda membutuhkan solusi yang berbeda pula.

Pendidikan menengah yang kita kenal sekarang baru memberikan tawaran solusi yang diseragamkan dengan menggunakan sebagian kecil penduduk Indonesia sebagai tolak ukur. Sementara untuk mayoritas penduduk, masih perlu dikaji dan dirumuskan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih relevan, yang kemungkinan besar belum kita kenal sekarang.

4. Mengapa SMA dan SMK tidak digabung sebagai Pendidikan Menengah Umum?

'Kurikulum seperti apa kalau hanya satu jenis Pendidikan Atas Umum'? (pertanyaan dari lapangan)

'Kurukulum seperti' dulu tanpa 'Kelas dan Stigma'.

'Jenis Pendidikan' namanya 'adil', di mana semua anak-anak mempunyai kesempatan dan pilihan yang sama 'tanpa stigma', untuk memaximalkan kemampuan mereka.

Kita punya dua sistem Pendidikan Menengah:
SMA - Yang Merugikan 70% Siswa-Siswinya
SMK - Yang Diangap Pendidikan Tukang dan dapat Membatasi Aspirasi Siswa-Siswi Kita.

Lagu tersayang kami adalah Iwan Fals 'Jangan Bicara'

Tetapi yang lucu dan ironis sistem SMU lengkap dengan keterampilan dulu (pre 1994 OB) memang adalah lebih adil (walapun kebanyakan isu-isu yang lain tidak).

Keadaan di lapangangan memang begini, dan kesempatan kerja memang sulit, dan jenis sekolah tidak akan merubah ini. Hanya pemerintah yang bermutu dengan visi dapat merubah keadaan di lapangan. Tetapi yang penting adalah kita berjuang supaya SDM yang paling baik di negera kita mendapat kesempatan untuk berkembang.

Dengan dua sistem banyak anak dikatagorize yang sangat dapat membatasi aspirasi mereka. Seperti dari pengalaman kami di lapangan, dan dari saran-saran anggota kami banyak anak-anak di SMK juga dapat atau mampu lanjuk ke perguruan tinggi. Mengapa tidak memudahkan proses ini?

DikMenUm - Terus mengurus dan meningkatkan Mutu Pendidikan Akademik
DikMenJur - Tetap mengurus dan meningkatkan Mutu Pendidikan Kejuruan dan Magang

Keterampilan adalah sesuatu yang sangat menguntungkan semua pelajar 'selama hidup' dan mempunyai potensial untuk meningkatkan mutu dan kemampuan mandiri lulusan dari perguruan tinggi juga. Salam pendidikan.

5.. Fenomena SMA dan SMK di Abad 21
Oleh : Imam Supingi - Praktisi Pendidikan

Sebuah tantangan besar bagi pemimpin dan pemikir negeri ini, ketika menghadapi jumlah pengangguran yang semakin bertambah tidak sepadan dengan daya serap lapangan kerja yang ada. Dunia usaha dan industri agak lesu dalam mengembangkan usahanya.

Keterampilan angkatan kerja yang masih kurang memenuhi syarat kerja yang dibutuhkan pasar tenaga kerja, baik dalam maupun luar negeri. Hal ini tentu menambah pusing bagi pemerintah, yang selalu disorot oleh masyarakat dari sektor penyediaan lapangan kerja, bagi angkatan kerja yang siap memasuki usia kerja. Tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu dan relevan dengan tuntutan Negara yang sedang membangun, dan rindu akan keadilan dan kesejahteraan. Menambah beban pemikiran bagi pemimpin negeri ini.

Dalam tahapan ini, Indonesia masih dalam tahap membangun, yang sedang berupaya keras dan cerdas untuk mempersiapkan generasi penerus perjuangan bangsa yang beriman, bertaqwa, cerdas, tangguh, disiplin dan mampu menghadapi tantangan masa depan yang lebih baik, bersaing dengan dunia luar, serta berjiwa patriotik.

Departemen Pendidikan dan kebudayaan telah berusaha dengan sekuat tenaga dengan minimnya anggaran pendidikan yang masih jauh dari kebutuhan yang sebenarnya, berbagai eksperimen dan riset dilakukan. Dalam catatan Departemen tahun 1970 berkembang pesat tenaga kerja yang sekelas tukang, bukan pemikir. Mengakibatkan negeri ini membutuhkan pemikir bukan tukang, yang pada akhirnya sekolah menengah yang kala itu identik dengan lembaga pencetak tukang kurang dikembangkan, dan sekolah umum seperti SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), yang dianggapnya kurang memberikan masa depan yang lebih baik dibandingkan sekolah menengah pertama kejuruan pun mulai tereleminir menjadi sekolah menengah pertama (SMA)/Umum.

Bahkan hingga sekarang penambahan unit gedung baru SMK hampir tidak pernah terdengar, satu kabupaten paling banyak 2 SMK negeri yang ada, namun dalam kabupaten yang sama bisa berdiri 4 sampai 5 SMA negeri. Bahkan satu kecamatan kadang samapai 2 hingga 4 SMA Negeri. Dampak dari itu semua kini mulai terasa lulusan sekolah umum yang tadinya dianggap dapat lebih memberikan masa depan yang lebih berubah menjadi faktor penambah jumlah pengangguran yang kurang memiliki kemampuan pemikir apalagi Tukang.

Dengan munculnya dikotomi SMK dan SMK (Umum), maka banyak masyarakat diperbagai perguruan tinggipun memberikan kesempatan belajar yang berbeda antara lulusan SMK dan lulusan SMA. Bagi mereka lulusan SMA lebih luas untuk mendapatkan kesempatan belajar di berbagai Fakultas, sedang yang berasal dari SMK mempunyai pilihan yang lebih sempit. Padahal belum pernah ada sebuah tesis yang dapat dipakai sebagai rujukan yang valid, bahwa lulusan SMK mempunyai tingkat pemikiran yang lebih rendah.

Dengan adanya faham bahwa ada tukang dan ada pemikir, tukang berada pada golongan strata pekerja kelas rendahan dan pemikir berada di menara gading yang penuh dengan kehormatan dan kemewahan, namun yang sebenarnya SMA pun akhirnya menghasilkan tukang yang bukan pemikir dan pimikir yang bukan tukang. Tukang dan pemikir merupakan dua bagian yang berbeda, padahal pada kenyataannya seorang pemikir harus dituntut mampu untuk menyelesaikan sendiri permasalahan-permasalahan secara riil dan detail mulai dari pekerjaan tukang hingga imaginasi yang selalu berkembang. Tukang pun harus pula mempunyai kreativitas yang tinggi sehingga mampu pula untuk berimagiansi tinggi dalam mengembangkan inovasi kerja yang lebih baik.

Komposisi pendidikan yang tertuang dalam kurikulum pendidikan kita, hasil olahan dari pemikir, yang membuat sebuah perencanaan pendidikan nasional, seakan-akan dianggap mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Namun dibalik itu semua sering berbenturan antara hasil pemikiran para ahli di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan pelaksana pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Diyakini atau tidak, ini merupakan produk lama yaitu tukang dan pemikir. Pengambil kebijakan sebagai pemikir dan Steak Holder sekolah sebagai tukang.

Sehingga setiap ada perubahan kebijakan pemerintah sekolah seakan dipaksa untuk mengikuti, terlepas dengan siap atau tidaknya sarana dan prasarana sekolah. Akibatnya program dilaksanakan dengan setengah hati dan setengah kurang sarana dan prasana, hasil didik pun menjadikan siswa sebagai pemimpi di siang bolong. Transfer ilmu dari mengajar ke belajar hanya sebuah patamorgana belaka, ilmu tidak lagi diukur dengan kompetisi yang dikembangkan melainkan angka dalam kertas yang bernama raport atau ijazah menjadi ukuran dan tujuan akhirnya.

Dari itu semua akhirnya tahun 2004 pendidikan diarahkan ke perkembangan life skill, naik di SMA maupun SMK, namun pada tataran kurikulum, hal ini menjadi kamus wajib, tetapi dalam pelaksanaannya belum berjalan sebagai mana harapan. Terbukti dengan amraknya bimbingan belajar, baik dis ekolah maupun lembaga-lembaga bimbingan belajar yang mulai bermunculan bak jamur dimusim hujan. Apa yang dilakukan bimbingan ini hanya berlatih mengerjakan soal dan mengantisipasi soal soal Ujian Nasional yang mungkin akan muncul dalam UN.

Bukan pada pemhaman ilmu dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari,Patokan Nilai Ujian menjadi tujuan akhir dari sebuah pembelajaran. Hal ini berlaku baik di SMK maupun di SMA.

Sangatlah wajar kalau sekarang banyak anggapan bahwa hasil lulusan SMA dan SMK bahkan sarjana sekalipun masih mempunyai mutu akademis yang rendah.

Pola 50% teori dan 50% praktik tidak mampu di jalani oleh sekolah, karena sarana dan prasarana yang menjadi prasarat tercapainya hasil lulusan yang diharapkan, tidak dimiliki oleh sekolah serta padatnya muatan materi pokok yang harus dipelajari siswa, tidak sebanding dengan kemampuan kognitif dasar yang dimiliki oleh siswa pada umumnya sebagai prasarat belajar.

Menurut hemat saya manakala sarana dan prasarana pendidikan dan guru yang profesional sudah mampu disediakan oleh lembaga pendidikan, maka SMK atau SMA tidak lagi menjadi permasalahan seperti sekarang ini. Taksonomi Bloom yang pada hakekatnya pendidikan dititik beratkn pada sikap dan nilai, kecerdasan dan keterampilan. Akan dapat diwujudkan, sehingga permasalahan pengangguran mampu dikurangi, serta mampu lulusan sekolah menengah mampu memenuhi prasyarat kerja, yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja baik dalam maupun luar negeri.

Guru yang terbaik adalah pengalaman yang pernah dilakukan. Dan kerugian yang paling besar adalah kesalahan yang terulang. Dengan berpikir demikian harapan kami, pemerintah akan mampu menemukan pola pendidikan yang cocok dan relevan dengan kebutuhan maa mendatang. Tentunya penentu kebijakan negeri ini haruslah Pemikir yang tukang atau Tukang yang pemikir. Bukan lagi pemikir yang bukan tukang sehingga hanya mampu berpikir serta kebijakannya tak dapat dilaksanakan di tingkat sekolah.

Atau sebaliknya kebijakan tukang, yang juga tidak akan mampu menjawab tantangan masa depan, melainkan hanya mampu mereparasi sesaat saja yang pada akhirnya rusak fatal tak mampu lagi diperbaiki.

Harapan kami, sebaliknya penanggungjawab pelaksanaan pendidikan, hanya ada pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tidak seperti sekarang hampir setiap departemen memiliki lembaga pendidikan sendiri-sendiri dengan standard yang berbeda-beda,s ekalipun dibutuhkan prasyarat tertentu, sebaiknya cukup Pelatihan khusus (spesialis) yang spesifik saja. Agar tidak terjadi pembinaan yang berbeda seperti MTs. Dan SMP atau MA dan SMA, SMK yang rasa-rasanya sangat ebrbeda. Baik dari kesejateraan maupun proses rekietmentnya. Padahal mutu pendidikan yang diharapkan sama.

Pada akhirnya hanya tenaga profesional-lah yang mampu membentuk dan menciptakan sebuah rencana yangs esuai dengan harapan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia dan mampu merencanakan sebuah strategi menghadapi perkembangan dunia.

Sumber: Artikel Buletin GIB


0 komentar:

Powered By Blogger

Apakah artikel saya memuaskan?